Selanjutnya nilai toleransi, berdasar observasi saya dan yang saya lihat selama ini, peserta Ngaji Filsafat sebagai agen sosial memiliki identitas yang beragam, meski secara garis besar, saya lihat mayoritas usia nahasiswa, tetap terdapat perbedaan-perbedaan, sesederhana dilihat dari pakaian. Ada peserta putra yang menggunakan peci dan sarung, adapula yang hanya berkaos dan bercelana jeans. Ada peserta putri yang memakai abaya hitam, gamis berwarna, rok, celana, ada pula yang tidak berjilbab. Namun, semua itu terdekap dalam nilai toleransi bukan menghakimi.
Sebenarnya, bagaimana keberbedaan itu terjadi, saya pikir ada pengaruh dari struktur sosial pendidikan di mana Ngaji Filsafat seperti ruang kelas, hanya saja nonformal, dan topik pembahasannya yang berupa filsafat bisa untuk umum, bukan menjurus kajian religi yang normatif. Maka dari itu, tidak melulu kaum muslim yang bisa ikut, tetapi ruang kajian ini lebih terbuka kepada orang dari agama apapun. Teman saya pun pernah menuturkan terkait bahwa dia lebih santai dalam berpakaian ketika ke Ngaji Filsafat dibanding ke kajian lain, tidak terlalu memakai gamis yang lebar-lebar karena pesertanya lebih 'umum', pun mereka tak jarang memakai korsa-korsa organisasi ataupun prodi. Kemudian, struktur sosial pendidikan ini juga mempengaruhi interaksi, di mana proses transmisi maupun disukusi lebih santai, dibawa mengalir, seraya bersenda gurau, baik itu Pak Faiz dengan peserta maupun antar peserta. Peserta tidak terbayangi cemas tidak paham materi atau tugas, dan kompetisi dengan pencapain diri sebelumnya maupun peserta lain.Â
Berikutnya mikro ke makro. Saya melihat kesuksesan Ngaji Filsafat, terbangun dan terharum namanya, tentu tak terlepas dari peran agen sosial yang mempengaruhi. Mulai dari Pak Faiz selaku pembawa materi yang ahli di filsafat, tim media MJS yang kreatif, pun peserta mengaji yang seringkali melakukan getok tular. Selain itu, saya melihat dari berhasilnya Ngaji Filsafat menarik minat orang-orang, dengan adanya partisipasi dari banyak orang, kemudian terjadi interaksi sosial, terbentuk lingkar diskusi, maka secara bertahap dapat berpotensi mempengaruhi struktur sosial yang lebih luas, misalnya lanskap intelektual masyarakat berubah menjadi lebih kritis sekaligus stoik sebagaimana yang diulas dalam Filsafat. Namun, saya pikir untuk mencapai hal tersbut dibutuhkan pengarahan pengordinasian. Untuk saat ini, saya belum menjumpai dan sepertinya memang belum ada Komunitas Ngaji Filsafat atau semacam itu.
Secara garis besar, berikut adalah pemetaan dari saya:
Demikian ulasan Ngaji Filsafat dalam kacamata integrasi makro dan mikro. Tentu tulisan ini masih banyak kekurangan, maupun terdapat kekeliruan. Terbuka untuk kritik dan saran. Terima kasih. Semoga hari kalian indah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H