Mohon tunggu...
Fais Yonas Boa
Fais Yonas Boa Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Peneliti

Aksara, Kopi dan kepolosan Semesta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Soal Kenaikan Harga BBM

11 September 2022   10:15 Diperbarui: 11 September 2022   10:16 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Saya sebetulnya ingin harga BBM di dalam negeri tetap terjangkau dengan memberikan subsidi dari APBN. Tetapi anggaran subsidi dan kompensasi BBM tahun 2022 telah meningkat tiga kali lipat dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun, dan itu akan meningkat terus. Dan lagi, lebih dari 70 persen subsidi justru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu yaitu pemilik mobil-mobil pribadi,”

Begitu pertimbangan Presiden Jokowi sebelum menetapkan kebijakan terkait penyesuaian alias kenaikan harga BBM. Tepat pada Sabtu 4 September 2022, kebijakan itupun ditetapkan dan diterapkan. Sejak kebijakan menaikan harga BBM diberlakukan, hampir di seluruh pelosok negeri melakukan aksi penolakan melalui demonstrasi, baik dilakukan oleh mahasiswa maupun oleh kelompok gerakan sosial ataupun oleh kelompok kerja seperti para buruh.

Tentu banyak cerita dibalik aksi-aksi penolakan kenaikan harga BBM, dari yang menarik, disayangkan hingga tragis. Lihatlah perayaan ulang tahun Ketua DPR Puan Maharani di tengah gelombang aksi massa; bukankah itu menarik? Ataupun roasting terhadap 2 orang anggota DPRD Majalengka. Lihat pula aksi ricuh dengan aksi vandalisme di Jogja; bukankah itu disayangkan? Ataupun para pendemo yang menghalangi mobil Wakil Presiden. Lihat pula ulah oknum polisi di Makasar yang menembaki para pendemo dengan busur; bukankah itu tragis?

Mengapa Pemerintah Menaikan harga BBM?

Mungkin banyak diantara kita yang bertanya-tanya, mengapa sampai hati Presiden Jokowi menaikan harga BBM di tengah kondisi ekonomi masyarakat belum stabil? Saya pun bertanya begitu para pembaca budiman...Namun, dibalik pertanyaan itu mari kita lihat alasan paling fundamental dalam prahara kenaikan harga BBM. Menurut keterbatasan pengetahuan saya, harga BBM naik disebabkan oleh pertimbangan inflasi.

Apa itu inflasi? Menurut KBBI, inflasi artinya kemerosotan nilai uang karena banyaknya dan cepatnya uang beredar sehingga menyebabkan naiknya harga barang-barang. Menurut Bank Indonesia, inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Jadi, ketika terjadi inflasi dalam suatu negara maka barang dan jasa akan mengalami kenaikan.

Kondisi seperti ini tentu membuat perekonomian negara menjadi tidak stabil. Maka dari itu, sangatlah penting bagi pemerintah untuk mengendalikan inflasi; jangan sampai inflasinya tinggi. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Mengutip catatan Bank Indonesia, ada beberapa masalah ketika terjadi inflasi tinggi. Pertama, akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin.

Kedua, akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai Rupiah.

Tujuan Menaikan harga BBM

Lihat kembali pernyataan Presiden Jokowi di atas. Kalau dicermati, pernyataan Presiden Jokowi sudah menegaskan tujuan pemerintah menaikan harga BBM di tengah kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tak menentu. Ada dua alasan utama.

Pertama, untuk kompensasi

Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam keterangannya menjelaskan bahwa subsidi BBM dan kompensasi di 2022 mengalami peningkatan signifikan dari Rp 188,3 triliun pada 2021, senilai Rp 188,3 triliun pada 2020, Rp 144,4 triliun pada 2019, dan Rp 153,5 triliun pada 2018. Peningkatkan yang signifikan pada tahun 2022 diketahui menjadi 502,4 triliun dari alokasi awal 152,5 triliun.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara dalam Rakor TPID yang disiarkan oleh akun Youtube Kemendagri RI,  menerangkan "Dalam APBN 2022 sesungguhnya telah dialokasikan anggaran subsidi dan kompensasi sebesar Rp 152 triliun. Namun beberapa bulan lalu dengan terjadinya peningkatan harga minyak dunia juga terjadi perubahan kurs, maka kita mengestimasi kebutuhan 2022 adalah Rp 502,4 triliun. Kebutuhan ini naik 3 kali lipat dari perhitungan awal Rp 152,5 triliun,"

Anggaran subsidi BBM yang naik menjadi 3 kali lipat pada 3 kuartal tahun 2022 tentu saja kemudian membutuhkan penyesuaian. Penyesuaian kemudian dilakukan dengan menaikan harga BBM. Kebijakan menaikan harga BBM sebenarnya bertujuan untuk melakukan kompensasi terhadap kebijakan subsidi dan kompensasi BBM selama 3 kuartal yang telah berlalu.

Jadi, sebenarnya kebijakan menaikan harga BBM pada bulan September 2022 adalah bentuk kompensasi terhadap subsidi BBM yang telah memakan anggaran negara sebesar 502,4 triliun selama Januari-Agustus 2022.

Kedua, pengalihan subsidi

Kebijakan menaikan harga BBM yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Jokowi sekarang ini, tidak saja untuk kompensasi pengeluaran negara untuk BBM, melainkan juga untuk mengalihkan subsidi BBM. Pengalihan yang dilakukan adalah dengan mengurangi pengeluaran untuk subsidi BBM dan meningkatkan anggaran subsidi sosial melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT), diantaranya BLT BBM sebesar RP.150.000 dan BLT BSU (Bantuan Subsidi Upah) sebesar Rp. 600.000.

Kebijakan pengalihan subsidi BBM memang patut diwaspadai, mengingat BBM merupakan poros bagi segala bidang perekonomian. Namun demikian, kita perlu realistis dengan situasi perekonomian global dan nasional yang tak menentu pasca covid-19. Maka dari itu, kebijakan-kebijakan “gila” seperti menaikan harga BBM sudah seharusnya telah melalui pertimbangan yang matang dan terukur. Sehingga pengalihan subsidi tidak kemudian mendatangkan persoalan baru.

Ketiga, menjaga stabilitas ekonomi

Perekonomian yang stabil merupakan harapan besar kita semua. Atas dasar itu, setiap negara di dunia ini senantiasa berupaya agar dapat menjaga stabilitas ekonomi. Indikator utama stabilitas ekonomi sebuah negara adalah dengan menjaga kesesuaian harga barang dan jasa. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa yang namanya inflasi, tidak boleh menjadi tinggi sekaligus tidak boleh terlalu rendah.

Mungkin anda bertanya, bagaimana mungkin menaikan harga BBM dapat menjaga stabilitas ekonomi? Saya tidak akan menjawabnya dengan ilmu ekonomi, tetapi saya hendak mengatakan bahwa pengalihan subsidi BBM dilakukan untuk menjaga daya beli masyarakat. Daya beli masyarakat haruslah stabil meski di tengah naiknya harga barang dan jasa akibat naiknya harga BBM. Lagipula, anggaran besar yang digelontarkan selama 3 kuartal di muka tidak tepat sasaran.

Bahkan dikatakan Presiden Jokowi, 70% lebih BBM subsidi dinikmati oleh golongan mampu. Artinya, subsidi dan kompensasi BBM yang mencapai angka fantastis 502,4 triliun faktanya tidak sesuai dengan target yang diinginkan. Oleh sebab itu, meskipun menaikan harga BBM menyakitkan, tetapi jangan lupa bahwa ini merupakan upaya “sadis” untuk menjaga stabilitas ekonomi.

Bagaimana Kita menanggapinya

Naiknya harga BBM tentu berpengaruh besar terhadap siklus perekonomian masyarakat. Terutama sekali dalam situasi tak menentu pasca covid-19. Naiknya BBM tentu saja berdampak langsung pada naiknya harga barang dan jasa. Di tengah situasi ekonomi masyarakat yang carut-marut, naiknya harga barang dan jasa berpotensi memperlambat perputaran uang di masyarakat.

Tidak untuk dinafikan bahwa kebijakan Presiden Jokowi menaikan harga BBM sangat memberatkan rakyat. Bagaimana tidak, harga BBM yang stabil saja sudah cukup menguras kantong untuk memenuhi kebutuhan hidup di tengah gejolak ekonomi pasca pandemi. Makanan, minuman, transportasi; kini makin tak terjangkau. Di wilayah-wilayah pedesaan yang mengandalkan pertanian makin susah lagi. Sudah hasil panen tidak maksimal akibat perubahan iklim, diperparah lagi dengan naiknya biaya kebutuhan hidup. Bagai sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Kebijakan menaikan harga BBM wajar memang jika kita sesalkan. Akan tetapi, seburuk-buruknya sebuah kebijakan pastilah memiliki nilai baik dan guna. Dengan lain perkataan, kita perlu realistis dengan kebijakan “gila” dan “sadis” seperti ini. Seperti yang telah disampaikan bahwa kebijakan menaikan harga BBM berdasarkan pertimbangan inflasi. Menjaga inflasi tetap stabil wajib dilakukan; sekalipun itu menyakitkan. Upaya kompensasi dan pengalihan subsidi dengan cara yang terbilang ekstrem seperti ini, kita harapkan benar-benar sesuai harapan bersama yakni menjaga stabilitas perekonomian nasional.

Pada akhirnya saya hendak mengatakan bahwa cara kita menanggapi kebijakan menaikan harga BBM harus secara logis, terukur dan realistis. Logis dalam arti melihat kebijakan ini dengan akal sehat bahwa pada dasarnya kebijakan ini merupakan buah simalakama. Dibuat menyakitkan; tidak dibuat menyakitkan juga. Terukur dalam arti reaksi-reaksi dalam menghadapi kebijakan ini masih dalam koridor. Tidak boleh berlebihan. Melakukan demonstrasi sangatlah penting dan memang harus dilakukan. Tetapi, tetap menjaga ketertiban dan keamanan. Realistis artinya menerima kebijakan ini dengan pertimbangan kepentingan umum yakni demi menjaga stabilitas perekonomian negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun