Mohon tunggu...
Fais Yonas Boa
Fais Yonas Boa Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Peneliti

Aksara, Kopi dan kepolosan Semesta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merdeka untuk Berdikari

21 Agustus 2024   10:35 Diperbarui: 21 Agustus 2024   10:53 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

79 tahun yang lalu Soekarno-Hatta atas nama Bangsa  Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Tanah pusaka warga Nusantara akhirnya terbebas dari beringasnya penjajahan. Diperolehnya kemerdekaan bagi bangsa dan negara Indonesia tentu dibayar dengan darah para manusia nusantara. Tentu saja bukan darah kelompok pendatang yang akhir-akhir ini gemar membelokkan sejarah bangsa. 

Kemerdekaan yang diraih berdarah-darah itu haruslah senantiasa dijadikan sebagai jembatan emas menuju kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Maka dari itu, semangat kemerdekaan wajib terus dikobarkan dalam kehidupan sehari-hari; dalam kehidupan bermasyarakat, beragama dan bernegara.

Mari bersama-sama kembali menyadarkan diri tentang apa itu merdeka dan apa arti kemerdekaan?

Merdeka, secara etimologis diyakini berasal dari bahasa Sansekerta "Mahardhika, Maharddika, atau mahardika" yang memiliki banyak arti, antara lain terhormat, bijaksana, berbudi luhur, kaya, sejahtera, dan kuat. Namun demikian, dalam konteks perjuangan merdeka memiliki makna yang lebih teknis yakni; mandiri, berdiri sendiri, terlepas dari, terbebas dari penjajahan. 

Jadi, sebenarnya kalau bicara merdeka dalam konteks bernegara maka berarti terebebas dari belenggu penjajahan sekaligus menuju kesejahteraan.

Begitu pula bagi bangsa Indonesia, merdeka berarti terbebas dari penjajahan Belanda dan Jepang; sekaligus jembatan emas menuju kesejahteraan bersama. Oleh sebab itu, kemerdekaan sama sekali tidak boleh dianggap sebagai seremonial tahunan belaka tetapi lebih-lebih sebagai anamnesis sejarah dan cita-cita luhur bangsa Indonesia. Kemerdekaan bagi sebuah bangsa merdeka haruslah menjadi modal utama untuk berdikari. Berdikari dalam segala aspek kehidupan bernegara (ekonomi, politik, hukum, sosial budaya).

Berdikari dalam ekonomi.

Berdikari dalam ekonomi adalah kemandirian ekonomi bangsa yang terlepas dari ketergantungan bangsa lain. Berdikari dalam ekonomi menekankan kemandirian di berbagai bidang ekonomi, termasuk di bidang pangan dan energi. Di bidang pangan Indonesia telah menerapakan sistem ketahanan pangan nasional; walaupun belum efektif. Di bidang energi Indonesia juga sedang mengupayakan pemanfaatan energi-energi terbarukan (air, udara, matahari dan panas bumi). 

Kebijakan ketahanan pangan dan kemandirian energi merupakan perwujudnyataan gagasan berdikari dalam ekonomi. Tentu pula sebagai bentuk kemerdekaan. Kemerdekaan dalam ekonomi. Artinya dengan ketahanan pangan dan kemandirian energi terutama energi terbarukan, maka bangsa Indonesia terlepas dari ketergantungan pada bangsa lain. Bahkan kalau memungkinkan menjadi sumber pangan dan energi bersih bagi bangsa lain.

Berdikari dalam hukum.

Dasar kita berhukum sejak kemerdekaan hingga sekarang ini adalah kental bercorak kebarat-baratan. Satu sisi memang dikatakan wajar karena kita adalah bekas jajahan negara Belanda. Akan tetapi, di lain sisi corak hukum yang seperti ini menandakan bangsa kita Indonesia belum mampu berdikari dalam hukum. Maka dari itu, idea berdikari juga harus merambah pada aspek hukum. Tujuannya adalah agar hukum Indonesia tidak terus memakai hukum warisan kolonial.

Jika dicermati, idea berdikari hukum sudah mulai diupayakan dalam berbagai macam kebijakan strategis hukum semisal membuat Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) baru. Membuat KUHP baru sebenarnya upaya untuk membuat cara berhukum di Indonesia merdeka dari idea-idea hukum Belanda yang sarat dengan kolonialis. Selain itu, dibuat juga konsep penyederhanaan peraturan melalui UU Omnibus Law; yang meskipun masih perlu ditinjau kembali. 

Berdikari dalam politik.

Politik sebagai salah satu pilar penting dalam kehidupan bernegara dewasa ini wajiblah berdiri di atas kakinya sendiri. Berdiri di atas kaki sendiri dalam hal ini berarti setiap keputusan politik yang diambil oleh bangsa Indonesia memang untuk kepentingan bangsa Indonesia. 

Banyak yang mengatakan bahwa bicara politik berdikari berarti tentang politik luar negeri bangsa Indonesia. Namun demikian, pengaruh globalisasi dewasa ini membuat berdikari politik tidak lagi terbatas pada politik luar negeri tetapi juga di dalam negeri.

Cita-cita ikut menjaga perdamaian dunia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 sebenarnya menujukan kemandirian politik Indonesia dalam pergaulan internasional.  Lebih dari itu, Indonesia telah menjadi pelopor gerakan netralitas yang bernama gerakan nonblok. 

Standing posisition seperti ini kemudian membawa Indonesia menjadi negara yang dapat bergaul dan bekerja sama dengan bangsa apa saja di muka bumi ini. Begitu pula politik dalam negeri Indonesia, segala macam kesepakatan dan kebijakan politik tidak boleh ditunggangi kepentingan negara lain. 

Berdikari dalam sosial budaya.

Indonesia dikenal sebagai negeri adat budaya. Tidak heran setiap suku dan atau kampung memiliki adat dan budaya masing-masing. Lebih uniknya, tertanam sejarah adat budaya yang memiliki kesamaan yang tak disengaja di wilayah Nusantara. Kesantunan, keramahan dan toleransi merupakan adat budaya umum yang menjadi identitas bersama segenap suku dan kampung di wilayah NKRI. 

Identitas bersama inilah yang menjadi bukti bangsa Indonesia berdikari dalam sosial budaya. Namun demikian, atas nama perkembangan zaman dan agama; praktetk sosial budaya masyarkat nusantara mulai kehilangan tempat.

Atas nama agama, banyak kelompok perusak yang kemudian menjadikan kesantunan, keramahan dan toleransi sebagai perilaku yang tidak lagi diperlukan. Doktrin-dokrtin batil yang dibingkai melalui unsur-unsur agama kemudian mengisi pikiran masyarakat yang notabene banyak dibelenggu kebodohan. 

Akibatnya, sikap-sikap arogansi atas nama Allah dipertontonkan tanpa malu. Ajaran kebencian dan kebenaran palsu sebagaimana diajarkan para oknum habib bajingan tanpa disadari melenggserkan nilai-nilai sosial budaya warga nusantara.

Atas nama perkembangan dan kemajuan zaman, nilai-nilai kesantunan, keramahan dan toleransi dianggap sebagai perilaku yang ketinggalan zaman. Padahal, kemanusiaan yang digaungkan bangsa-bangsa Barat sebenarnya ada dan nyata di dalam praktik hidup masyarakat Indonesia sedari zaman lampau. 

Dengan demikian, semangat kemerdekaan harus pula secara berani dimaknai sebagai jalan untuk mempertahankan sosial budaya masyarakat Indonesia. Bukan sosial budaya para imigran yang menjual agama untuk perut mereka.

Pada akhirnya saya hendak menyampaikan bahwa kemerdekaan itu harus selalu dimaknai dan ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam bermasyarakat maupun dalam bernegara. Merdeka itu haruslah menjadi jembatan emas untuk berdikari karena hanya dengan berdikari bangsa Indonesia akan menggapai cita-cita luhurnya.

ingat..."cintai negaramu seperti engkau mencintai adat dan agamamu"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun