Mohon tunggu...
Fais Yonas Boa
Fais Yonas Boa Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Peneliti

Aksara, Kopi dan kepolosan Semesta

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mafia Hukum-Peradilan? Itu Menjijikan!

27 September 2022   22:27 Diperbarui: 27 September 2022   22:35 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kasus korupsi dalam bentuk penyuapan yang melibatkan pengacara dengan seorang Hakim Agung di MA (Mahkamah Agung) benar-benar menjijikan! Kasus memalukan ini, sungguh menjadi cerminan paling terang bagi kita bahwa pelaku utama penegakan hukum di negri ini adalah para mafia; yang tentu bermoralitas dangkal; hampa integritas.

Mafia Hukum-Peradilan

Mafia hukum merupakan tindakan sabotase keadilan yang dilakukan oleh para penegak hukum. Mafia hukum dapat ditemukan di mana-mana, tapi lazim terjadi di lingkungan peradilan; dari tingkat bawah sampai tingkat paling atas. 

Fenomena mafia hukum di peradilan itulah yang kemudian melahirkan istilah mafia peradilan. Mafia peradilan berarti tindakan sabotase keadilan oleh para penegak hukum di lingkungan peradilan.

Kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA (Mahkamah Agung) yang sedang berjalan menunjukan kepada kita semua bagaimana mafia peradilan di negeri kita masih melekat dalam proses penegakan hukum. 

Lihatlah lingkaran pelaku penyuapan! Pelaku perkara penyuapan di lingkungan MA dilakukan oleh pengacara terhadap hakim. Mirisnya adalah hakim yang terjerat bukanlah hakim biasa melainkan Hakim Agung.

Perhatikan aliran dana dalam perkara penyuapan ini.

Berdasarkan keterangan KPK, sumber dana suap berasal dari Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi; yang tidak lain penggugat dalam perkara. Uang suap tersebut diberikan melalui kedua kuasa hukum mereka yakni Yosep Parera (YP) dan Eko Suparno (ES). Jumlah uang yang diserahkan secara tunai oleh Yosep dan Eko pada Desy sekitar Sin$202.000 atau sebesar Rp 2,2 miliar. Adapun dugaan aliran dana suap sebagai berikut: DY menerima sekitar Rp 250 juta, MH menerima sekitar Rp 850 juta, ETP menerima sekitar Rp 100 juta dan SD (Sudrajad Dumyati) sekitar Rp 800 juta yang penerimaannya melalui ETP.

Para penegak hukum yakni pengacara dan hakim, yang terlibat aktif dalam kasus suap di atas sangatlah pantas menjadi nasihat konkret bagi kita semua bahwa, pelaku utama kejahatan hukum sering kali dilakukan oleh mereka-mereka yang bekerja sebagai penegak hukum. Sekaligus membuktikan bahwa para penegak hukum di negeri ini masih bermoral dangkal; sekalipun itu seorang Hakim Agung.

Ancaman Hukuman

Jejaring mafia hukum rupanya sudah menjadi benalu abadi di dalam rangkaian proses penegakan hukum di Indonesia. Sejak negara ini merdeka, kelompok perampok keadilan di pengadilan sudah meraja-lela. Terutama sekali di bawah panji otoriterisme Orde Baru Soeharto. Pada waktu rezim Orba berkuasa, hukum persis seperti barang dagangan yang siap dibeli oleh siapapun yang berkuasa dan berduit. Tidak heran, para penegak hukum di zaman itu (hakim, jaksa, abri dan pengacara) kebanyakan tergabung dalam mafia hukum.

Di zaman Orba, tentu saja tidak ada hukuman yang berkepastian terhadap para mafia hukum-peradilan. Beruntungnya pasca reformasi, secercah harapan muncul dari hukum melalui peraturan perundang-undangan yang ada. Katakanlah UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Bahwasannya, hukuman bagi para mafia hukum sudah jelas dan berkepastian.

Dengan demikian, para mafia hukum yang terlibat dalam perkara ini diancam dengan hukuman tertentu. Sebagai pemberi suap, Heryanto, Yosep, Eko, dan Ivan Dwi disangkakan melanggar Pasal 6 huruf a dan b UU Tipikor.
Pasal 6

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;

b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

Sedangkan Sudrajad, Desy, Elly, Muhajir, Redi, dan Albasri sebagai penerima suap disangkakan melanggar Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 huruf a,b dan c UU Tipikor.
perhatikan ketentuan-ketentuan berikut:

Pasal 6

(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 12

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): 

  • pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
  • pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; 
  • hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;

Ancaman hukuman sesuai perintah peraturan perundang-undangan di atas, dalam praktik putusannya tentu tidak persis seperti bunyi ketentuan tersebut. Bisa saja diringankan ataupun diberatkan. Semuanya itu tergantung pada kebijaksanaan hakim melalui pertimbangan nalar hukum dan nurani dari para hakim yang memutuskan.

Menjijikan!

Pada akhirnya, saya hendak mengatakan bahwa kasus korupsi yang melibatkan pengacara dan Hakim Agung di atas, sangatlah menjijikan. Saya katakan demikian, bukan atas dasar kebencian pada rambut gondrongnya Yosep Parera ataupun muka asemnya Sudrajad, tetapi atas dasar beberapa pertimbangan penting.

Pertama, menyangkut moralitas

Moralitas tidak boleh dipisahkan dari urusan hukum. Moralitas merupakan salah satu batu uji efektivitas hukum. Moralitas dalam hal penegakan hukum menyangkut dua hal yakni mengenai kandungan nilai moral dari hukum dan kadar moralitas dari pelaku hukum. Setiap hukum dalam segala bentuk dan jenisnya, pastilah melekat dengan nilai moralitas katakanlah keadilan, kebaikan bersama hingga keharmonisan.

Begitu pula terkait pelaku hukum, terutama sekali penegak hukum sudah wajib memiliki kadar moralitas yang tinggi; atau setidaknya memiliki moralitas yang baik. Kasus yang sedang menimpa para penegak hukum seperti pengacara dan Hakim Agung, rasa-rasanya secara terang memberitahukan kepada kita bahwa moralitas para penegak hukum kita masih rendah. Bahkan, bermoralitas dangkal.

Kedua, regulasi

Regulasi menjadi salah satu aspek yang paling penting dalam membicarakan persoalan-persoalan hukum. Pada konteks perkara korupsi di lingkungan MA, kita juga patut mempertanyakan efektivitas dari regulasi kita. Bagaimana mungkin lingkungan peradilan sekelas MA memberikan ruang untuk menciptakan kesepakatan-kesepakatan jahat guna merampok keadilan?

Seharusnya regulasi terkait lingkungan peradilan, terutama sekali MA dan juga MK mampu menutup ruang gerak dari siapapun yang menjadi penghuni lembaga peradilan. Misalkan membatasi komunikasi di luar jam kerja dengan pihak-pihak yang berperkara. Atau cara lain, mempublikasikan secara rutin keluarga dan harta kekayaan para hakim dan pegawai-pegawai yang bekerja di dalam lembaga peradilan.

Ketiga, integritas

Selain dua pertimbangan di atas, integritas juga perlu dibicarakan dalam prahara hukum ini. Kalau dicermati, para pelaku terutama para penegak hukum dalam kasus ini benar-benar hampa integritas. Ternyata yang Agung sekalipun tidak mampu untuk menyatukan pikiran, pengetahuan dan nuraninya dengan dirinya sendirinya. Padahal menjadi penegak hukum, apalagi sekelas Hakim Agung sudah menjadi prasyarat memiliki integritas yang baik. Bagaimana mungkin hukum di negeri ini dapat ditegakan, kalau sumpah suci dan harapan akan keadilan dirampok oleh para mafia hukum?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun