Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan yaitu sebuah proses pembelajaran bagi setiap individu untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman yang lebih tinggi mengenai obyek tertentu dan spesifik. Pengetahuan yang diperoleh secara formal tersebut berakibat pada setiap individu yaitu memiliki pola pikir, perilaku dan akhlak yang sesuai dengan pendidikan yang diperolehnya.
Perlu ditegaskan, bahwa semangat dalam penyelenggaraan pendidikan di kota, pinggiran kota dan di desa atau bahkan di pedalaman memiliki tujuan yang sama, yaitu mendidik dan membantu anak didiknya menjadi manusia yang berpengetahuan luas (intelektualitas tinggi), sehingga mampu merealisasikan tujuannya dan dapat memajukan serta memberikan manfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jika devinisi dan pengertian pendidikan demikian kita sepakati, sudah seharusnya dan semestinya pendidikan tidak terkoptasi dalam paradigma pendidikan “unggulan” maupun “terbelakang”. Karena semangat penyelenggaraan pendidikan sama, ingin melahirkan kaum terdidik yang tingkat intelektualitasnya tinggi serta mendorong peserta didiknya agar mampu mencapai tujuannya, tentunya dapat bermanfaat bagi dirinya, lingkungannya, serta hidup orang banyak.
Terjadinya ketimpangan dalam dunia pendidikan disebabkan oleh banyak faktor, termasuk perhatian pemerintah bagi penyelenggara pendidikan yang berada di pinggiran perkotaan, pedalaman atau pedesaan. Lemahnya tranformasi teknologi dan dukungan sumber daya manusia sebagai tenaga pengajar dan tak kalah gawatnya adalah ketersediaan bangunan sekolah dan daya dukung aktivitas belajar mengajar lainnya juga menjadi hambatan serius tercapainya tujuan penyelenggaraan pendidikan.
Disamping itu, stakeholder (masyarakat) juga berperan penting dalam menyukseskan penyelenggaraan pendidikan. Perhatian serta dukungan masyarakat juga sangat diperlukan, agar penyelenggara pendidikan mampu memaksimalkan perannya dalam mendidik dan menghasilkan peserta didik yang sesuai dengan tujuan dasar pendidikan serta membuang jauh lestarinya paradigma “unggulan” dan “terbelakang”.
Pemerintah sebagai pemangku kebijakan terhadap mutu pendidikan juga harus mawas diri, perhatian yang hanya terpusat pada pembangunan perkotaan sudah semestinya harus digeser untuk memajukan daerah pedalaman maupun pedesaan. Agar pendidikan menjadi manfaat bagi perkembangan serta pembangunan bangsa dan negara kedepan, penting untuk dilakukan supaya pemerataan pendidikan antara perkotaan dengan pedesaan segera terealisasikan.
Maka kesan diskriminatif terhadap pendidikan yang notabene berada di perkotaan dengan di pedesaan tidak terjadi. Keadilan dalam mengenyam pendidikan dengan mutu yang sama antara perkotaan dengan pedesaan akan dirasakan oleh pelajar yang sedang mengikuti jenjang pendidikan secara formal. Tidak terkoptasi oleh paradigma yang merugikan dunia pendidikan itu sendiri.
Pemerintah dan stakeholder sudah saatnya membuang jauh-jauh paradigma pendidikan “unggulan” maupun “terbelakang” yang akan menyebabkan kita terjebak dalam pengertian dan pemahaman yang sempit, kini saatnya bahu-membahu mendorong penyelenggara pendidikan agar supaya mampu mencapai tujuan pendidikan itu sendiri, bukan terjebak oleh paradigma yang merugikan. Sehingga tanggung jawab suksesnya penyelenggaraan pendidikan tidak hanya terbebankan kepada pemerintah dan pihak penyelenggara pendidikan saja, namun peran stakeholder juga menjadi penentu susksesnya penyelenggaraan pendidikan yang baik.
Ahmad Fairozi, Lahir di Sumenep, suka menulis dan membaca, sekarang tinggal di Kota Batu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H