Namanya samudra, sama seperti kesan pertama saat aku pertama kali menatap kedasar matanya yang dalam. Samudra tak hanya mengenai lautan biru yag menghampar luas sejauh mata memandangnya, namun samudra-ku adalah sosok pria yang aku cintai melebihi kecintaanku pada birunya lautan. Samudra adalah kekasih, sekaligus belahan jiwaku. Kami dipertemukan dalam sebuah misi penyelamatan ketika kota Padang (sum-bar) diterpa gempa. Saat itu, aku sebagai salah satu mahasiswa farmasi turut andil dalam aksi tersebut, dan samudra adalah seorang mahasiswa yang juga ternyata salah satu dari keluarga korban yang saat itu aku tangani. Perkenalan yang singkat, namun menyisakan bias-bias cinta dihatiku, hingga ketika setahun kemudian, tuhan mempertemukan kami kembali, Samudra menyatakan perasaannya padaku, dan aku yang masih mendambanya tak kuasa untuk menyatakan kata “tidak” baginya yang hingga saat ini adalah satu-satunya cinta dalam hidupku.
Samudra adalah sosok pria romantis yang meskipun terkadang terkesan dingin, namun ia memiliki jiwa yang hangat dan tulus. Sebagai pencinta alam, ia senang berpetualang dan tak hanya sekali ia mengajakku menikmati keindahan jagat ini bersama sahabat-sahabatnya. Samudra benar-benar memiliki jiwa seluas samudra, hingga akupun pada akhirnya mencintainya melebihi luasnya samudra.
Suatu hari ia datang padaku dengan ekspresi yang sulit diartikan, matanya kembali dingin, dan aku melihat jurang yang begitu terjal dari tatapannya.
“nin, maafin aku. Rhea kini kembali, dan aku tak mampu untuk tidak bersamanya, dan kamu...sangat tau ini artinya apa bagiku”. Hening, dadaku bergemuruh namun aku mencoba untuk terus bernafas. Dalam sekejap, Samudra telah menyentuh pipiku dengan lembut, nafasnya kurasakan jatuh dipipiku dan rasanya kulitku seakan terbakar saat ia mengecupku dan kemudian berlalu. Tak pernah lagi kutemui dia semenjak malam itu. Cintaku direnggut, dan aku kehilangan karena cinta tak mengizinkanku untuk memiliki Samudra-ku. Semenjak itu pula, aku mulai berpetualang, menjelajahi birunya samudra, berharap lautan lepas mampu menggantikan kehadirannya bagiku. Pantai demi pantai, pulau demi pulau telah terlewati namun Samudraku tak pernah kembali. Pernah sesekali kudengar kabar burung tentang sepak terjangnya diluar sana, kekasihnya yang akhirnya meninggalkannya, kemudian sikapnya yang mereka bilang berubah menjadi lelaki hidung belang, namun tetap saja, tak sekalipun dalam tiga tahun itu Tuhan mengizinkan kami bertemu.
Mendekati tahun keempat, seluruh kekecewaanku akhirnya menemukan titik terang. Samudra muncul dan aku yang terlalu terkejut, sampai tak mampu berucap sepatah apapun padanya. Marah, kecewa, namun juga ada rindu yang bergelayutan dihatiku, namun aku mencoba menahannya. ‘Hanya untuk kali ini saja, bersabarlah’,batinku.
Kuatur kembali nafasku yang sempat tercekat, dan kuberikan sebuah senyuman manis untuknya,Samudraku.
“hai...”, sapaku kaku. Dan akhirnya perbincangan basa-basipun berlalu dengan cepat. Aku tak menolak ketika samudra menawari untuk mengantarku pulang. Kami benar-benar kikuk, dan sesekali aku mencuri pandang kedalam matanya yang biru dan teduh. Aku menawarinya untuk mampir sebentar hanya sebagai basa basi semata, namun tak disangka, Samudra melenggang masuk kedalam apartemenku yang tak pernah berubah semenjak kepergiannya dulu. Tak perlu waktu lama bagi kami untuk melanjutkan basa basi tersebut, ketika kemudian sebuah tangan merengkuhku erat dari belakang, dan aku tak mampu menolaknya. Waktu seakan berhenti dan hanya keheningan yang mengiringi desahan nafasnya dipipiku. Malam itu, ia mengecupku kembali dan berlalu, dan ini ku tau hanyalah permulaan.
Meski tak selalu hadir dihadapanku, ia masih sesekali menyediakan waktu disela kesibukannya untuk menemuiku. Biasanya tak lebih dari dua minggu sekali, atau apabila terpaksa kami hanya bertemu sebulan sekali saja. Ia tak pernah lupa untuk mengecup kedua mataku seperti yang dahulu biasa dilakukannya, memelukku dari belakang karena ia tau aku sangat menyukai hal itu, dan ia benar-benar telah membuatku merasa sempurna. Tak ada lagi yang kubutuh kan didunia ini selain dirinya dan momen-momen singkat kami yang berharga.
Kami menghabiskan malam dengan saling berkisah satu sama lain, namun sebenarnya aku lah yang mendengarkan kisahnya. Entah tak ada yang menarik untuk ku kisahkan padanya, atau memang barangkali rasa keingintahuanku yang akhirnya selalu membawa kami pada perjalanan hidupnya. Ia bercerita tentang kekasih-kekasihnya layaknya pria hidung belang, namun saat aku mencoba untuk menatap kedua bola matanya, aku menemukan kekosongan disana, dan bagiku dia tetaplah Samudraku, tempat bermuaraya segala cinta dan meleburnya segala rasa. Hingga saat ini, kami tak pernah memiliki kesepakatan untuk kembali bersama menjalin kasih, namun kami melewati hari-hari layaknya kekasih lainnya dan tak ada yang perlu mengetahui kenyamanan yang kami nikmati satu sama lainnya itu. Dan semua terasa sempurna karena aku memilikinya dalam kehidupanku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H