Mohon tunggu...
Naf Faizah
Naf Faizah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sosiologi

Membahas teori Sosiologi modern dan refleksinya dalam kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kekenyangan Materialis, Kelaparan Kualitas Hidup

4 November 2024   15:56 Diperbarui: 4 November 2024   16:18 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namun, di tengah-tengah kegentingan peningkatan populasi dan konsumsi yang mengungguli kapasitas Ibu bumi dalam menjaga kestabilan ekologis, hadir harapan segar tentang  masa depan berkelanjutan, yaitu dengan: 1). Meningkatkan efisiensi teknologi yang lebih ramah lingkungan; dan 2). Menurunkan konsumsi dan populasi. Hal tersebut dapat didorong melalui psikologi sosial. Bagaimana caranya? Yaitu dengan analisis materialisme dan kekayaan dalam kacamata psikologi sosial.

Uang dipercayai membeli kebahagiaan, maka sedikit uang akan membawa sedikit kebahagiaan, sebenarnya hal ini logis, karena hampir segalanya butuh uang, untuk nyaman kita butuh uang. Survei tahunan UCLA kepada mahasiswa Amerika pun mendukung kepercayaan tersebut, hasil menunjukkan tujuan 'sangat berkecukupan dan secara finansial' berada dalam urutan pertama. Namun, hasil penelitian-penelitian tentang kekayaan dan kesejahteraan di berbagai negara, mematahkan kemutlakan kepercayaan tersebut. Contohnya, kenyamanan material orang Cina meningkat, tetapi presentase puas dengan hidupnya malah menurun.

Psikologi sosial membedah hal tersebut dengan dua pisau, yakni: 1). Fenomena level-adaptasi, yaitu manusia memiliki kapasitas untuk beradaptasi. Ketika berhasil mencapai sesuatu, maka akan senang, tapi kemudian beradaptasi dengan hal tersebut, kesenangan hanya sesaat, dan kemudian menjadi netral. Sementara itu, apa yang awalnya netral menjadi turun level. Ini menyebabkan manusia tidak puas; 2). Perbandingan sosial. Manusia memiliki keinginan untuk membanding-bandingkan. Perbandingan ini biasanya dilakukan kepada yang levelnya lebih tinggi di atas kita. Jadi, kita merasa miskin atau tidak bahagia bukan karena punya sedikit, tetapi tetangga kita punya lebih banyak. Pada akhirnya tidak puas. 

Ada pula penelitian terkait kepuasan dan korelasinya dengan konteks sosial. Studi kasusnya mengenai mahasiswa yang fokus pada hal bersifat fisik pada pengundian kamar asrama dan memprediksi akan puas, ternyata yang terjadi tidak seperti itu. Mereka kemudian menyadari terkait sifat sosial, terkait komunitas mempengaruhi kebahagiaan. Saya suka bagaimana Myers membawakan bab ini, merunutnya satu persatu, dan menghasilkan insight bahwa materialisme justru malah gagal memuaskan manusia. Hal yang terbaik dalam hidup bukanlah barang-barang, tetapi pengalaman-pengalaman positif, seringnya pengalaman sosial, seperti hubungan yang akrab dan saling mendukung itu menjadi elemen kunci kebahagiaan psikologis. Maka dapat diiringi kesadaran bahwa konsumsi berlebih bukan berarti kita akan bahagia, malah justru bisa merusak lingkungan kita. Namun, bukan hanya sampai tahap kesadaran, tetapi penting untuk diimplementasikan. Bukankah begitu? Dan sudahkah begitu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun