Bagi Anda yang menikah dan langsung bisa punya anak, atau bagi Anda yang "main-main" langsung jadi, mungkin tak merasakan nikmatnya menjadi calon bapak. Proses menunggu dan gelisah dengan segala pertanyaan adalah faktor utamanya.
Empat tahun sudah saya berusaha menghamili istri, tapi tak kunjung berbuah. Menjelang separuh dari tahun kelima, kabar baik itu datang pada subuh Jumat yang cerah.
Tespek menunjukkan dua setrip. Tidak hanya satu tespek. Tapi tiga sekaligus. Besoknya dicoba lagi dengan tiga tespek pula. Hasilnya sama. Subuh itu pula kami berjamaah, tak kuasa menahan tangis. Pun demikian ketika terik matahari membawa saya ke masjid. Air laut tumpah di mataku. Saat salam terakhir salat Jumat teman saya berkata, "Kamu berhasil memanggil-manggil anakmu setiap malam Senin dan malam Jumat dalam kalungan tasbih," kata teman saya.
Tapi bukan itu intinya.
Kabar itu membawa perubahan dalam hidup saya. Saya menyebutnya sebagai seninya menjadi calon bapak.
Pendidikan Anak Dimulai Ketika Setrip Dua
Tespek yang dua setrip itu mengubah cara saya berumah tangga. Kelak, kami tak hanya berdua. Tambahan satu nama dalam kartu keluarga tentu harus diimbangi dengan manajemen yang berbeda pula. Seperti halnya sebuah usaha yang tadinya hanya dikelola dua orang, lalu menjadi tiga, sistemnya juga perlu diubah. Ini soal cita-cita bersama. Dalam konteks ini, saya merasa perlu mengubah pola dalam rumah tangga, yang tadinya belajar hanya bersama istri. Saya harus menentukan pola seperti apa untuk pendidikan anak dalam rumah. Bukankah rumah merupakan sekolah pertama bagi seseorang?
Mengerjakan Beberapa Tugas Istri
Kondisi fisik istri tak lagi kuat seperti sebelumnya. Perubahan pola hidupnya pun sudah keniscayaan. Satu-satunya jalan adalah suami mesti menyesuaikan. Istri yang tadinya mampu nyuci sendiri, kini mesti digantikan. Begitu pula dengan pekerjaan-pekerjaan lain. Bagi sebagian suami, mungkin mudah menyuruh orang lain mengerjakannya, atau lebih mudah lagi pasrahkan kepada orang tua istri. Sementara suami bisa fokus bekerja.
Sayangnya itu bukan tipe saya. Saya memilih menggantikan tugasnya mencuci baju, menyapu lantai. Bahkan beberapa pekerjaan profesionalnya saya ambil alih.
Lebih Semangat Bekerja
Beban hidup makin bertambah. Mau tak mau, kerja harus lebih keras. Yang jadi soal adalah, kadang pekerjaan justru lagi sepi-sepinya. Bagi pekerja kantoran mungkin tidak berpengaruh, tapi bagi freelancer macam saya, ini jadi soal. Lagi semangat-semangatnya bekerja, eh enggak ada yang dikerjakan. Ya harus putar otak setiap hari. Apa, apa, dan apa. Bagaimana, bagaimana, dan bagaimana.
Pantang Bercerita kepada Sesama
Maksud saya adalah sesama teman yang menunggu buah hati. Berat, sungguh berat. Ketika ada teman hamil, lalu suaminya bercerita kepada saya tentang bagaimana ia berhasil membuahi istrinya, saya merasa dikecilkan. Meski tak bermaksud demikian, saya merasa usaha kami seolah-olah belum ada apa-apanya. Padahal, kami sudah berusaha sesuai kapasitas.
Hanya kepada teman yang benar-benar dekat secara batin yang juga masih menunggu, saya berani bercerita tentang usaha kami memanggil si jabang bayi. Keberanian itu pun tumbuhnya lama, ketika usia kandungan istrinya memasuki minggu pertama bulan ke empat. Ada rasa khawatir ia merasakan seperti yang saya rasakan, ketika saya bercerita.
Berpikir Soal Nama
Nama apa yang layak kami sematkan padanya? Beberapa pilihan muncul, tapi tak begitu yakin. Membaca-baca Alquran belakang ini menjadi satu pintu untuk mencari nama. Berharap yang paling baik, saya mencarinya di tempat yang mulia pula.
Menjadi Orang Tua yang Seperti Apa?
Sebagian kita mungkin berpikir, "Akan jadi apa anakku, kelak?" Sebaliknya bagi saya. Saya akan jadi orang tua macam apa bagi anak saya? Terus mencari, meneladani, dan membaca-baca kisah para orang tua yang sukses membersamai anaknya.