Mohon tunggu...
Faidi AR
Faidi AR Mohon Tunggu... Mahasiswa - Adalah makhluk yang terlahir dari ujung timur pulau garam Madura.

Proses dari kecil untuk suatu yang besar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ayah dan Sepatu yang Tak Terbeli

12 Juli 2022   10:07 Diperbarui: 12 Juli 2022   10:11 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Heh..!"Bentak pak Tarun kepada Arul saat ia tidak mau melanjutkan sekolahnya. "Mau jadi apa kamu, hah?" Tanyanya geram. Arul hanya duduk merunduk meratapinya. Saat itu juga, nafas pak Tarun mulai sesak. Mendadak penyakitnya mulai kambuh lagi. Tidak terlalu parah. Arul segera memegang tangan Bapaknya yang didekapkan ke dadanya saat mau jatuh ke lantai, tapi pak Tarun segera menghempas tangan Arul. Marah. Arul pun terjatuh. pak Tarun kemudian pergi meniggalkan Arul dalam keadaan menahan dadanya itu.

***

 Asap kenalpot sudah menyebar di lorong-lorong ber-aspal. Terik panas hari sudah mulai menyengat ke tubuh pak Tarun. Jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Entah kenapa, pak Tarun agak lesu hari ini, dan berniat pulang, sekalipun pekerjaannya belum selesai.

 Esoknya, pak Tarun melakukan aktifitasnya sebagaiman biasa; membangunkan Arul untuk melaksanakan solat jama'ah di masjid yang tak jauh dari rumah, dan kemudian pergi memungut sampah di tiap-tiap rumah tetangga dan membuangnya di pusat Tempat Pembuangan Sampah di pinggir Kota, untuk kebutuhan hidup sehari-hari, bayar hutang, dan untuk kebutuhan sekolah si Arul. Tapi sayang, uang hasil kerjanya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, bayar hutang walau masih nyicil, dan juga untuk kebutuhan sekolah Arul. Kira-kira kurang lebih dua bulan lagi Arul akan lulus dari sekolahnya. Terkadang jika terdesak akan kebutuhan sehari-harinya, pak Tarun memakai uang tabungannya yang disisikan untuk membelikan sepatu baru Arul. Tiap kali Arul lewat di depan kamar bapakanya, ia sering memergoki bapaknya sedang menatap secarik kertas semacam koran yang dipegangnya dengan mata berkaca-kaca, yang entah Arul sendiri tidak tahu isinya apa di kertas itu.

 Karena Arul penasaran dengan kertas yang dipegang Bapaknya, Arul memutuskan untuk bertanya langsung. "Pak, itu kertas apa ya, kok kelihatannya Bapak sedih begitu?"

 Pak Tarun langsung melipat kertas itu saat Arul bertanya di depan pintu kamar bapaknya. " Oh, bukan apa-apa, kertas biasa kok," jawabnya,

 "Ooh..." Arul pun meninggalkan kamar itu dengan penuh tanda tanya.

***

Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Bulan semakin meninggi, menunjukkan malam sudah semakin Tua. Sudah beberapa hari ini penyakit pak Tarun sering kambuh. Dan sudah lima hari ini pak Tarun hanya berbaring di dalam kamarnya.

"Klontang......" Suara termos jatuh dari arah kamar pak Tarun. Bergegas Arul keluar dari kamarnya yang hendak mengerjakan tugas akhir sekolahnya saat itu. kemudain disusul Ibunya yang terbangun akan suara termos jatuh. Jantung pak Tarun kumat lagi saat hendak menuangkan air ke gelas. 

"Bapak minta maaf ya, Nak. Bapak belum bisa membelikanmu sepatu baru sampai saat ini," nafas pak Tarun mulai tersengal. Arul hanya menggelengkan kepala. Sepasang matanya berkaca-kaca. Malam semakin hening. Pak Tarun pun sudah tiada. Tangis pun pecah di malam itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun