Mohon tunggu...
Naf Faizah
Naf Faizah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sosiologi

Membahas teori Sosiologi modern dan refleksinya dalam kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Integrasi Makro-Mikro dalam Ngaji Filsafat

15 Desember 2024   21:30 Diperbarui: 15 Desember 2024   22:01 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ngaji Filsafat merupakan salah satu kegiatan kajian terkenal di Yogyakarta. Akun instagram Ngaji Filsafat sendiri telah memiliki 12Rb follower---dan saya adalah salah satu followernya. Sebagaimana namanya, kajian ini membahas topik filsafat, baik itu filsafat klasik maupun filsafat kontemporer, baik itu filsafat berobjek makro maupun filsafat berobjek mikro. Kajian ini rutin digelar setiap Rabu malam di Masjid Jenderal Sudirman dan dibawakan oleh Pak Fahruddin Faiz---yang juga merupakan dosen prodi Aqidah dan Filsafat Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Menurut informasi yang saya dapat dari mojok.co, kegiatan Ngaji Filsafat sudah berlangsung sejak 2013. Adapun, saya baru mengikuti Ngaji Filsafat sejak Oktober 2024. Meski termasuk peserta newbie yang baru ikut 13 kali, dalam tulisan kali ini, saya tertarik untuk mengulik Ngaji Filsafat melalui perspektif Sosiologis, terkhususnya dari kacamata Integrasi Makro-Mikro.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Pertama-tama, tentu perlu dibedah dulu aspek mikro dan makro dalam Ngaji Filsafat. Objek mikro dalam sosiologi adalah individu, kelompok kecil, dan interaksi di antara mereka. Aspek mikro yang diambil di sini adalah agen sosial dan interaksi sosial. Secara garis besar, agen sosial dalam Ngaji Filsafat terdiri dari 'guru' yaitu Pak Faiz dan peserta. Pak Faiz memiliki latar belakang pendidikan filsafat dan menjadi dosen filsafat. Adapun sebelum berkuliah, Pak Faiz merupakan lulusan dari MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus) di Jember, Jawa Timur yang berfokus pada pendidikan agama dan mencetak ulama intelektual. Selain mengisi Ngaji Filsafat dan menjadi dosen, beliau juga merupakan seorang penulis buku---saya sendiri pertama kali tahu nama Pak Faiz dari buku beliau yang berjudul 'Menjadi Manusia, Menjadi Hamba'. Pak Faiz dikenal masyarakat melalui potongan-potongan video kajiannya yang tersebar di media sosial, pun kemudian didukung dengan karya-karya tulisnya. Dalam Ngaji Filsafat, Pak Faiz berperan sebagai agen sosial yaitu menjadi guru pembawa materi.

Agen sosial yang kedua, yakni peserta Ngaji Filsafat yang terdiri dari perempuan dan laki-laki. Terdiri dari berbagai kalangan, ada mahasiswa, ada pula orang tua, seperti kenalan saya yaitu Ibu empat anak yang ternyata sedang S2 di IAT Uinsuka. Berdasar pengamatan saya, peserta Ngaji Filsafat yang ikut selalu ramai, bahkan ketika hujan masih cukup lebih banyak dibanding peserta kajian rutin Kamis sore di masjid kampus UIN---kebetulan saya tergabung dalam Sahabat Masjid. Para peserta Ngaji Filsafat memenuhi area dalam masjid dan halaman. Bagian utara diisi oleh jamaah perempuan, bagian selatan diisi oleh jamaah laki-laki, adapun halaman lebih fleksibel, tetapi dominan laki-laki. Peserta Ngaji Filsafat berperan sebagai agen sosial yang menerima materi. Baik, pembawa materi maupun penerima materi memiliki peranan penting dan membutuhkan satu sama lain (Fungsionalisme). Pak Faiz pernah menyinggung dan berkelakar dalam suatu pertemuan bahwa posisi beliau dan peserta itu setara, tidak ada yang kurang maupun lebih penting. Karena tanpa peserta, Ngaji Filsafat tidak berjalan, masa iya Pak Faiz bicara sendiri? Bicara ke ruangan kosong? Nanti terlihat ganjil. Begitu sebaliknya, tanpa Pak Faiz, Ngaji Filsafat pun tidak berjalan, siapa yang akan duduk di depan? Ya, kecuali ada gantinya, misal peserta mau tidak maju ke depan?

Dok. Pribadi Suasana
Dok. Pribadi Suasana

Selanjutnya ada interaksi sosial. Interaksi sosial adalah hubungan timbal balik antara individu dalam kehidupan bermasyarakat. Interaksi sosial yang terjadi antara Pak Faiz dan peserta berupa proses transfer kajian filsafat. Ruangan hening, peserta mendengarkan, menyimak, dan ada pula yang mencatat kajian. Ruangan akan terguncang dengan tawa ketika ada candaan-candaan ringan yang dimunculkan Pak Faiz. Adapun, interaksi yang terjadi antar peserta yaitu berdiskusi, baik itu terkait materi filsafat yang barusan dikaji, seperti yang dilakukan Trio Sosiologi (Fuad kelas A, Bram kelas B, Rafly kelas C), maupun topik lain dalam dunia perkuliahan seperti Ibu S2 yang saya temui mengajak mengobrol terkait tesis poligami dan femisida yang sedang beliau kerjakan. Namun, tentu saja ada pula interaksi obrolan-obrolan ringan (seperti yang saya lakukan dengan teman saya, Nuriska dan Arifah), ada juga terakit organisasi dan kerjaan, tetapi yang sedang saya soroti di sini adalah terbentuknya lingkar-lingkar interaksi berdiskusi yang terjadi terjadi pasca Ngaji Filsafat selesai. Bagaimana interaksi yang terjadi antara Pak Faiz dan peserta, maupun interaksi antar peserta tentu tak terlepas dari simbol yang dimaknai, yaitu Ngaji Filsafat dipersepsikan sebagai ruang intelektual sehingga bisa dijadakan wadah dan kancah untuk saling bertukar pikiran (Interaksionisme simbolik).

Beralih dari aspek mikro, berikutnya adalah aspek makro. Objek kajian sosiologi makro adalah masyarakat, organisasi, struktur, sistem dan proses sosial yang tersebar luas. Sebagai kegiatan yang ada di masyarakat, Ngaji Filsafat tentu tak terlepas dari konteks sosial masyarakat itu sendiri, termasuk terkait struktur sosial agama, budaya, dan pendidikan. Dalam struktur sosial agama, terutama yang dimaksudakan di sini adalah agama Islam, ada nilai-nilai yang mempengaruhi bagaimana Ngaji Filsafat itu dilakukan, yaitu nilai toleransi, kedamaian, dan batasan mahram. Dalam struktur budaya, terdapat nilai-nilai budaya dan kebiasaan yang mempengaruhi Ngaji Filsafat, seperti kajian yang berlangsung dengan duduk lesehan, mengingatkan dengan tradisi lesehan pesantren, pun memang nilai etika di masjid biasa lesehan, tidak memakai kursi karena tempatnya untuk salat juga, berbeda lagi dengan tempat ibadah lain, seperti di gereja dengan kursi-kursi yang tertata rapi. Selain itu, salah satu hal yang saya sukai di Ngaji Filsafat adalah disediakan kopi dan teh, yang kemudian peserta kajian diminta untuk mengembalikan/mengumpulkan secara mandiri, kebiasaan ini juga dilakukan di masjid kampus UIN sehingga sedikit meringankan takmir---saya pikir, kenapa ya tidak dicuci sekalian seperti kajian di Ourspace Real Masjid, eheh... Mungkin kurang efektif ya. Adapun terkait struktur sosial pendidikan, Ngaji Filsafat dapat dilihat sebagai bagian dari sistem pendidikan nonformal. Mengapa demikian? Karena contohnya, saya yang merupakan mahasiswa Sosiologi, lalu ada teman saya dari Psikologi, Ilmu Hadits, dan Pendidikan Biologi, kami dapat belajar Filsafat di luar spesifikasi keilmuan kami. Ngaji FIilsafat menawarkan alternatif kepada masyarakat, baik itu siswa, mahasiswa, maupun umum untuk bisa mempelajari, mengetahui, memahami, dan mendalami filsafat di luar ruang kelas formal. Tentu ini menjadi oase bagi orang-orang yang sedikit-banyak penasaran maupun tertarik dengan filsafat, termasuk saya, terima kasih Ngaji Filsafat!

Baik, setelah membahas aspek mikro dan makro satu persatu, giliran menganalisis hubungan integrasi antara dua distingsi tersbut. Saya melihat adanya beberapa hubungan mikro dan makro. Pertama, makro ke mikro, struktur makro membentuk kerangka dalam Ngaji Filsafat. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, dalam struktur sosial agama, ada nilai toleransi, kedamaian, dan batasan mahram, yang kemudian terinternalisasi dan mempengaruhi agen sosial dan interaksi sosial yang terjadi. Terkait nilai batasan mahram, dapat dilihat bahwasanya peserta kajian putra dan putri dipisah melalui pembatas menjadi selatan dan utara, yang nanti di sekitar pukul 22.30, takmir MJS akan membenarkan lagi posisi pembatas menjadi membagi barat dan timur untuk salat. Selain itu, saya melihat karena Ngaji Filsafat dilangsungkan di masjid dan masih di lingkungan masjid, peserta putra dan putri lebih menjaga interaksi, termasuk ketika mengobrol maupun berdiskusi, terlepas ketika keluar area masjid berbocengan dan semacam itu. 

Dok. Pribadi. Pembatas Jamaah. Sepi-tapi masih sampai saf belakang.
Dok. Pribadi. Pembatas Jamaah. Sepi-tapi masih sampai saf belakang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun