Mohon tunggu...
Fais Yonas Boa
Fais Yonas Boa Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Peneliti

Aksara, Kopi dan kepolosan Semesta

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Krisis Integritas Nasional

30 Januari 2025   07:43 Diperbarui: 30 Januari 2025   07:43 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Inilah yang dinamakan pencitraan yakni mengatakan tentang sesuatu itu baik tetapi nyatanya buruk. Begitu pula foto makan di restoran mahal yang menunjukkan diri kaya padahal kenyataannya melarat. Mencitrakan kesejahteraan negara ataupun mencitrakan kemapanan hidup, tentu sangat telak menunjukkan sikap yang suka berkedok atau munafik. Sikap seperti inilah yang kita sebut krisis integritas.

Kedua, mahalnya profesionalitas. 

Profesionalitas merupakan suatu keadaan atau sebutan bagi orang-orang yang menjalankan profesinya secara sungguh-sungguh berdasarkan pengetahuan dan keahliannya. Dalam kenyataannya, tidak semua orang yang menjalankan suatu profesi memiliki profesionalitas. Hanya orang-orang yang memiliki jiwa pengabdian, kesetiaan dan ketulusan dalam mengemban profesinya. Misalkan, orang yang berprofesi sebagai pengacara. Dari sekian banyak orang yang berprofesi sebagai pengacara, tidak mungkin semuanya memiliki profesionalitas. Bukan asumsi bahwa masih banyak pengacara suka memeras klien ataupun mengorbankan klien dengan cara kotor seperti kongkalikong. Perhatikan ilustrasi kasus berikut:

Seorang pengusaha menengah dirugikan oleh seorang pengusaha kelas kakap dalam sebuah proyek infastruktur. Ia merasa mengalami kerugian Rp 20 miliar. Penguasa menengah  inipun menuntut penguasa kakap secara hukum. Ia kemudian memakai jasa pengacara yang bernama Z. Sementara pengusaha kakap sudah memiliki pengacara tetap perusahaan yang bernama X. Pada faktanya, pengusaha kakap ini memang telah merugikan pengusaha menengah. Tetapi sampai di pengadilan semuanya berkata lain. Singkat cerita, karena si X mengerti bahwa pihaknya akan kalah maka ia pun kongkalikong dengan Z dan Z pun setuju. Hasil kongkalikong mereka ialah untuk memenangkan Z yang mewakili pengusaha besar tadi dengan si Z mendapatkan imbalan Rp 1 miliar. Pada akhirnya, pengadilan memutuskan pengusaha kakap tidak merugikan pengusaha menengah. Akibatnya pengusaha menengah ini mengalami kerugian yang berlipat ganda yakni kehilangan uang Rp 20 miliar dan uang Rp 200 juta untuk membayar jasa si Z.

Dari ilustrasi ini dapat dipahami bahwa Z dan X sama-sama menjalani profesi pengacara, tetapi keduanya tidak memiliki profesionalitas dalam menjalani profesi mereka. Pada profesi-profesi lain juga sangat banyak ditemukan kasus seperti ini dan tentunya kebanyakan dari mereka pasti beranggapan bahwa begitulah cara  kerja profesi. Padahal, setiap profesi memiliki prinsip-prinsip kerja yang berupa nilai-nilai etika dan moral untuk kemudian dijadikan sebagai kebenaran yang diyakini bagi mereka dalam menjalankan profesi.

Kasus-kasus seperti pungli (pungutan liar) yang dilakukan oknum-oknum dari profesi tertentu menunjukkan profesionalitas tampaknya menjadi barang mahal di negeri kita. Lebih parah lagi kalau perilaku-perilaku yang tidak menunjukkan profesionalitas itu dilakukan oleh para pejabat birokrasi pemerintahan yang notabene statusnya PNS; maka tentu sangat disayangkan. Sudah mereka digaji dari uang rakyat, merekapun memeras rakyat melalui pungli atau dalam bahasa ilmiah mereka "biaya administrasi". Sudah barang tentu, perilaku-prilaku yang tidak profesional sebagai bentuk krisis integritas oknum-oknum tersebut.

Ketiga, lemahnya imunitas moral. 

Imunitas dalam dunia kesehatan diartikan sebagai kekebalan tubuh atau daya tahan tubuh terhadap virus penyakit. Imunitas moral dapat diartikan sebagai ketahanan moral seseorang terhadap godaan perilaku-perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral yang telah tertanam subur di dalam diri setiap manusia menghendaki supaya manusia dalam berperilaku harus mengikutinya. Kejujuran; ketulusan; kesetiaan; suka membantu sesama;, menghormati orang lain; mencintai sesama manusia; dll, merupakan nilai-nilai konkret moral.

Namun demikian, entah perasaan saya atau memang kenyataan; bahwa rasa-rasanya yang namanya nilai moral sekarang ini sudah dianggap barang purba bahkan mungkin sudah dianggap produk baru. Padahal semua makhluk yang merasa dirinya manusia sangat paham dan sadar bahwa moral itulah yang membedakannya dengan kucing yang sering manjat ke atap rumah orang di malam hari. Moral itulah yang membedakan kita dengan tikus yang mengambil lauk pauk kita di dapur, tanpa diketahuinya itulah lauk terenak yang akan kita makan sepulang kerja atau kuliah.

Dewasa ini, kebanyakan dari kita sudah mengalami penurunan imunitas moral. Tidak heran para politisi, pejabat dan pemimpin kita selalu tersandung kasus korupsi, suap, kasus pungli, dll. Sayangnya, warga masyarakat kita juga seolah tidak mau kalah dengan para politisi yang berperilaku tidak sesuai dengan nilai-nilai moral. Sudah menjadi hal lumrah ketika terjadi kasus-kasus perzinahan, pemukulan orang tua, pemukulan guru di tengah masyarakat kita. Perilaku-perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai moral, yang sepertinya ditanggapi dengan sikap permisif (sikap yang menganggap hal itu sudah biasa dan wajar) oleh kita semua; menunjukkan bahwa moral yang menjadi alat ukur utama dalam kita mengambil keputusan dan tindakan sudah kehilangan tempat dalam diri kita.

Kalau kita pernah bersentuhan dengan konsep moral Immanuel Kant, dalam generalisasi norma moralnya atau yang biasa disebut sebagat the golden rule atau kaidah emas; Kant merumuskan norma moral sebagai berikut: "hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan" (positif). Atau secara negatif: "Jangan perbuat terhadap orang lain apa yang Anda sendiri tidak inginkan diperbuat terhadap diri Anda".[3] 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun