Mohon tunggu...
Fairuz Izzah
Fairuz Izzah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fairuz Nurul Izzah. Lahir tahun 2000. Berdomisili di Jakarta.

Lulusan Universitas Terbuka jurursan Sastra Inggris Bidang Minat Penerjemahan Pengidap Sindrom Asperger Sudah menulis 6 buku

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Love On the Spectrum, Individu Autistik Mencari Cinta Sejati

23 Agustus 2020   18:12 Diperbarui: 24 Agustus 2020   21:53 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bisakah individu-individu autistik seperti saya mendapatkan pacar, lalu menikah dan berkeluarga? Karena seperti individu normal lainnya, saya juga mau berpacaran, dan bila Allah mengizinkan, menikah dan memiliki keluarga. 

Tapi bagaimana mencari pacar? Apa yang dilakukan pada saat berpacaran? Hal-hal apa yang harus saya perhatikan bila saya memilih cowok untuk menjadi pacar? Tidak disangka pertanyaan-pertanyaan saya mendapatkan jawaban di salah satu film serial Netflix yang berjudul Love on the Spectrum.

Love on the Spectrum intinya merupakan serial dokumenter empat bagian yang mempunyai partisipan individu dewasa autistik. Dalam serial dokumenter ini ditampilkan kisah-kisah mereka di dunia cinta, kencan, dan hubungan yang tidak terduga. 

Tujuan dibalik pembuatan serial dokumenter ini amatlah mulia, yaitu untuk meluruskan kesalahpahaman tentang individu autistik yang dianggap tidak dapat mempunyai hubungan cinta yang bermakna. (Sumber: Dailysia).

Pembuatan serial dokumenter ini berlokasi di Australia. Perusahaan yang membuat dokumenter ini adalah Northern Pictures selama periode 2019. Awalnya tayang di ABC, lalu Netflix mendapat giliran menayangkan acara ini ketika pandemi corona masih berlangsung.

Dalam serial dokumenter ini, individu dewasa autistik yang terlibat adalah mereka yang berusia antara 20 sampai dengan 30 tahun dengan spektrum autis ringan. 

Artinya, mereka mampu berpikir dan berperilaku mengikuti aturan dan norma yang berlaku di masyarakat, atau mereka dikategorikan sebagai individu penyandang High Function Autism Disorder (HFDA) dan Asperger. 

Kebanyakan yang ikut acara ini laki-laki, tapi ada juga perempuan. Beberapa dari mereka sudah bekerja kantoran dan menjadi pemain di teater khusus buat individu autistik. 

Masing-masing punya keunikan, seperti menari, main piano, dan berbahasa Jepang. Sebagian besar mereka masih tinggal bersama orangtua, namun ada juga yang hidup mandiri di apartemen. Tiap-tiap orang berbeda-beda dalam sifat kemandirian. 

Kesulitan paling utama bagi beberapa partisipan di acara itu adalah sosialisasi, karena memang yang selalu menjadi masalah bagi individu autistik adalah proses interaksi dengan orang lain atau lingkungan sosialnya. 

Oleh karena itu, di acara ini para partisipan mendapatkan pendampingan dan terapi dari psikolog dan terapis yang membantu dan memberikan pelatihan. 

Dua di antara pendamping yang terlibat adalah Jodi Rodgers dan Dr. Elizabeth Laugeson. Jodi mengajar cara bersosialisasi lewat gambar, lalu mengajak individu autistik bermain peran sehingga ia bisa mengoreksi langsung kesalahan yang dibuat. Sementara itu, Dr. Elizabeth membuat lokakarya khusus untuk individu dewasa autistik. 

Dalam lokakarya itu, ia memberikan tips cara memilih orang yang tepat untuk diajak berkencan, contoh-contoh berkencan dan mengajak para peserta bermain peran. 

Salah satu contoh cara berkencan adalah kita tidak boleh terlalu banyak bertanya dan langsung ke pertanyaan personal seperti keinginan punya anak atau tidak, tapi kita harus juga memberikan kesempatan untuk kencan kita bertanya mengenai diri kita. Hal ini terkadang sulit dilakukan individu autistik seperti saya, oleh karena itu ini menjadi catatan penting buat saya.

Love on the Spectrum juga memasukan kegiatan lain untuk mempertemukan para individu autistik yang ingin berkenalan dengan lawan jenisnya, yaitu speed dating---kegiatan bertemu dan mengobrol untuk saling kenal dan mencari tahu persamaan minat. 

Acara semacam ini tidak umum di Indonesia karena saya tidak pernah tahu kegiatan semacam ini. Tapi kegiatan ini menarik karena kita tidak perlu berlama-lama bicara dengan seseorang. 

Kita cukup tahu beberapa hal saja mengenai orang itu, lalu memilih dengan siapa kita ingin bertemu di lain waktu (kencan). Setelah itu, oleh penyelenggara speed dating kita dipertemukan di suatu tempat - bisa restoran, kebun binatang, atau taman bermain. 

Lalu kita diberikan kesempatan untuk berkenalan lebih dalam, dan di akhir pertemuan, kita bisa menentukan apakah kita tertarik untuk bertemu lagi dengan orang itu atau tidak. 

Untuk orang normal yang menonton kencan ini, seperti mama saya, apa yang dilakukan para pasangan ini sangat menarik sekaligus mengharukan. Karena menurut beliau, kencan adalah hal yang biasa dilakukan oleh orang lajang. 

Tapi di kencan ini, pada dewasa autistik berusaha keras untuk bisa mengendalikan diri mereka agar orang yang diajak kencan merasa nyaman. Tujuan para dewasa autistik untuk mendapatkan pasangan adalah tulus, tanpa pretensi. Sedangkan saya baru tahu apa itu kencan dan tujuannya berkencan.

Namun tidak semua partisipan perlu pelatihan, karena ada dua pasangan yang sudah melewati proses menemukan pasangan. Bahkan pasangan-pasangan itu sudah berpacaran lama. 

Mereka saling mencintai dan punya keinginan untuk menikah. Satu pasangan melakukan lamaran, dan ini buat saya sangat senang. Acara melamar ini adalah bagian favorit saya di dokumenter ini. 

Sekalipun ada hal yang lucu karena si pria tidak suka berciuman. Saya hanya membayangkan bagaimana ia akan bermesraan dengan pacarnya kalau tidak suka dicium dan mencium.

Sambil menonton, saya belajar bagaimana cara para individu autistik itu mencari pacar, hal-hal yang perlu dicatat untuk menentukan orang seperti apa yang layak menjadi pacar dan yang harus dihindari, lalu cara berperilaku saat berkencan. 

Saya rasa hal-hal ini perlu untuk individu dewasa autistik di Indonesia, karena setelah lulus SMA atau kuliah, lalu bekerja, pasti ada keinginan untuk mempunyai pasangan untuk dijadikan pacar dan dinikahi sampai punya keluarga sendiri. 

Hambatan pasti ada, karena biasanya individu autistik sulit menerima perubahan dalam hidup mereka. Namun seperti saya, kalau hal baru itu diperkenalkan lebih dahulu, lama-kelamaan mereka bakal terbiasa dengan hal baru tersebut.

Setelah menonton serial dokumenter ini, menurut saya, alangkah menyenangkan bila ada yayasan atau komunitas pemerhati autisme di Indonesia menyelenggarakan lokakarya atau workshop mengenai hal-hal seputar berpacaran dan menikah buat individu dewasa autistik. 

Beberapa dari kami, para dewasa autistik - seperti saya, dengan keunikan yang kami miliki, punya naluri yang sama dengan dewasa lainnya. Kami ingin mempunyai teman berbagi suka-duka, bahkan kalau memang ada jodoh, kami menikah dan membentuk keluarga. 

Buat para orangtua, kerabat dan guru para individu autistik, tontonlah Love on the Spectrum. Ini bisa membuka wawasan Anda semua, lalu memberikan kesempatan dan pendampingan yang tepat. Siapa tahu, anak, saudara atau murid Anda bisa menemukan cinta sejati yang pantas untuk dinikahi dan hidup bahagia sampai akhir hayat.

Sementara buat teman-teman saya sesama penyandang autis, jika ingin mencari pasangan, mulailah dengan belajar berinteraksi dan berteman. Akan lebih mudah bila pasangan kita adalah sesama autistik karena kita sama-sama tahu kondisi kita. 

Namun jika berhubungan dengan individu normal, bersabarlah, tapi yang terpenting, ia harus tahu dan bisa menerima kondisi kita. Lalu bersama-sama berusaha saling beradaptasi. 

Jangan lupa berdoa pada Tuhan untuk memudahkan usaha kita. Prosesnya mungkin lama, tapi kita harus berani memulai. Mari kita berjuang bersama-sama.

******

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun