Mohon tunggu...
Fais Yonas Boa
Fais Yonas Boa Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Peneliti

Aksara, Kopi dan kepolosan Semesta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Supersemar; Puncak Kudeta Merangkak Soeharto

22 September 2022   12:47 Diperbarui: 7 Oktober 2024   09:49 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://kesbangpol.kulonprogokab.go.id/

*Surat Perintah Sebelas Maret atau yang dikenal dengan akronim Supersemar merupakan titik puncak dari gerakan kudeta merangkak Soeharto. Surat Perintah ini telah membuat Soekarno buntung karena kekuasaannya diamputasi dan membuat Soeharto untung karena menjadi titik pijak ia berkuasa. *

Supersemar...

11 Maret 1966 telah dicatat sejarah bangsa Indonesia sebagai hari yang paling penting sekaligus paling naas. Penting karena di hari itulah sebuah Surat Perintah untuk pengamanan Presiden Soekarno dan tentu pula untuk terkendalinya situasi negara diterbitkan. Naas, karena di hari itu pula kekuasaan Presiden Soekarno dijara oleh pemegang Surat Perintah tersebut.

Sebagaimana diketahui bersama, jenderal yang memegang Surat Perintah itu adalah seorang jenderal yang diperhitungkan karena jenderal-jenderal besar telah dibantai secara sadis pada 30 September 1965. 

Jenderal beruntung atas kematian jenderal lain tersebut tidak lain jenderal Soeharto. Orang inilah yang kemudian menjadi penguasa selama 32 tahun lamanya dengan menjalankan kekuasaan otoriter.

Supersemar sejak diterbitkannya hingga sekarang ini masih dihantui berbagai macam pertanyaan yang menimbulkan kecurigaan-kecurigaan. 

Pertanyaan yang kerap diajukan ialah apakah Supersemar itu benar-benar dibuat oleh Presiden Soekarno? Apakah Supersemar yang dipegang Jenderal Soeharto itu asli? Apakah Supersemar memang ditujukan untuk Jenderal Soeharto?

Kemudian, pertanyaan-pertanyaan seperti ini lambat laun menjadi kecurigaan-kecurigaan. Kecurigaan yang paling kentara adalah tentang Jenderal Soeharto yang mengancam Presiden Soekarno untuk menerbitkan Supersemar. 

Kecurigaan yang lain ialah Supersemar itu sebenarnya bukan untuk Soeharto. Kecurigaan yang tak kalah ramai ialah jangan-jangan Supersemar sebenarnya tidak pernah diterbitkan Presiden Soekarno.

Berbagai pertanyaan yang kemudian menimbulkan kecurigaan-kecurigaan itu, memang wajib untuk terus dilacak lebih jauh. Akan tetapi, pertanyaan yang paling penting kita bahas sekarang ini adalah mengapa Supersemar mampu menghantarkan Soeharto ke kursi Presiden?

Suksesnya Kudeta Merangkak

Barang kali, banyak dari kita yang sudah mengenal strategi permainan Soeharto untuk menjatuhkan Soekarno.  Yah, strategi itu sering kita sebut "kudeta merangkak". Nahhh...pertanyaan yang mungkin perlu dijawab agar tidak asal menyebutkan istilah tersebut ialah...Apa itu kudeta merangkak?

Baiklah saudara-saudara, perlu kiranya kita mengulik istilah kudeta merangkak secara suku kata. Tentu kita mulai dari kata kudeta. Kudeta menurut KBBI berarti perebutakan kekuasaan secara paksa, misalkan dalah hal mengambil kekuasaan dari penguasa yang sah.

Namun demikian, dalam praktiknya penggunaan kata kudeta memiliki sifat yakni kudeta bersifat langsung dan tidak langsung. Kudeta langsung artinya proses perebutan kekuasaan secara paksa dengan menggunakan kekuatan fisik seperti yang lazim digunakan militer seperti kudeta di Myanmar. 

Sedangkan kudeta tidak langsung artinya proses perebutan kekuasaan secara paksa dengan cara nonfisik misalkan kudeta yang dilakukan Soeharto terhadap Soekarno (kita akan bahas lebih lanjut di bawah ya).

Selain soal sifat dan bentuk, kata kudeta juga sudah mengalami pengembangan makna dalam penggunaannya pada konteks ketatanegaraan. Dewasa ini, ada istilah kudeta konstitusional yakni proses perebutan kekuasaan yang bersifat tidak langsung dan berbentuk nonfisik dan kudeta tersebut diatur secara konstitusi. Kaget ya mblo...hahaha...

Kudeta konstitusional contoh konkretnya adalah impeachment atau pemakzulan (proses menurunkan presiden dari jabatannya) presiden oleh legislatif. Yang lebih konkret lagi ialah proses perebutan kekuasaan secara  paksa dalam tubuh partai politik melalui Kongres Luar Biasa (KLB); sebagaimana yang terjadi pada Partai Demokrat dan partai-partai lain yang pernah mengalami hal demikian (Golkar, PKB, PPP).   

Sedangkan kata merangkak berarti bergerak dengan bertumpu pada tangan dan lutut, katakan bayi yang belum bisa berjalan. Merangkak bisa juga diartikan bergerak lamban, tidak pesat kemajuannya misalkan sebuah proyek pembangunan yang sebenarnya waktu pengerjaan 1 tahun menjadi 3 tahun.

Dengan demikian, jika bicara kudeta merangkak maka berarti perebutan kekuasaan secara paksa dengan cara bertahap atau dengan proses yang lamban. Kudeta merangkak yang paling sukses dalam cerita sejarah bangsa Indonesia adalah kudeta merangkak Soeharto. 

Soeharto tampaknya sangat lihai menggunakan cara ini. Yang paling melekat di benak kita terkait kudeta merangkak Soeharto misalkan meletusnya peristiwa Gerakan 30 September 1965 (Gestok, Gestapu, G30S, G30S PKI).

Peristiwa berdarah dan sadis ini kemudian memunculkan sosok jenderal Soeharto sebagai pahlawan. Dan, gagahnya lagi ia kemudian mengidentifikasikan dirinya sebagai pelindung Pancasila. Tidak heran, pada 1 Oktober 1965 ketika operasi pembantaian PKI mulai dilakukan, Soeharto kemudian menjadikan hari ini sebagai hari Kesaktian Pancasila.

Bahkan, 2 tahun setelahnya yakni tahun 1967 Soeharto kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 153 Tahun 1967 yang mengatur bahwa 1 Oktober diperingati sebagai hari Kesaktian Pancasila. Jadi, kesimpulan sederhananya ialah pembantian PKI atau yang dalam kamus HAM disebut genosida adalah sah demi menegakkan Pancasila. 

Padahal, itu hanya akal busuk Soeharto yang menjadikan Pancasila sebagai tameng dan tentu untuk memuluskan rangkaian proses kedeta merangkaknya.

Acara pembantian sadis terhadap anak-anak bangsa baik PKI maupun bukan PKI tapi dilabeli PKI; kemudian menjadi-jadi setelah diterbitkannya Supersemar. Laporan Komnas HAM pada tahun 2012 mengatakan korban pembantaian PKI mencapai kisaran 500ribu hingga 3 juta jiwa. 

Bayangkan itu...intinya kan Soeharto bisa naik tahta lah, mau 10 juta jiwa melayang bukan urusannya. Bukankah begitu Pak Harto? Hahaha...

Setelah semua yang berbau PKI selesai diembat, Soeharto dengan modal Supersemar semakin menunjukkan kekuasaannya pada jalur politik. MPRS sebagai lembaga tertinggi negara kemudian ia kuasai hingga akhirnya MPRS menarik mandat Presiden dari Soekarno. 

Tidak heran ketika Soekarno berpidato untuk membela dirinya di hadapan MPRS pada 22 Juni 1966 tepat pada Sidang Umum Ke-IV MPRS; MPRS menolaknya.

Pidato yang terkenal dengan nama Nawaksara itu bak angin lalu bagi MPRS yang tentu saja sudah berada di barisan Soeharto. Setelah mandat yang diemban Soekarno dicabut, Soeharto yang suka senyum (sampai media-media barat menjulukinya the smiling general) tapi gemar "darah" itu tidak berhenti di situ. Ia kemudian menggunakan berbagai macam cara untuk menggalang kekuatan dan menghancurkan pengaruh Soekarno atau yang disebut desukarnoisasi.

Supersemar telah benar-benar menjadi sarana strategis Soeharto untuk mengkudeta Seokarno. Tapi, seperti yang telah saya singgung tadi bahwa sebenarnya Soeharto telah lama melakukan kudeta tetapi dengan cara yang lamban persis strategi perang gerilya alias perang ngumpet-ngumpetan. 

Disadari atau tidak Supersemar ini tidak lain sebagai puncar dari kudeta merangkak Soeharto. Yah, ibarat perang gerilya githulah; Supersemar itu seperti pisau yang siap menikam leher dari tentara lawan. Ayo bayangin mblo...hahaha...

Jas Merah!

Saya tidak sedang membawa anda ke masa lalu, tetapi seperti kata Soekarno yang tidak lain proklamator bangsa kita; orator ulung; nasionalis sejati; sekaligus korban kudeta Soeharto bahwa "jas merah: jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah!".

Sejarah tidak boleh dilupakan bukan untuk diulang kembali tetapi untuk dijadikan cermin bagi kita kini. Sejarah terutama menjadi ajaran penting kepada generasi masa kini dan mendatang bahwa segala tindakan memiliki dampak. Sama seperti cerita Supersemar yang menjadi puncak kudeta merangkak Soeharto mengajarkan kepada kita dan lebih-lebih kepada penguasa bahwa kekuasaan itu harus dijaga karena setiap manusia pasti ingin berkuasa.

Yah, seperti kata Nietzche "manusia pasti memiliki kehendak untuk berkuasa (will to power)"...apalagi manusia seperti Soeharto...hahaha...gak lah kita semua memiliki hasrat untuk berkuasa..itu wajar dan alamiah.

Selain sisi kekuasaan, dengan sejarah seperti terkait Supersemar juga mengajarkan bangsa Indonesia bahwa segala kekuasaan yang didapatkan dari kudeta misalkan kudeta merangkak seperti dilakukan Soeharto; akan mendatangkan petaka. HAM terpasung, penculikan aktivis, pembantaian kelompok oposisi; bukankah itu petaka.

Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun