"Ada apa, sih, rame-rame?"
Seketika semua orang menoleh ke arahku. Ternyata ada Yasmin juga. Tangannya masih memegang kresek berisi gorengan tadi. Namun sekarang gorengan tinggal seperempatnya.
"Eh, Sol, santri anyar e manggon nang kamarmu!" teriak Yasmin. "Ini orangnya, ayu, to?"
Mataku berpindah pada seorang wanita berkerudung Paris berwarna hijau lumut. Wajahnya bulat seperti kue donat. Lumayan cantik, lah. Tapi masih cantik aku, lebih banyak dia. Untung dia cantik. Coba kalau ganteng. Pasti Yasmin nomor satu juga yang pedekate.
Aku segera menghampiri santri baru tersebut. Di sampingnya ada Mbak Ajeng, Yasmin, dan beberapa santri lain. Di depan mereka berjejeran aneka makanan, cilok, pentil, basreng, pisang, anggur, de el el. Pantas Yasmin betah di kamarku. Sebagai kepala kamar, aku harus mengenal anggota kamar dengan baik mulai nama, kepribadian, asal usul, kalau asal jangan usul, kalau usul tidak boleh asal.
"Maaf, Mbak Solekah. Tadi saya mencari mbak Solekah tidak ketemu. Mau mengabarkan kalau Mbak Naila akan diletakkan di kamar ini," jelas Mbak Ajeng, kepala pondok. Tangannya merah belepotan sambel.
"Nggak apa-apa, Mbak. Santai saja," ucapku.
Kamar berukuran enam kali sepuluh meter berisi dua puluh santri termasuk sangat luas. Kami bisa berguling-guling dan bergulung-gulung saat tidur. Sekarang penghuni bertambah satu orang, Naila.
Setelah berbincang-bincang, aku jadi tahu. Naila seumuran denganku. Kemungkinan dia juga akan sekelas denganku. Namun aku tidak berani bertanya dia akan ambil jurusan apa. Hingga jam menunjukkan pukul dua belas, Mbak Ajeng pamit undur diri. Santri lain sudah mulai terlelap. Naila sudah sangat akrab denganku dan Yasmin. Dia juga tanggap. Sepertinya dia sangat pandai. Kami bersiap untuk istirahat. Aku menangkap gelagat aneh dari Yasmin.
"Sol, aku tidur di sini, ya?" pintanya. Matanya berkedip-kedip tandanya dia memohon persetujuan.
"Tuh, kan," batinku.