Etika secara umum didefinisikan sebagai nilai dan norma moral yang menjadi pedoman bagi seseorang atau kelompok dalam berperilaku. Etika dalam realitasnya berada di luar hukum bahkan boleh dikatakan terpisah dari hukum, namun dapat menjadi inspirasi atau sumber dalam pembentukan hukum. Oleh karena itu, menempatkan etika sebagai hukum tergantung pada bagaimana memberikan definisi hukum. Ketika definisi hukum sebagai perintah, larangan dan sanksi yang dibuat oleh pemegang kekuasaan yang legitimate, maka etika menjadi tidak termasuk dalam definisi hukum tersebut. Selain itu, hukum juga dapat dibedakan sebagai hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Ketika hukum didefinisikan sebagai hukum yang tertulis dalam arti peraturan perundang-undangan maka etika tidak termasuk di dalamnya. Namun, ketika hukum didefinisikan sebagai hukum yang tidak tertulis, maka etika termasuk di dalamnya.
Etika menjadi sumber dari hukum. Orang yang melakukan pelanggaran etika belum tentu melanggar hukum tetapi orang yang melanggar hukum pasti melanggar etika. Hukum yang baik adalah hukum yang tidak mengabaikan etika. Pengabaian etika dalam pembentukan hukum maka potensi untuk timbul masalah menjadi sangat besar. Etika dan hukum merupakan dua hal yang saling berkaitan. Etika merupakan tolak ukur sesuatu berdasarkan kesesuaiannya dengan nilai-nilai kebaikan, kesopanan dan kepantasan. Sementara hukum merupakan penilaian benar atau salah yang umumnya berdasarkan norma tertulis. Ketika hukum hanya dipahami sebagai teknis prosedural dan formal, maka aspek etika sering terlupakan. Ada perbuatan yang dianggap melanggar hukum, tetapi secara etika masih dipersepsikan baik. Sebaliknya, ada perbuatan yang dianggap melanggar etika, tetapi secara prosedural dan formal tidak melanggar hukum. Dua hal ini perlu disinkronkan agar tidak terjadi dualisme antara pemaknaan etika dan hukum.
Masalah lain yang sangat signifikan adalah saat ini hukum banyak dipahami hanya sebagai teknik prosedural saja. Aspek keadilan dan etika dalam penegakkan hukum kadang terabaikan. Banyak yang melanggar etika dan moral tetapi masih merasa belum bersalah karena tindakannya belum dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Hukum kemudian menjadi sarana untuk mencari  kemenangan di dalam berperkara di pengadilan. Hukum tidak lagi menjadi sarana untuk mewujudkan keadilan, kebenaran dan ketertiban di masyarakat. Setiap aturan bersifat abstrak karena sifatnya umum dan bersifat pasif karena tidak akan menimbulkan akibat hukum jika tidak terjadi peristiwa konkrit. Hakim mempunyai peranan yang fundamental untuk mendekatkan antara moral dan hukum. Seorang hakim harus memahami substansi hukum (learned in law) dan terampil dalam menerapkan hukum (skilled in law) hingga dapat menjadikan ilmu hukum sebagai pengetahuan praktis (applied science), memberi nyawa dan hidup pada pasal-pasal undang-undang dan peraturan. Hakim mempunyai kewenangan yang sangat strategis melalui putusan-putusan yang dibuatnya untuk mengkombinasikan antara pelanggaran moral dan penegakkan hukum, sehingga keduanya dapat saling terakomodir dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H