Pernahkah anda bertanya-tanya atau barang kali merenungi keadaan bangsa kita yang tak kunjung berubah menuju kebaikan dan kemaslahatan? Pernahkan anda berpikir kira-kira apa yang memicu bangsa ini terus tersandera oleh korupsi, kolusi dan nepotisme? Pada kesempatan ini, saya akan coba memberikan semacam asupan (semoga bernilai gizi) bagi anda tentang suatu fenomena sosial bernegara kita dewasa ini. Fenomena ini saya namakan krisis integritas nasional!. Lets go literatus...
Apa itu integritas? Adrian Gostick & Dana Telford dalam buku mereka, Keunggulan Integritas, menyebutkan beberapa pengertian integritas yang mereka kumpulkan dari beberapa sumber. Disitu disebutkan bahwa Kamus Merriam-Webster yang paling mutakhir mendefinisikan integritas sebagai ketaatan yang kuat pada sebuah kode, khususnya nilai moral atau nilai artistik tertentu. Definisi lain dari Jim Burke (Johson & Johson) menyebutnya sebagai "suatu mekanisme yang membuat individu dan organisasi mempercayai Anda"; Millard Fuller (Habitat for Humanity) menggambarkan integritas sebagai "konsistensi terhadap apa yang dianggap benar dan salah dalam hidup Anda"; Shelly Lazarus (pimpinan dan CEO Ogilvy Mather Worldwide) menjelaskan orang yang berintegritas sebagai "mengedepankan serangkaian kepercayaan dan kemudian bertindak berdasarkan prinsip".[1]
Pengertian-pengertian terkait integritas yang bermacam-macam di atas, sebenarnya wajar saja karena memahami integritas atau kejujuran sangat erat kaitannya dengan cara orang memandang, memperlakukan dan mengalami integritas. Namun demikian, untuk memudahkan kita memahami integritas, perlu sekiranya mengacu pada etimologi (asal  usul kata) integritas itu sendiri. Integritas berasal dari bahasa latin integrate yang artinya komplit atau tanpa cacat, sempurna, tanpa kedok. Maksudnya adalah apa yang ada di hati sama dengan apa yang kita pikirkan, ucapkan, dan lakukan.[2] Jadi, integritas ialah sikap dan perilaku manusia yang sejalan antara apa yang diyakininya sebagai sesuatu yang benar dengan yang diucapkannya serta yang dilakukannya. Â
Lalu, apa itu krisis integritas? krisis integritas adalah suatu keadaan hidup sosial yang mana sikap dan perilaku manusia yang tidak lagi sejalan antara apa yang diyakininya sebagai sesuatu yang benar dengan yang diucapkannya serta yang dilakukannya. Katakanlah perilaku pinokio gitulah...
Kali ini saya akan kemukakan tiga (3) bentuk konkret dari fenomen krisis integritas di negara kita; baik dalam diri para pemangku kepentingan maupun pada diri kita semua.
Pertama, membudayanya sikap imagologis atau pencitraan.Â
Sikap pencitraan merupakan perilaku sesorang atau sekelompok orang yang sering menampilkan sisi-sisi baik dari dirinya untuk menggapai kepentingannya sendiri. Sisi-sisi baik yang ia tunjukan sebenarnya bukanlah sikap aslinya, melainkan hanya supaya orang lain menyukainya. Sikap ini cenderung dialamatkan kepada para politisi karena sudah menjadi rahasia umum bahwa perilaku para politisi 'para pemimpin' memang cenderung diganderungi pencitraan.
Di saat para politisi dan pemimpin berteriak bahwa lapangan kerja sudah banyak, tetapi nyatanya pengangguran malah meningkat. Atau mengatakan ekonomi negara aman karena kami  sudah perhitungkan dengan cermat, tetapi nyatanya dihantam wabah COVID-19 dalam dua hari saja ekonomi sudah keok. Dalam hal ini, apa yang para pemimpin katakan tentu cenderung tidak sesuai dengan kenyataannya.
Tetapi, apakah hanya para politisi dan pemimpin yang kerap bersikap seperti itu? Sepengamatan saya, sikap imagologis memang sangat tampak pada politisi tetapi sebenarnya semua orang juga kerap bersikap seperti itu. Di zaman teknologis seperti sekarang ini, sangat sering kita temukan orang-orang yang berkecimpung di dunia medsos atau seleb medsos mencitrakan dirinya supaya dapat menarik banyak penggemar. Sebenarnya bukan hanya seleb medsos, kebanyakan yang bermain medsos pasti melakukannya juga.
Contohnya, sering memosting foto-foto mewah seperti: makan di restoran mahal; belanja pakian bermerek; foto liburan di vila elite Bali. Dalam hal ini kita mencitrakan diri sebagai orang kaya raya, orang tajir. Padahal kenyataannya tidaklah demikian; makan di restoran mahal ternyata karena ditraktir teman, belanja pakian bermerek padahal titipan teman, foto liburan di Bali padahal karena ada keluarga yang menjadi karyawan di vila sehingga digratiskan.