Mohon tunggu...
Faiha Diva Diningrum
Faiha Diva Diningrum Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia

Interested in political and social issues, especially issues related to women

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Watta Satta: Praktik Budaya yang Melanggengkan Kekerasan Berbasis Gender (KBG) terhadap Perempuan di Pakistan

20 Desember 2023   02:04 Diperbarui: 20 Desember 2023   17:57 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menikah atau tidak menikah merupakan pilihan hidup setiap orang, namun bagaimana dengan perempuan yang terlibat dalam praktik budaya yang melanggengkan pernikahan paksa (forced marriage)? 

Pendahuluan

Kekerasan Berbasis Gender (KBG) atau Gender-Based Violence merupakan istilah yang merujuk pada segala bentuk kekerasan yang muncul sebagai hasil dari pengamalan norma-norma sosial yang mendukung perbedaan perlakuan antara perempuan dan laki-laki. Mengutip World Bank Gender Data Portal (2022), Kekerasan Berbasis Gender (KBG) memiliki berbagai bentuk, seperti kekerasan fisik, seksual, emosional dan psikologis. Beberapa contoh KBG, yaitu mutilasi alat kelamin perempuan, pembunuhan atas nama 'kehormatan' atau honour killing, pernikahan paksa, pernikahan dini, serta perdagangan seks. Meskipun dalam sudut pandang hukum, perempuan dan laki-laki dipandang setara, namun pada kenyataannya masih banyak ditemukan perilaku diskriminasi dan pelanggaran terhadap hak-hak perempuan, baik dalam lingkup privat  seperti peran dalam keluarga hingga peran politik dalam lingkup bernegara (Wirawardhana, 2020).

Perilaku diskriminasi dan pelanggaran terhadap hak-hak perempuan tersebut mengarah pada terjadinya Kekerasan Berbasis Gender (KBG), khususnya terhadap perempuan. Hal tersebut dapat terlihat pada budaya masyarakat di Pakistan, yaitu budaya Watta Satta. Berdasarkan data World Economic Forum tahun 2021 terkait indeks Kesenjangan Gender Global 2021, Pakistan menduduki peringkat 153 dari 156 (Human Rights Watch, 2022). Peringkat tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesenjangan gender di Pakistan masih sangat tinggi. Tidak hanya itu, berdasarkan data Foreign, Commonwealth and Development Office tahun 2022 terkait negara dengan peringkat pernikahan paksa (forced marriage) tertinggi, Pakistan menduduki urutan pertama dengan jumlah 147 kasus pengaduan. Untuk data selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2.

Tingginya angka kasus pernikahan paksa di Pakistan disebabkan oleh kultur masyarakat Pakistan yang masih menganut nilai-nilai tradisional dan agama yang kuat. Berdasarkan data Human Rights Watch (2022), 18 persen anak perempuan di Pakistan menikah sebelum usia 18 tahun dan 4 persen menikah sebelum usia 15 tahun. Perempuan dari komunitas agama minoritas masih sangat rentan terhadap pernikahan paksa. Diskriminasi dan pelanggaran terhadap hak-hak perempuan dalam praktik budaya Watta Satta yang mengarah pada tindakan kekerasan berbasis gender dipengaruhi oleh pola pikir, keyakinan, hingga budaya bersifat diskriminatif yang mewajarkan adanya ketidaksetaraan gender, terkhususnya bagi perempuan dan anak-anak di masyarakat suatu negara (Azizah & Febri, 2022).

Konsep Pernikahan Paksa (Forced Marriage)

Setiap orang memiliki berhak untuk memilih dengan siapa seseorang menikah, kapan ingin menikah, ataupun memilih untuk tidak menikah sama sekali. Menurut Forced Marriage Unit (FMU), pernikahan atau kawin paksa merupakan kondisi ketika seseorang menghadapi tekanan fisik, seperti ancaman, kekerasan fisik, atau kekerasan seksual atau tekanan emosional maupun psikologis, seperti perasaan mempermalukan keluarga. Tidak hanya itu, ketika seseorang berusia di bawah 18 tahun, pernikahan dianggap sebagai pernikahan paksa (forced marriage). Dalam laman European Institute for Gender Equality dijelaskan bahwa pernikahan paksa merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang mengakibatkan suatu pelanggaran serius terhadap perempuan yang melanggar hak-hak dasar, dan khususnya hak-hak perempuan dan anak perempuan atas kebebasan dan otonomi, kehidupan pribadi, kesehatan fisik dan mental, dsb. Ciri khas kawin paksa adalah tidak adanya persetujuan dari setidaknya salah satu pihak (Council of Europe, 2018). 

Dalam tulisan ini, penulis berusaha untuk menjawab pertanyaan "Bagaimana realitas dan dampak dari Kekerasan Berbasis Gender (KBG) dalam praktik Watta Satta terhadap perempuan di Pakistan?"

Tingkat marginalisasi dan diskriminasi terhadap perempuan di Pakistan menduduki peringkat ketiga tertinggi di dunia. Pengaruh nilai-nilai budaya yang kuat di negara Pakistan menjadi salah satu faktor utama penyebab terjadinya ketidaksetaraan gender. Praktik seperti Honour Killing, Vani, Dowry, Haq Bakshish, tetap dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat. Namun, budaya Watta Satta dianggap sebagai salah satu faktor yang berkontribusi terhadap berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan di Pakistan (Wirawardhana, 2020). Diskriminasi terhadap perempuan di Pakistan menyebabkan masyarakat mewajarkan perilaku diskriminatif hingga Kekerasan Berbasis Gender (KBG) yang diakibatkan oleh penyalahgunaan nilai-nilai adat dan norma budaya masyarakat Pakistan. Jika terjadi secara terus menerus, hal tersebut dapat mendorong dipertahankannya pandangan superioritas laki-laki di Pakistan (Azizah & Febri, 2022).

Apa itu Budaya Watta Satta?

Mengutip Jacoby (2010), Watta Satta merupakan budaya pertukaran pengantin dimana pengantin perempuan muda dan anak-anak di bawah umur diberikan kepada keluarga pihak laki-laki untuk dinikahkan dengan salah seorang anggota keluarga tersebut. Jika mengacu pada konsep pernikahan paksa (forced marriage), praktik budaya Watta Satta masuk ke dalam pernikahan paksa karena melibatkan anak-anak di bawah umur. Secara harfiah Watta Satta memiliki arti "give and take marriage" yaitu pemberian dan penerimaan istri (Parhlo, 2016). Dalam masyarakat Pakistan, pernikahan dianggap sebagai suatu hal yang sakral, di mana pernikahan dan perceraian terjadi di antara kedua keluarga, tidak hanya terjadi pada perempuan dan laki-laki yang menikah saja. Untuk menghindari perceraian dan mengikat pernikahan dilakukan dengan tradisi paling tua, yaitu Watta Satta. 

Realita Praktik Budaya Watta Satta di Pakistan

Pada realitanya, dalam praktik Watta Satta, seringkali perempuan Pakistan mengalami pemaksaan untuk menjadi mempelai wanita yang diatur oleh ayah atau pemimpin klan mereka sehingga budaya ini dapat dikategorikan sebagai pernikahan paksa (forced marriage). Oleh karena itu, budaya praktik pernikahan paksa dalam budaya Watta Satta termasuk ke dalam Kekerasan Berbasis Gender (KBG). Hal tersebut dikarenakan praktik Watta Satta cenderung merugikan perempuan Pakistan yang mengalami paksaan untuk menikah dengan orang yang telah dipilih oleh orang tua mereka tanpa persetujuan ataupun keinginan mereka sendiri. 

Tidak hanya itu, dalam beberapa kasus, pernikahan paksa tersebut melibatkan anak perempuan di bawah umur. Kekerasan Berbasis Gender (KBG) dalam wujud pernikahan paksa pada budaya Watta Satta di Pakistan menimbulkan ketidaksetaraan gender, di mana perempuan sebagai subjek yang dicenderung dirugikan karena sebagian besar keputusan terkait pernikahan didasarkan oleh keputusan pihak laki-laki. Hal tersebut menyebabkan perempuan tidak mendapatkan hak untuk memilih dan menentukan keputusannya terkait hubungan/relasinya dengan orang lain. Respon pemerintah Pakistan yang tidak terlalu tegas terkait praktik pernikahan paksa menyebabkan praktik budaya Watta Satta terus berlanjut dalam masyarakat Pakistan. 

Dampak Praktik Budaya Watta Satta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun