Indonesia, negeri yang berada di jalur ring of fire. Terapit tiga lempeng besar: Eurasia, Pasifik, dan Indo-Australia. Tak ayal, gempa bumi dan gunung meletus acap kali terjadi.
Salah satu bencana terbesar yang pernah mendatangi yakni gempa dan tsunami pada akhir Desember 2004. Kala itu, Aceh benar-benar hancur. Ratusan ribu korban meninggal dan setengah juta lebih orang terlantar. Puluhan ribu rumah, sekolah, serta bangunan infrastruktur luluh lantak.
Kepala Badan Pelaksana Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias 2005-2009, Kuntoro Mangkusubroto, mengungkapkan saking besarnya bencana tersebut, keesokan paginya pemerintah langsung menyatakan tidak mampu menyediakan dana penanganan bencana yang cukup.
Oleh sebab itu, Indonesia membuka pintu lebar-lebar untuk bantuan luar negeri. Namun Kuntoro menegaskan bantuan luar negeri yang masuk adalah hibah. Dari total dana 7,2 miliar USD yang dikelola BRR Aceh-Nias, hanya sekitar sepertiganya berasal dari APBN.
Menurut Kuntoro, kesulitan APBN dalam membiayai penanganan bencana Aceh disebabkan oleh belum adanya skema mitigasi dan penanganan bencana yang baik. Selama ini pemerintah memang memiliki keterbatasan dalam pendanaan bencana. Hingga tahun 2018, pemerintah semata mengandalkan dana kontingensi dalam APBN. Besarannya naik turun, dalam 12 tahun terakhir rata-rata senilai Rp4 triliun per tahun.Â
Ketika tidak terjadi bencana besar, dana kontingensi belum termanfaatkan secara optimal. Sebaliknya saat ada bencana besar, dana tersebut tidak mencukupi. Beban APBN menjadi lebih berat lagi bila bencana terjadi pada akhir tahun, seperti terjadi di Aceh. Pembentukan BRR Aceh-Nias kala itu juga dilandasi keterbatasan fiskal pemerintah, sementara di sisi lain nilai kerugian bencana sangatlah besar.
Menyadari tingginya risiko gap pembiayaan bencana, pada tahun 2019 ini pemerintah melakukan dua terobosan kebijakan. Pertama, mempercepat pembentukan pooling fund.
Sumber pendanaan awal pooling fund saat ini masih berasal dari APBN, tetapi pada tahap berikutnya diharapkan ada penyertaan dana dari pemda, hasil investasi atas dana yang dikelola, hasil pembayaran klaim asuransi, serta sumbangan dari donatur, termasuk masyarakat, dan filantropis.
Kedua, mengasuransikan Barang Milik Negara (BMN) secara bertahap, dimulai dari aset-aset Kementerian Keuangan sebagai pilot project. Untuk dapat memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat, tentunya BMN perlu dikelola dengan baik.
Negara dan masyarakat akan dirugikan jika BMN tiba-tiba mengalami kerusakan atau kehancuran akibat bencana. Asuransi BMN menjadi salah satu solusi alternatif untuk mentransfer risiko kerusakan akibat bencana.
Pada 29 November 2019, Kementerian Keuangan secara resmi telah menerima polis asuransi BMN pertama di Indonesia. Polis asuransi BMN diserahkan oleh Ketua Konsorsium Asuransi BMN Didit Metha Pariadi kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Hadiyanto secara langsung di kantor pusat Kementerian Keuangan. Ini menjadi tonggak sejarah awal penerapan asuransi risiko bencana untuk pemerintah Indonesia.
Sebagai pilot project penerapan asuransi BMN, pemerintah mengasuransikan gedung-gedung Kementerian Keuangan sejumlah 1.360 unit bernilai Rp10.84 triliun.
Selanjutnya, pemerintah juga akan menerapkan asuransi BMN pada 10 kementerian/lembaga pada tahun 2020 dan bertahap pada kementerian/lembaga lainnya pada tahun-tahun berikutnya. Diharapkan, pada tahun 2023, asuransi BMN dapat rampung diterapkan di seluruh kementerian/lembaga di Indonesia.
Sebagai salah satu negara dengan tingkat kerawanan bencana yang tinggi, Indonesia sering kali mengalami kerugian akibat kerusakan BMN akibat bencana. Oleh karena itu, langkah pemerintah menerapkan asuransi BMN perlu diapresiasi sebagai upaya pengamanan BMN, optimalisasi pelayanan umum kepada masyarakat, dan mengurangi beban APBN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H