TBC disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang biasanya menyerang paru-paru. Menurut laporan yang diterbitkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), TBC adalah penyakit menular paling mematikan di dunia setelah COVID-19, merenggut lebih dari 1,5 juta jiwa pada tahun 2020.
Ketika pandemi COVID-19 mengganggu akses pelayanan kesehatan dan rantai pasokan di seluruh dunia, diperkirakan 5,8 juta orang didiagnosis menderita TBC pada tahun 2020. Tetapi WHO memperkirakan sekitar 10 juta orang terinfeksi.
Dalam pengendalian penyakit apapun, faktor pencegahan memegang peran yang sangat penting. Ada idiom “prevention is better than cure”, lebih baik mencegah daripada mengobati. Pada umumnya pencegahan lebih murah, mudah dan praktis daripada pengobatan yang membutuhkan beberapa tahapan, yaitu mulai dari diagnosis (menggunakan bantuan laboratorium, alat pencitraan seperti rontgen, MRI, dan lain-lain), perawatan, hingga rehabilitasi medik. Biaya dan waktu yang terbuang lebih banyak, belum lagi penderitaan yang dialami pasien.
Logika berpikir pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI)
Melaksanakan upaya pencegahan dan pengendalian infeksi, perlu terlebih dahulu diketahui mikroba penyebab penyakit tersebut (virus, bakteri, jamur, parasite dll), cara penularan ke manusia, gejala penyakit, masa inkubasi, serta cara diagnosis.
TBC sudah lama dikenal, seharusnya sudah dapat dicegah dan diobati secara optimal, namun kenyataanya angka prevalensi, kesakitan dan kematian masih tinggi. Anggaran yang dikeluarkan untuk pengendalian TBC sangat besar, bahkan partisipasi masyarakat, organisasi non pemerintah maupun bantuan luar negeri juga sudah banyak dikeluarkan. Sosialisasi pencegahan, managemen pengendalian penyakit di kabupaten/kota juga sudah dibuat dan dilaksanakan. Indonesia berkomitmen eliminasi TBC tahun 2030, apakah bisa tercapai?
Salah satu faktor penentu keberhasilan adalah pencegahan yang harus diimplementasi dengan baik. Merujuk sumber dari Kementerian Kesehatan, pedoman pencegahan TBC telah disosialisasikan ke fasilitas pelayanan dan masyarakat umum. Namun apakah cara pencegahannya masih relevan?
Pencegahan TBC
Penularan TBC terjadi melalui penderita yang mengeluarkan bercak renik atau droplet, yang mengandung banyak bakteri TBC dan terhirup oleh orang yang sehat. Droplet paling banyak dikeluarkan saat batuk, bersin dan berbicara keras.
Saat berada di tempat umum, penderita dapat menerapkan etika batuk. Penderita harus memakai masker atau menutup mulut saat batuk dengan tisu dan dibuang setelah dipakai, kemudian cuci tangan, atau kalau tidak ada tisu dapat menggunakan lengan baju atas untuk menutup mulut saat batuk.
(Gambar etika batuk dalam pedoman)
Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan memanipulasi aliran udara agar tidak secara langsung terpapar pada kontak erat di sekitar. Memanipulasi aliran udara dapat dibantu secara mekanik dengan exhaust fan, standing fan, membuka jendela agar udara segar masuk dan keluar melalui jendela yang berhadapan. Diyakini bila aliran udara dalam ruangan dapat terus mengalir selama 1 jam berganti 12 kali (ACH: air change per hour), maka penularan dapat dicegah. Mengenakan masker dan berkumpul hanya di ruang yang berventilasi baik, merupakan cara penting untuk mengurangi penularan TBC.
Khusus bagi petugas kesehatan diharuskan menggunakan masker bedah atau masker N95 saat melayani pasien TBC atau batuk.
Apakah tata laksana pencegahan masih relevan?
Belakangan ini ada informasi dari The New York Time bahwa tim peneliti Afrika Selatan menemukan sebanyak 90 persen bakteri TBC yang dilepaskan dari orang yang terinfeksi dapat terbawa dalam tetesan kecil yang disebut aerosol yang dikeluarkan ketika seseorang menghembuskan napas dalam-dalam. Temuan itu dipresentasikan pada saat konferensi ilmiah yang diadakan daring.
Temuan ini menunjukkan bahwa, pernapasan pada penderita TBC menjadi faktor yang cukup besar sebagai penyebab penyebaran tuberkulosis daripada batuk itu sendiri. Hal ini telah mengakhiri dogma medis yang selama berabad-abad diyakini, bahwa batuk sebagai cara penyebaran yang utama pada TBC.
Ryan Dinkele, seorang mahasiswa pascasarjana di Universitas Cape Town di Afrika Selatan yang mempresentasikan temuannya tersebut mengemukakan apabila orang yang terinfeksi TBC bernapas 22.000 kali per hari dan batuk 500 kali, maka batuknya hanya berkontribusi 7 persen dari total bakteri yang dikeluarkan oleh orang tersebut. 90 persen bakteri TBC dapat dibawa dalam aerosol kecil yang dilepaskan ketika orang yang terinfeksi menghembuskan napas dalam-dalam.
Temuan baru ini tidak mengubah pemahaman bahwa batuk dapat menyebarkan lebih banyak kuman Mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan infeksi TBC ke udara daripada satu napas.Di dalam transportasi masal ber-AC seperti bus, kereta yang penuh sesak, bioskop, di mana orang-orang duduk di ruang tertutup selama berjam-jam, maka hanya bernapas saja akan berkontribusi lebih banyak aerosol menular daripada batuk, kata Dinkele.
Hal ini tentunya akan menjadi masukan bagi para ahli untuk melihat kembali tata laksana pencegahan TBC yang selama ini digunakan, seperti penerapan etika batuk, penggunaan ventilasi alami dan lainnya. Apa yang dikatakan oleh Dinkele menjadi masukan berharga dalam merancang tata laksana pencegahan TBC yang terbaru.
Semoga tulisan ini berguna bagi para pembaca yang menaruh perhatian terhadap pencegahan penyakit menular melalui udara (airborne transmitted diseases).
Tuberculosis, Like Covid, Spreads by Breathing, Scientists
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H