Swasembada energi kini didengungkan kembali oleh Presiden Prabowo Subianto. Hasrat memandirikan perekonomian nasional dengan kemandirian energi, rasanya tidak akan mengawang di istana negara saja. Bumi Indonesia memang dianugerahi cadangan energi melimpah, terutama energi-energi baru terbarukan alias ramah lingkungan, yang dewasa ini diniscayakan menjadi energi masa depan.
Geotermal sebagai salah satu energi ramah lingkungan yang terus digenjot secara nasional, diharapkan dapat memberi sumbangsi berarti demi tercapainya swasembada energi. Begitu pula dengan geotermal Poco Leok sebagai pengembangan dari PLTP Ulumbu.Â
Pemanfaatan energi panas bumi di Poco Leok dinilai akan mampu memenuhi kebutuhan energi listrik Manggarai dan sekitarnya. Terutama kelak mampu memberi kontribusi nyata dalam menghadirkan keadilan dan kemakmuran bagi masyarakat.
Angka dan Data
Itikad dan tekad Presiden Prabowo akan swasembada energi tentu tidak boleh diaminkan begitu saja. Kita harus berani dan jujur menyandingkannya dengan angka dan data, apakah kemandirian energi itu benar-benar sebuah urgensi? Rasa-rasanya gagasan berdikari energi sudah menjadi kebutuhan genting mengingat pemenuhan kebutuhan energi di Indonesia sangat bergantungan pada impor.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat realisasi impor minyak dan gas bumi (migas) RI selama Januari-Maret 2024 mencapai US$ 9 miliar atau sekitar Rp 145,8 triliun. Data ini mencatat terjadi kenaikan sebesar 8,13% dibandingkan periode yang sama pada 2023 yang sebesar US$ 8,33 miliar.Â
Masih dari data BPS, khusus untuk bulan Maret 2024, impor migas RI tercatat sebesar US$ 3,33 miliar, naik 11,64% dibandingkan Februari 2024 yang sebesar US$ 2,98 miliar. Adapun nilai impor minyak mentah RI selama periode Januari-Februari 2024 mencapai US$ 1,5 miliar atau Rp 25,5 triliun, dengan volume 2,6 juta ton.
Naiknya impor energi seperti ini menunjukkan kebutuhan energi Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal demikian disebabkan oleh produksi minyak Indonesia yang cenderung menurun, sementara konsumsinya bertambah.Â
Padahal, di lain sisi Indonesia memiliki banyak potensi energi baru terbarukan (EBT), seperti panas bumi, tenaga surya, energi hidro, energi angin dan lainnya. Namun, baru sebagian kecil dari potensi ini yang telah dimanfaatkan.
Pada tahun 2022, kementerian ESDM menyampaikan bahwa kapasitas pembangkit listrik tenaga energi baru terbarukan (PLT EBT) tahun 2021 mencapai 11.157 Megawatt. Kapasitas ini di bawah target yang ditetapkan untuk tahun tersebut, yaitu sebesar 11.357 Megawatt (Mw). Kapasitas PLT EBT tersebut terdiri atas: 6.601,9 Mw tenaga air; 2.276,9 Mw tenaga panas bumi; 1.920,4 Mw bioenergi; 200,1 Mw tenaga surya; 154,3 Mw tenaga angin; dan 3,6 Mw tenaga hibrida.
Angka dan data di atas pada dasarnya sebuah ironi. Dikatakan demikian karena praktik-praktik impor energi yang dilakukan pemerintah Indonesia yang telah turun temurun dilakukan, berbanding terbalik dengan ketersediaan potensi energi yang dimiliki.Â
Indonesia yang kaya akan sumber daya alam lebih khususnya kekayaan energi tampaknya sudah sangat ketergantungan energi dengan negara lain. Padahal, potensi energi-energi bersih yang siap menjadi ketahanan energi nasional masih sangat minim dimanfaatkan.
Harta Karun Transisi Energi
Transisi energi merupakan proses pengalihan energi yaitu dari energi tidak ramah lingkungan menuju energi ramah lingkungan alias energi hijau. Pengalihan menuju energi bersih telah menjadi kehendak bersama dunia internasional.
Kehendak bersama dunia internasional ini kemudian tercermin dalam Konvensi Paris (Paris Agreement) 2015. Kesepakatan ini mendorong negara-negara untuk berupaya melakukan pengalihan energi dari berbahan fosil menuju yang terbarukan.
Tujuannya tidak lain untuk mengurangi emisi yang telah mengakibatkan perubahan iklim dalam 20-30 tahun terakhir. Sejalan dengan Konvensi Paris, hasil kesepakatan Presidensi G20 yang dilaksanakan di Bali pada 2022 juga mendukung penuh pemanfaatan energi terbarukan. Sesuai dengan kesepakatan dalam forum tersebut bahwa penggunaan energi-energi terbarukan hendaknya segera diupayakan demi menjaga iklim bumi.
Indonesia kemudian menindaklanjuti kesepakatan tersebut dengan berupaya memaksimalkan sumber-sumber energi terbarukan seperti air, udara, matahari dan panas bumi. Namun demikian, harus jujur diakui bahwa cadangan energi-energi bersih yang dikandung bumi Indonesia belum dimanfaatkan dengan baik apalagi maksimal.
Kementerian ESDM mencatat wilayah Indonesia memiliki potensi besar pada Energi Baru Terbarukan (EBT). Energi matahari (surya) memiliki potensi 3.295 Gigawatt dan hanya dimanfaatkan 270 MW saja. Energi air (hydro) memiliki potensi 95 GW dan baru dimanfaatkan sebesar 6.690,00 MW. Energi angin (bayu) dengan potensi sebesar 155 GW dan hanya 150 MW yang telah dimanfaatkan. Begitu pula dengan energi panas bumi.
Pada tahun 2023 kementerian ESDM mencatat potensi sumber energi geotermal yang terkandung dalam perut bumi Indonesia mencapai 23.965,5 megawatt (MW). Potensi tersebut baru dimanfaatkan sekitar 9,8 persen dengan kapasitas pembangkit listrik terpasang sebesar 2.342,63 MW. Ini artinya cadangan panas bumi yang terkandung dalam perut bumi kita masih sekitar 90% belum dimanfaatkan.
Secara keseluruhan, potensi energi-energi bersih di wilayah Indonesia yang dimanfaatkan tidak sampai 1%. Perhatikan data dari Kementerian ESDM berikut:
Potensi EBT yang dikandung dalam bumi Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia memang memiliki harta karun berlimpah untuk melakukan transisi energi. Sebagai sumber energi masa depan, EBT yang terdapat pada seluruh belahan bumi Indonesia patutlah dimanfaatkan secara baik dan maksimal.
Kekayaan EBT kita tidak boleh hanya akan menjadi statistik kebanggaan nasional, melainkan berguna untuk menyalurkan energi bersih sekaligus menopang swasembada energi.
Geotermal Poco Leok (Adat dan Hak Ulayat)
Sebagai bagian dari bumi Indonesia yang konon diberkahi kekayaan alam, bumi Flores juga memiliki kekayaan alam melimpah. Menjadi salah satu wilayah yang berada pada cincin api (ring of fire), pulau Flores dikaruniai potensi geotermal yang sangat menjanjikan.Â
Dilansir dari kompas.com potensi energi bersih geotermal Flores mencapai 1.000 MW atau 1 GW. Inilah alasan logis pada tahun 2017 Pemerintah Pusat menetapkan Flores sebagai Pulau Panas Bumi.
Secara kebetulan tanah Manggarai terberikan potensi energi panas bumi terbesar.Berdasarkan hasil eksplorasi yang dilakukan pemerintah pusat sejak tahun 1980an, maka ditemukanlah titik potensial yakni PLTP Ulumbu yang sejak 2011 mulai beroperasi untuk memenuhi kebutuhan energi listrik Kabupaten Manggarai dan sekitarnya.
Sebagaimana diketahui bersama, energi panas bumi yang dimanfaatkan PLTP Ulumbu existing sebesar 10 MW (2x5 MW) dengan cadangan 30-40 MW.
Di dalam perjalanannya kebutuhan listrik wilayah Manggarai khususnya dan Flores umumnya, semakin meningkat sehingga kebutuhan listrik kian bertambah. Beruntungnya Poco Leok menjawab kebutuhan tersebut.
Hasil eksplorasi menemukan bahwa Poco Leok memiliki potensi 100 MW. Dalam perencanaan pengembangan PLTP Ulumbu Unit 5-6 (2x20) Poco Leok, akan diupayakan memanfaatkan 40MW dengan cadangan 50-60 MW. Apabila Unit 5-6 Poco Leok telah dioperasikan, maka daya listrik yang dihasilkan dari energi bersih panas bumi sebesar 50MW. Ini artinya, penyaluran energi bersih Kabupaten Manggarai dan sekitarnya dapat terpenuhi.
Namun demikian, usaha-usaha memajukan masyarakat melalui pembangunan-pembangunan negara seperti halnya geotermal Poco Leok tidaklah selalu berjalan mulus. Gejolak sosial sudah tentu menjadi tantangan di lapangan.Â
Kelompok-kelompok kontra pembangunan negara melakukan agitasi dan propaganda kepada masyarakat. Akibatnya penolakan terhadap geotermal yang notabene Proyek Strategis Nasional (PSN) kerap kali terjadi. Padahal, pihak PLN (Persero) selaku pelasana proyek telah menempuh prosedur adat dan aturan.
Terkait pendekatan adat, PLN telah melakukan dua prosedur adat Manggarai yang amat penting yakni tabe gendang (meminta ijin secara adat di rumah adat untuk masuk kampung) dan menjadi asekae gendang (diangkat menjadi saudara secara adat di rumah adat).
Sementara itu, pendekatan sosial dan hukum dilakukan dengan kegiatan sosialisasi berkali-kali hingga mendapatkan Penetapan Lokasi (Penlok) Pemda Manggarai. Akan tetapi, kelompok penolak selalu saja mengklaim proyek geotermal melanggar adat.Â
Meskipun faktanya, PLN melakukan pendekatan adat. Mungkin ini pulalah alasan mengapa masyarakat Poco Leok lebih banyak (sekitar 80%) mendukung daripada menolak pengembangan energi bersih geotermal.
Isu lain yang tidak kalah sering didengungkan kelompok penolak geotermal adalah soal hak ulayat. Hak ulayat merupakan hak atas tanah yang bersifat turun temurun dan bersifat komunal (milik bersama) pada suatu masyarakat adat.Â
Hak milik bersama yang kultural tersebut sering kali kita jumpai pada masyarakat-masyarakat yang memang pola kehidupannya beradat. Beradat dalam hal ini bermakna menjalankan kebiasaan yang terwariskan dari leluhur dan moyang mereka secara konsisten.
Sebagai masyarakat yang terwariskan kehidupan adat, masyarakat Manggarai tentu juga mengenal yang namanya tanah ulayat. Begitu pula dengan masyarakat Poco Leok.
Secara adat Manggarai, tanah ulayat disebut dengan lingko. Ada goet (peribahasa Manggarai) yang mengatakan gendang one lingko peang yang berarti karena gendang (rumah adat) sebagai rumah-tempat tinggal milik bersama, maka harus ada pula lingko (tanah adat) yang menjadi milik bersama-komunal.
Namun demikian, tidak semua lingko dalam konsep adat Manggarai sebagai tanah ulayat. Ada lingko yang dibagi secara pribadi setiap warga kampung. Lingko yang dikategorikan sebagai tanah ulayat adalah lingko randang one dan lingko yang dibagikan untuk dijadikan milik pribadi disebut lingko randang peang.Â
Lingko randang one biasanya berdekatan dengan gendang dan lingko ini tidak dapat dibagikan kepada pribadi-pribadi. Lingko ini menjadi kebun komunal. Sedangkan lingko randang peang lazimnya jauh dari gendang yang dijadikan kebun untuk memenuhi kebutuhan ekonomi pribadi-pribadi warga kampung.
Tanah-tanah adat yang menjadi lokasi (wellped) geotermal Poco Leok adalah lingko-lingko randang peang karena semuanya menjadi milik pribadi warga kampung. Bukan lingko randang one alias tanah komunal. Dengan demikian, alibi kelompok penolak geotermal Poco Leok terkait tanah komunal tidaklah berdasar secara adat Manggarai.
Di lain sisi, secara konteks bernegara harus selalu dipahami bahwa setiap jengkal tanah yang berada di wilayah NKRI diikat dengan asas fungsi sosial tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria: semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Ini artinya setiap hak yang melekat pada tanah mengandung fungsi sosial. Fungsi sosial tanah ini tidak lain berkaitan erat dengan kepentingan umum semisal melalui pembangunan negara katakanlah geotermal Poco Leok. Asas tanah ini berlaku untuk setiap jenis kepemilikan atas tanah baik pribadi maupun tanah komunal.
Keadilan dan Kemakmuran
Geotermal Poco Leok dengan segala tantangan sosialnya harus diakui dapat menopang idea swasembada energi nasional sebagaimana dikehendaki pemerintahan Prabowo. Perlu direnungkan bahwa geotermal Poco Leok niscaya membawa keadilan dan kemakmuran bagi masyarakat. Terutama masyarakat Poco Leok yang memang sangat memerlukan itikad baik (political will) pemerintah untuk mengentas ketertinggalan mereka.Â
Maka dari itu, itikad baik pemerintah butuh dukungan dan partisipasi masyarakat. Toh, pada akhirnya geotermal Poco Leok akan memberi dampak kemajuan dan kemakmuran bagi warga Poco Leok.
Sementara itu, tujuan mulia dari kemandirian energi negara melalui pemanfaatan energi bersi seperti geotermal adalah tercapainya keadilan dan kemakmuran rakyat. Sebagaimana diamanatkan Pancasila dan UUD 1945, tugas utama pemerintah dalam menyelenggarakan negara dan pemerintahan ialah keadilan sosial.Â
Sila Kelima Pancasila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, tidak boleh dijadikan jargon kebangsaan belaka. Begitu pula Pasal 33 UUD 1945 mengenai Perekonomian Negara dan Kesejahteraan Sosial, tidak boleh dijadikan romansa ideologis saja.
Pemanfaatan geotermal Poco Leok niscaya dapat menopang swasembada energi. Terutama pula menunjang kesejahteraan hidup masyarakat Poco Leok dan sekitarnya. Program-program kolaborasi PLN yang telah dilakukan melalui program swadaya pertanian dengan kelompok-kelompok tani (hortikultura) yang telah mencapai puluhan kelompok; program desa berdaya dengan memberikan wifi (starlink) kepada desa Lungar; menjadi jembatan bagi kemajuan masa mendatang.
 Geotermal Poco Leok yang menopang swasembada energi kelak membantu masyarakat untuk meningkatkan daya saing pasar seperti menjadi pelaku-pelaku usaha yang kreatif dan inovatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H