Demokrasi berasal dari dua kata bahasa Yunani, yakni, demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti penguasa sehingga demokrasi artinya rakyat yang berkuasa. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai penguasa dalam negara. Semboyan paling sohor dalam sistem demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Demokrasi telah menjelma menjadi sistem pemerintahan yang sangat diidealkan sekarang ini. Namun demikian, filsuf besar yang berasal dari Atena, Yunani yang notabene sebagai tempat lahirnya demokrasi yakni Sokrates tampaknya tidak terlalu simpatik dengan demokrasi.
Sokrates selaku pelopor berpikir rasional melihat demokrasi dengan penuh keraguan. Maha karya Plato, Republik menuliskan pandangan pesimistis Sokrates tentang demokrasi. Plato menggambarkannya dalam bentuk dialog, antara Sokrates dengan Adeimantus. Dalam diaolog ini, Sokrates menganalogikan masyarakat sebagai kapal, dan penguasa sebagai nakhoda.
Sokrates bertanya kepada Adeimantus: Kalau anda sedang berpergian naik kapal, siapa yang menurut anda paling ideal untuk menjadi nakhoda.? Apakah siapa saja boleh? atau hanya orang-orang yang berpendidikan yang berkemampuan untuk menghadapi perjalanan laut.? Adeimantus menjawab tentu saja yang kedua, (yaitu orang berpendidikan).
Kemudian Sokrates menanggapi, lalu mengapa kita terus berpikir bahwa semua orang boleh menilai siapa yang akan menjadi pemimpin sebuah negara.? Pada konteks ini, Sokrates menyinggung soal pemilu yang mana setiap rakyat dapat memilih penguasa secara langsung. Padahal, tidak semua rakyat berpendidikan.Â
Kalau dipikir secara cermat, keraguan dan pesimistis Sokrates pada demokrasi sebenarnya sangatlah logis. Sangat logis karena demokrasi pada prinsipnya, membutuhkan tingkat sumber daya manusia yang cukup mapan, dari para pelaku demokrasi yang tidak lain rakyat. Kita harus realistis bahwa bagaimana mungkin demokrasi berjalan dengan baik atau mendatangkan keadilan dan kesejahteraan, kalau rakyat tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang yang baik dan yang buruk.?
Mari kita bicara pentingnya pengetahuan dari rakyat dalam konteks pemilu. Kalau semisal rakyat, memiliki pengetahuan yang baik maka para pemimpin yang terpilih pastilah orang-orang yang mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Akan tetapi, ketika rakyat tidak memiliki cukup pengetahuan maka suara rakyat, sering kali dapat dibeli dengan uang. Ketika rakyat dibeli suaranya dengan uang maka dapat dipastikan rakyat tidak memiliki pengetahuan yang cukup, sehingga tidak mampu membedakan yang baik dan yang buruk.
Pertanyaannya sekarang ialah mengapa sumber daya manusia atau pengetahuan, sangat penting dalam menjalankan demokrasi.? Menjawab pertanyaan ini memang tidak mudah. Namun, satu hal yang menjadi catatan kita bersama bahwa demokrasi adalah sebuah sistem yang memberi kebebasan yang besar kepada seluruh rakyat.
Yang namanya kebebasan tentu saja perlu dikontrol dengan baik, karena kebebasan yang tanpa terkendali akan menimbulkan kekacauan. Dalam konteks mengontrol kebebasan inilah pengetahuan itu dibutuhkan. Praktik politik uang dalam pemilu, sebenarnya bukti konkret rakyat tidak memiliki pengetahuan yang cukup sehingga tidak mampu mengontrol kebebasannya.
Sokrates memang tidak pernah memikirkan cara kotor seperti politik uang dalam hal memilih pemimpin. Â Sokrates hanya memikirkan wawasan dari rakyat dalam memilih pemimpin bahwa yang sebaiknya yang memiliki hak untuk memilih pemimpin, hanyalah orang-orang terdidik. Akan tetapi, harus kita akui bahwa pandangan Sokrates ada benarnya.