Di bawah rezim Presiden Jokowi, upaya-upaya pembangunan masif dilakukan. Dari infastruktur hingga proyek-proyek energi. Terkait proyek energi, yang sekarang digenjot adalah Energi Baru Terbarukan (EBT) semisal memanfaatkan energi air, udara, surya dan panas bumi. Pemanfaatan sumber-sumber EBT tersebut diharapkan meminimalisir dampak buruk terhadap lingkungan.
Perlu diketahui bahwa pemanfaatan EBT merupakan tindak lanjut dari Konvensi Paris (Paris Agreement) 2015. Kesepakatan ini mendorong negara-negara untuk berupaya melakukan pengalihan energi dari berbahan fosil menuju yang terbarukan. Tujuannya tidak lain untuk mengurangi emisi yang telah mengakibatkan perubahan iklim dalam 20-30 tahun terakhir.
Sejalan dengan Konvensi Paris, hasil kesepakatan Presidensi G20 yang dilaksanakan di Bali pada 2022 juga mendukung penuh pemanfaatan EBT. Sesuai dengan kesepakatan dalam forum tersebut bahwa penggunaan energi-energi terbarukan alias energi hijau hendaknya segera diupayakan demi menjaga iklim bumi. Kalau dicermati dari beberapa sumber EBT, yang paling diniscayakan dunia internasional dewasa ini adalah pemanfaatan energi panas bumi (geotermal).
Hasil kesepakatan internasional itupun ditindaklanjuti pemerintah Indonesia dengan memaksimalkan proyek-proyek geotermal. Terutama pula bumi Indonesia memang dianugerahi cadangan geotermal melimpah. Sebagaimana diketahui Indonesia adalah negara dengan cadangan geotermal terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Bahkan, sebesar 40% cadangan panas bumi di dunia ada didalam bumi Indonesia.
Pada tahun 2023 kementerian ESDM mencatat potensi sumber energi yang terkandung dalam perut bumi Indonesia mencapai 23.965,5 megawatt (MW). Potensi tersebut baru dimanfaatkan sekitar 9,8 persen dengan kapasitas pembangkit listrik terpasang sebesar 2.342,63 MW. Ini artinya cadangan panas bumi yang terkandung dalam perut bumi kita masih sekitar 90% belum dimanfaatkan.
Namun demikian, upaya-upaya pembangunan dan pengembangan EBT geotermal kerap kali dirintangi masalah hak ulayat masyarakat adat. Tidak sedikit masyarakat adat menjadikan hak ulayat mereka sebagai "senjata" untuk memberangus idea kesejahteraan melalui proyek-proyek pangalihan energi. Padahal hak ulayat yang melekat dalam komunitas masyarakat adat dapat digunakan untuk mendukung usaha-usaha pemajuan negara.
Sering kali saya terangkan bahwa konstitusionalitas hak ulayat dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sifatnya tidaklah  mutlak alias bersyarat. Bersyarat artinya adat-budaya yang dimiliki suatu masyarakat diakui, dilindungi dan dihormati negara sepanjang masih hidup dan dipraktekan. Selain itu, sepanjang adat itu sejalan dengan kebutuhan perkembangan masyarakat dan zaman serta prinsip NKRI.
Satu hal yang paling rentan kalau bicara hak ulayat masyarakat adat ialah menjadikan hak ulayat atas tanah sebagai hak mutlak yang sifatnya hanya untuk kepentingan komunitas saja. Dengan kata lain, tanah ulayat tidak memiliki nilai sosial. Padahal secara hukum negara Indonesia, setiap jengkal tanah yang berada di dalam wilayah NKRI memiliki nilai sosial. Hal ini berlaku juga untuk tanah-tanah ulayat.
Nilai sosial atas tanah ini disebut fungsi sosial tanah. UU Agraria Nasional yakni UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UU PA) menegaskan fungsi sosial tanah. Pasal 6 UU PA mengatur: semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Artinya, sifat hak atas tanah haruslah mengandung nilai kepentingan umum.Â
Kalau membaca penjelasan dari pasal 6 UU PA terkait fungsi sosial tanah, dapat diketahui bahwa nilai kepentingan umum di sini bukan untuk merugikan hak pribadi atau hak tanah ulayat. Fungsi sosial pada tanah semata-mata untuk membuat keseimbangan antara kepentingan pribadi atau masyarakat pemilik tanah ulayat dengan kepentingan umum.