Mohon tunggu...
Faila Sufah
Faila Sufah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Duta KOHATI Walisongo 2023 I Kementrian Pergerakan Perempuan DEMA UIN Walisongo Semarang

The More You Learn,The More You Earn @filasufh

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Adakah Lailatul Qadar untuk Perempuan?

4 April 2024   10:47 Diperbarui: 4 April 2024   11:06 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap datangnya Ramadhan, setiap umat muslim dibuat gembira dalam penantian sebuah malam yang disebut lebih baik dari seribu bulan. Bagaimana tidak, beribadah pada malam ini dihitung dan ditimbang oleh Allah Swt. lebih baik dari nilai ibadah tersebut yang dilakukan selama seribu bulan.  Misteri waktu lailatul qadar di antara salah satu dari sepuluh hari terakhir Bulan Ramadhan terkadang disayangkan oleh beberpapa oraang, khususnya perempuan. Hal ini disebabkan apabila Idul Fitri semakin dekat, persiapan yang dilakukan oleh setiap orang semakin untuk menyambutnya semakin banyak. Akhirnya ini menyebabkan mereka memiliki keterbatasan waktu untuk berburu lailatul qadar.

Bukan hanya masalah persiapan lebaran, perempuan masih memiliki beberapa tantangan untuk berburu lailatul qadar. Tantangan tersebut  dapat berupa keterbatasan akse ke masjid, keterbatasan waktu, kendala keluarga, permasalahan keselamatan dan keamanan, keterbatasan fisik sampai tantangan sosial-budaya.

Mayoritas masjid yang ada di Indonesi bisa dikatakan tidak inklusif kepada perempuan, terutama jika di lihat dari ketidaksetaraan antara tempat yang dikhususkan baagi laki-laki dan perempuan.Ruang ibadah perempuan di masjid seringkali tidak representatif. Akses menuju tempat solat perempuan biasanya juga lebih sulit dibandingkan akses menuju tempat solatt laki-laki. Selain itu, kurangnya ruang tertutup bagi perempuan untuk melakukan kegiatan pribadinya seperti menata kerudung, menyusui, atau istirahat juga menjadi masalah. Hal ini menciptakan lingkungan yang tidak aman dan nyaman serta mengganggu perempuan dalam menjalankan ibadah mereka dengan khusyuk dan tenang.

Kesibukan domestik seperti mempersiapkan saur, mengurus anak-anak membuat perempuan memiliki keterbatasan waktu untuk memburu pahala lailatul qadar baik secara bersama-sama maupun sendirian di rumah. Ditambah lagi dengan lebaran yang kian dekat, perempuan akan sangat disibukkan dengan membuat atau membeli kue-kue, mempersiapkan bahan makanan ari raya, parcel untuk dibagi-bagikan ke sanak saudara, dan tidak terlewat pula urusan baju baru maupun seragam keluarga.  Kurangnya team work dalam rumah tangga membuat multi-tugas perempuan semakin banyak.

Perempuan biasanya juga menghadapi tantangan dari keluarga apabila ingin mengikuti program lailatul qadar yang diadakan masjid maupun komunitas. Orang tua atau suami terkadang memiliki kekhawatiran apabila  perempuan melaakukan kegiatan di luar rumah pada malam hari. Tentu saja mereka tidak memiliki maksud buruk dengan tidak mengizinkan perempuan berkegiatan di luar saat malam, akan tetapi hal ini cukup disayangkan apabila perempuan tidak diberikan kepercayaan untuk menjaga diri mereka sendiri.  Kehawatiran ini berdampak bagi perempuan sehingga tidak berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan seperti program-program yang biasanya diadakan pada momen  sepuluh hari terakhir unutk memburu lailatul qadar. Pandangan sosial dan norma budaya yang menganggap bahwa kegiatan di luar rumah pada malama hari sebagai sesuatu yang tida aman atau kurang pantas berpengaruh besar dalam pandangan orang tua atau suami bahkan pada diri perempuan itu sendiri.

Belum lagi fitrah biologis yang di hadapi perempuan yaitu menstruasi. Menstruasi di sepuluh hari terakir ramadhan sering kali disayangkan bahkan ditangisi oleh beberapa perempuan. Dalam beberapa budaya, misalnya kalangan Nahdliyyin, terdapat larangan bagi perempuan membeca al quran saat menstruasi. Larangan ini membuat perempuan merasa memiliki akses terbatas untuk mendekatkan diri kepada al-Quran. Hal ini membuat perempuan sedih karena tidak bisa memksimalkan diri untuk berinteraksi dengan al-Quran, padahal Ramdahan adalah syahru al-Quran.

Ditambah lagi larangan I'tikaf di dalam masjid bagi perempuan. Hal ini turut menambah jumlah kendala yang dihadapi perempuan untuk memburu pahala lailatul qadar. Larangan perempuan menstruasi untuk masuk masjid bukan tanpa alasan, mereka ditakutkan akan secara tidak sengaaja mengotori masjid dengan darah yang keluar dari rahim mereka. Meskipun zaman dan teknologi telah berkembang maju menciptakan solusi akan ketakukan ini, hukum larangan bagi perempuan untuk menetap di masjid masih saja langgeng sampai sekarang.

Dalam menghadapi tantangan-tantangan baik dari sisi keterbatasan waktu, kendala keluarga, norma sosial-budaya, ataupun keterbatasan akses tidak hadapi oleh semua perempuan, akan tetapi memperjungkan inklusifitas  tetap harus dilakukan demi menciptakan kegiatan keagamaan yang aman, nyaman, dan mendukung perempuan. Komunitas-komunitas keagamaan perlu memberikan akses seatara antara laki-laki dan perempuan untuk dapat melaksanakan ibadah, karena bukan hanya laki-laki yang memerlukan fasilitas-fasilitas yang biasanya telah dierikan kepada selain perempuan. 

*Dengan senang hati diterima apabila rekan-rekan pembaca berkenan membrikan saran, kritik, maupun ajakan diskusi berkenaan topik yang telah maupun belum dibahas. Terima kasih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun