Mohon tunggu...
Fairuz Lazuardi Nurdani
Fairuz Lazuardi Nurdani Mohon Tunggu... Lainnya - Bachelor of Law

Email : fairuzlazuardi15@gmail.com Instagram : fairuzlazuardi Twitter : @fairuzlazuardi Cp : 082124176998

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Potret Kemunduran Demokrasi: Machstaat dalam Praktik, Politik Pragmatis Elite dan Sosok Prematur Menjadi Masalah Kontemporer Bangsa

25 Oktober 2023   14:29 Diperbarui: 25 Oktober 2023   15:11 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demokrasi, kata yang selalu dilontarkan berbagai kalangan profesi baik Politisi, Akademisi, Aparat Negara, Advokat hingga Sipil dalam menggambarkan seperti apa Indonesia sejak dulu hingga saat ini. Namun sama dimulut tapi lain di praktik, demikian maksudnya ialah setiap orang memiliki perbedaan dalam memahami arti dan maksud Demokrasi, walaupun disepakati secara etimologi ialah kekuasaan rakyat yang secara tafsir semestinya rakyat adalah pemegang utama kedaulatan dan perangkat negara adalah fasilitator untuk memfasilitasi rakyat mencapai kedaulatan tersebut namun sayangnya itu hanyalah definisi dari arti kata bukan implementasi dalam bentuk nyata.

Sejarah mencatat Indonesia sudah melalui berbagai macam praktik demokrasi, dimulai dari demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila ala Orde Baru dan Demokrasi pasca Reformasi atau bahkan mungkin saat ini seperti apa yang Pak Ichsanuddin Noorsy (pengamat ekonomi) katakana bahwa saat ini Indonesia berada dalam jeruji Demokrasi Korporasi, tapi apapun itu nyatanya demokrasi tidak diterapkan sebagaimana mestinya dan kekuasaan rakyat hanya angan bahkan sekedar teori dalam sebuah ilmu pengetahuan.

Fluktuasi Demokrasi di Indonesia

Seperti yang sudah disebutkan bahwa Indonesia mengalami banyak fase Demokrasi jika dilihat dari Sejarah tentu itu adalah sebuah hal yang unik, akan tetapi perbedaan konsep demokrasi di setiap era itu memperlihatkan juga adanya perbedaan intelektualitas yang hidup dan berkembang. Karena pada dasarnya intelektualitas adalah mesin utama Demokrasi, ibarat demokrasi adalah rangkaian kereta dan intelektualitas adalah mesin lokomotif penggerak kereta, beda mesin beda kecepatan dan beda kereta tentu berbeda pula fasilitas di dalamnya. Seperti itulah Demokrasi yang begitu berbeda variannya, namun yang berbahaya ialah Demokrasi tanpa intelektualitas atau Demokrasi hanya dijadikan alat untuk menutupi dominasi kuasa elite atas rakyat.

Menurut Laporan Komnas HAM pada Tahun 2022, di era kepemimpinan Jokowi dalam situasi demokrasi di Indonesia cenderung mengalami regresi (kemunduran). Tentu ini menjadi catatan buruk mengingat kita saat ini yang ada dalam suasana Reformasi yang dimana cita-cita Reformasi itu sendiri ialah mengembalikan marwah Demokrasi  setelah kekuasaan otoriter berkedok Demokrasi Pancasila berkuasa 32 Tahun lamanya. Akan tetapi justru kemunduran Demokrasi seolah memang menjadi agenda rezim, mengapa demikian?

Jika kita membuka mata secara lebar, maka kita akan melihat para tokoh-tokoh elite yang memegang kendali kekuasaan baik didepan layar ataupun dibalik layar merupakan kroni-kroni yang tumbuh dan berkembang di era Orde Baru, mereka adalah warisan orba dan kita berharap mereka melaksanakan agenda reformasi dengan semestinya? Jelas tidak mungkin, adapun para pejuang reformasi yang masuk ke dalam kekuasaan pada akhirnya tunduk dan menjadi kacung elite seolah lupa bagaimana keras nya perjuangan dimasa lampau. Dan inilah yang menjadikan Demokrasi di Indonesia pasca reformasi hanya massif diawal tetapi semakin lama semakin menurun kualitasnya yaitu dikarenakan masih banyaknya warisan orba menghiasi ruang-ruang kekuasaan dan para pejuang reformasi yang bungkam ketika masuk ke dalam kekuasaan. Sehingga suara-suara dari luar kekuasaan saat ini hanya dianggap angin lalu yang akan lenyap oleh represifitas aparat.

Sehingga naik-turun nya pemaknaan maupun penerapan Demokrasi adalah tergantung siapa yang berkuasa dan sejauh mana suara diluar kekuasaan. Pada dasarnya penguasa tidak akan ada yang sedemokratis yang dibayangkan, kepentingan golongan atau pribadi adalah yang senantiasa diperjuangkan lebih awal karena melihat bagaimana salah satu instrument Demokrasi hari ini yaitu partai politik tidak menjadi wadah yang memberikan pendidikan Demokrasi yang semestinya, mereka hanya mengatur strategi dan cara untuk bisa menduduki kursi-kursi kekuasaan. Maka sangat naif jika menggantungkan Nasib pada mereka, satu-satunya jalan menyelamatkan Demokrasi di Indonesia adalah mencerdaskan rakyat dengan literasi, dengan kekayaan intelektual lah yang akan menjadi senjata ampuh dalam melawan kekuasaan apabila kekuasaan tersebut keluar dari jalur yang seharusnya. Rakyat harus siap menjadi oposisi alami demi menciptakan check and balance di sebuah negara, karena menitipkan nasib opoisisi kepada sesama elite adalah MALAPETAKA!

Secara Amanat Rechstaat, Tetapi Secara Praktik Machstaat

Indonesia menerapkan konsep Rule of Law sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Ini merupakan amanat Konstitusi yang memang isi nya mencita-citakan negara Indonesia adalah yang berdasarkan hukum (rechstaat) dan bukan berdasarkan kekuasaan (machstaat). Negara hukum menjadi suatu cita-cita para Founding Father kita ialah dikarenakan negara hukum sejalan dengan konsep negara demokrasi, atau bahkan menurut alm. Prof Arief Sidharta dalam salah satu jurnalnya yang berjudul "Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum", ia merumuskan pandangannya tentang unsur-unsur dan asas-asas Negara Hukum itu secara baru, yaitu meliputi 5 (lima) hal yang dimana salah satunya adalah Asas Demokrasi.

Namun pada kenyataannya saat ini, Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut "The International Commission of Jurists yaitu Negara harus tunduk pada hukum, Pemerintah menghormati hak-hak individu dan Peradilan yang bebas dan tidak memihak seolah semakin redup. Prinsip-prinsip itu dikhianati kendati demi golongan tertentu yang memiliki hasrat akan suatu kepentingan. Agenda-agenda penyelundupan hukum yang dilakukan oleh rezim selalu sukses walau diterpa badai penolakan massa yang begitu massif.

Semisal, ada beberapa rekam jejak rezim yang memaksakan kehendak untuk mengesahkan produk hukum yang tidak disetujui oleh Masyarakat karena berpotensi menimbulkan masalah yaitu RUU KPK, RUU Minerba, RUU KUHP, RUU MK dan RUU Sapu Jagat atau yang dikenal Omnibus Law Cipta Kerja. Saat ini kesemuanya telah disahkan dan bagaimana faktanya? KPK semakin melemah, MK semakin tidak independent, Mayarakat terancam pidana apabila menolak proyek tambang dan yang lebih saktinya lagi yaitu UU Cipta Kerja yang telah diputus MK Inkonstitusional bersyarat akan tetapi lewat main serongnya rezim akhirnya bisa diakali tanpa harus merevisi UU Cipta kerja akhirnya lewat terbitnya Perppu dan disahkan Kembali menjadi UU akhirnya UU Cipta Kerja hidup Kembali.

Konsep negara kekuasaan berasal dari doktrin teori kekuatan sebagai dasar pembenar ekistensi negara/raja, ada berbagai macam varian tentang kekuataan yang dimaksud. pertama, ada yang berdasarkan pada kekuatan ekonomi. Kedua, berdasarkan kekuatan fisik, jadi konsep negara kekuasaan adalah bicara tentang siapa yang paling kuat untuk mampu berkuasa. kekuasaan negara hampir tak terbatas, kekuasaan hanya dikendalikan oleh satu entitas saja atau satu orang, lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif tidak dipisah-pisah tapi itu semua dipegang oleh satu orang saja, sedangkan bentuk sistem kekuasaannegaranya adalah monarki absolut yang di mana raja memegang seluruh jenis kekuasaan, sentralistis (terpusat) dan otoriter dan itulah yang disebut sebagai negara kekuasaan atau yang dikenal dengan istilah Machstaat.

Dan apakah rezim Jokowi dengan segala tindak tanduknya hari ini mengarahkan negara kita mengimplementasi konsep negara Machstaat? Secara tidak langsung jelas Jokowi sebagai penguasa ditambah dengan para pembantunya memperlihatkan kehendak yang tak bisa dilawan oleh rakyat, pemaksaan kehendak itu ialah bukti nyata bahwa saat ini negara hukum hanya menjadi slogan di mulut tetapi dalam praktik kita adalah negara kekuasaan.

Pragmatisme Elite Membuat Kedunguan Berpolitik, Hingga Melahirkan Sosok Prematur

Masih dalam catatan Sejarah, bagaimana proses-proses yang dilalui para Founding Father negara kita sebelum terjun ke dalam dunia politik ialah dengan mematangkan pendidikan terlebih dahulu, seperti Soekarno, Semaoen, Musso. Kartosuwiryo yang di didik oleh H.O.S Tjokroaminoto sehingga mereka berkembang dengan ideologi yang kuat yang menghantarkan mereka masuk ke dalam banyaknya pergolakan pemikiran hingga pergolakan kemerdekaan.

Tak lupa H. Agus Salim, Hatta, Syahrir dan lain sebagainya yang aktif dalam menuangkan ide dan gagasan untuk bangsa dan negara Indonesia, mereka tak serta merta mendapatkan ilmu dari langit melainkan proses-proses yang melelahkan telah mereka lalui untuk bisa mengaktifkan nalar berpikir yang baik sehingga intelektualitas pun diakui oleh berbagai kalangan.

Puluhan tahun Indonesia Merdeka, kemunduran intelektualitas semakin menganga terlihat. Politisi semakin enggan membaca buku, kongkalingkong adalah cara yang dianggap lebih cepat dan tepat sasaran dan inilah yang disebut dengan pragmatisme. Pragmatism sendiri merupakan sifat atau ciri seseorang yang cenderung berfikir praktis, sempit dan instant. Orang yang mempunyai sifat pragmatis ini menginginkan segala sesuatu yang dikerjakan atau yang diharapkan ingin segera tercapai tanpa mau berfikir panjang dan tanpa melalui proses yang lama. Sehingga kadang hasilnya itu meleset dari tujuan awal.

Kepraktisan inilah yang menghambat pemikiran untuk mengeksplorasi pemikirannya. Sehingga mereka tidak lagi berfikiran secara kritis ketika menghadapi sebuah masalah. Dunia pendidikan tidak membenarkan hal tersebut tapi hal tersebut sudah mengakar dalam diri seseorang yang biasanya berambisi menjadi politisi.

Bayangkan, di era saat ini ada beberapa anak muda yang secara "tiba-tiba" karir nya melesat, sebutlah salah satunya ialah Kaesang sang anak Presiden Jokowi yang menjadi ketua umum salah satu partai politik hanya dengan hitungan hari. Dahulu ada Semaoen yang menjadi ketua partai Komunis Hindia Belanda dengan usia yang juga masih muda tapi ia membuktikan bahwa ia memang layak di posisi tersebut dengan berbagai pemikirannya yang kala itu cukup Radikal. Sedangkan jika dibandingkan dengan Kaesang yang dalam hal ini secara kapasitas publik bisa menilai bahwa dirasa ia sejatinya belum memperlihatkan juga membuktikan bagaimana isi gagasan nya kepada publik untuk bangsa dan negara atau bahkan untuk partai politik tersebut.

Selanjutnya juga ada anak dari Presiden Jokowi yang juga merupakan kakak dari Kaesang yaitu Gibran Rakabuming yang saat ini telah dideklarasikan sebagai bakal cawapres dari salah satu bacapres yang akan mengikuti kontestasi pemilu 2024. Bayangkan ada seorang anak muda yang belum tuntas mengemban tugasnya menjadi kepala daerah secara spontan langsung ingin melompat menjadi cawapres dengan kondisi minim prestasi dan pengalaman. Entah apa yang merasuki para elite-elite politik sehingga memasang seorang tanpa pengalaman yang cukup untuk memimpin negara, padahal dibalik layer ada banyak politisi kawakan yang secara keilmuan tak bisa dipandang remeh tapi mereka semua mengalah demi memberikan ruang untuk si anak tersebut.

Bukan bermaksud mendiskreditkan tapi memang dua anak muda tersebut menjadi sebuah sample untuk kita lihat secara seksama bahwa kita hidup di era mereka yang muda menjadi alat politik yang tua. Mereka berada di posisi saat ini bukan karena kelayakan atau kemampuan yang mereka punya melainkan previllage orang tua. Dalam negara demokrasi memang tidak pernah membatasi siapapun yang memiliki keinginan untuk menjadi wakil rakyat akan tetapi jika keinginan tersebut diuapayakan dengan cara-cara yang "haram" maka disinilah awal mula kehancuran kompetisi politik yang sehat.

Selain daripada itu, ini juga berlaku bagi para caleg-caleg muda yang memang memiliki previllage atas hal-hal yang dapat menunjang dirinya untuk juga masuk menuju lingkaran kekuasaan. "previllage" ini yang menghancurkan demokrasi, karena yang terjadi Ketika adanya sirkulasi elite maka kita hanya disuguhkan calon-calon elite yang tidak lebih hanya pepesan kosong, minim ide dan gagasan atau wacana besar membangun bangsa dan negara.

Generasi tua saat ini tak seperti H.O.S Tjokroaminoto yang mau mendidik generasi muda mencapai puncak intelektualitasnya sebelum ia terjun ke dalam dunia politik. Adapun justru para generasi tua dalam melaksanakan pergulatan politik saat ini hanya menjadikan generasi muda sebagai tameng atau sebagai alat politik. Ini yang pada akhirnya menyebabkan massifnya kedunguan dalam berpolitik karena minimnya pendidikan politik membuat sosok-sosok prematur begitu banyak dilahirkan dan berpotensi tak bisa memajukan bangsa dan negara sebagaimana amanat dari Pancasila dan Konstitusi.

Kesimpulan

Pembahasan kita masuk dalam kesimpulan, yaitu potret kemunduran Demokrasi memperlihatkan kondisi bangsa dan negara semakin tidak baik-baik saja. Ada banyak faktor penyebab yang membuat kondisi saat ini semakin merebak yaitu karena sistem pendidikan yang masih cukup stagnan di negara kita membuat kualitas Demokrasi minim peningkatan atau bahkan penurunan akibat kebodohan-kebodohan yang sengaja di desain untuk Masyarakat agar nalar kritis menjadi tumpul dan individu visioner semakin sulit ditemukan. Adapun kesenjangan yang curam membuat akses terhadap pendidikan dan lain sebagainya tak merata dan itu dibiarkan saja selama ini sehingga menciptakan kelas-kelas sosial, tentu mereka yang ada dalam kelas sosial tipe atas akan memonopoli banyak hal baik itu kekuasaan maupun berbagai sumber daya lainnya lalu kelas sosial dibawah dibuat semakin terjepit dan akhirnya membuat mereka menyerah pada keadaan juga tak lagi memikirkan bagaimana melakukan perlawanan karena mencukupi kebutuhan kehidupan adalah yang utama.

Keadaan krisis harus segara kita hentikan, singkirikan politisi yang tak layak atau tak berorientasi pada kepentingan umum, bangkrutkan partai-partai yang hanya mendsitribusikan kader korup untuk menjadi elite publik, bumi hanguskan korporasi yang menindas buruh nya, tumpas mafia penghisap kesejahteraan petani. Kita harus massifkan kecerdasan rakyat lewat literasi, membangun negeri secara berdikari, menciptakan kedaulatan politik tanpa intervensi, mengaktivasi kultur budaya dalam kehidupan sehari-hari serta menghapus kelas-kelas sosial pada Masyarakat menuju Masyarakat tanpa kelas dengan negara kuat yang mampu mendistribusikan kesejahteraan secara proposional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun