Pengetahuan masyarakat terkait dampak buruk seperti ini tentu saja lahir dari informasi-informasi valid semisal dari buku ataupun hasil penelitian yang berkaitan dengan panas bumi dan lingkungan hidup. Ataupun berdasarkan hasil pengamatan mereka di lokasi PLTP yang telah beroperasi. Jika faktor kesadaran seperti ini menjadi landasan tolak geotermal, maka perusahaan negara seperti PLN wajib mengedepankan pendekatan akademis dan sosiologis.
Pendekatan akademis dalam artian "beradu" data dan fakta untuk meyakinkan masyarakat bahwa secara konsep dan teknis serta fakta lapangan, proyek geotermal tidaklah berdampak buruk pada lingkungan katakanlah tanaman. Pendekatan sosiologis berarti meyakinkan masyarakat dengan cara-cara kultural; sesuai adat budaya masyarakat tersebut.
Kedua, mentalitas oportunis
Pada kenyataannya, penolakan geotermal tidak saja lahir dari kesadaran masyarakat terhadap dampak-dampak buruk yang akan terjadi. Mentalitas masyarakat yang hanya berorientasi pada keuntungan diri sendiri juga dapat saja menjadi alasan dibalik penolakan.
Mentalitas seperti ini disebut mentalitas oportunis. Misalkan, jika proyek itu menguntungkan saya maka saya dukung; meskipun akan merugikan banyak orang. Begitu pula jika proyek itu tidak menguntungkan saya maka saya tolak; meskipun akan menguntungkan banyak orang. Mentalitas yang sangat egois seperti ini dapat dilihat secara gamblang semisal dalam urusan penetapan lokasi.
Jika lahan saya ditetapkan sebagai lokasi proyek yang mana nilai kompensasinya "menggiurkan" maka saya akan mendukung proyek geotermal. Bila perlu pasang badan. Tetapi jika lahan saya tidak menjadi lokasi maka saya harus menolak proyek geotermal. Alasannya jelas "pokoknya tolak". Kenyataan seperti ini tidak jarang akan kita temui di lapangan. Mentalitas oportunis semacam ini memang akan sangat merugikan semua pihak.
Ketiga, doktrinasi-cuci otak
Kalau kesadaran dan mentalitas oportunis lebih bersifat inheren dalam diri masyarakat maka faktor yang satu ini datang dari luar. Kita mau jujur atau tidak, tidak dapat dipungkiri bahwa selalu ada invisible hands (orang-orang di belakang layar) yang ikut "bermain" dalam agenda penolakan proyek geotermal. Pihak-pihak seperti inilah yang kerap kali menggunakan doktrinasi guna "mencuci otak" masyarakat.
Biasanya dilakukan dengan cara menebarkan narasi-narasi menakutkan terkait geotermal. Misalkan, kampung sekitar proyek akan rata dengan tanah; ayat suci melarang pengeboran; berbagai macam penyakit kulit akan muncul; tanah akan tandus; tanah adat akan dicaplok dan lainnya. Masyarakat yang sudah terdoktrin mudah sekali diperhatikan dari pola pikir dan pola bicara mereka yang sama antara yang satu dengan lainnya. Kalau pada titik tertentu mereka lupa dengan narasi-narasi yang telah diframing maka prinsip "pokoknya tolak" jalan pamungkasnya.
Keempat, SDM
Ketiga faktor yang menjadi latar belakang masyarakat menolak geotermal di atas, harus jujur dikatakan bahwa sangat dipengaruhi oleh Sumber Daya Manusia (SDM). Disadari atau tidak, SDM masyarakat sangat menentukan keputusan mereka dalam hal mendukung-menolak pembangunan dan pengembangan geotermal yang notabene proyek strategis nasional.