Mohon tunggu...
Faidatul Hikmah
Faidatul Hikmah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung || Ketua Umum Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

Mahasiswa Berprestasi 2 Tingkat Fakultas Hukum UBB Tahun 2022 || Ketua Umum Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung|| Anggota DPC PERMAHI BABEL

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Jejak Keadilan Substantif: Analogi Hukum Perdata Dalam Kasus Hukum Pidana Hakim Bismar Siregar

30 September 2022   13:02 Diperbarui: 30 September 2022   13:35 1282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
image created by the author from the canva app

Hukum dan Perlindungan Kemanusiaan

Dalam tradisi negara-negara yang menganut sistem common law, hakim terikat kepada putusan hakim yang terdahulu (precedent), sehingga ratio decidendi yang terdapat dalam putusan sifatnya mengikat untuk kasus serupa yang terjadi di masa mendatang. Meski Indonesia adalah negara yang lebih dekat tradisi hukumnya pada civil law, namun yurisprudensi tetap diakui sebagai sumber hukum yang sah, setidaknya dapat menjadi pedoman bagi hakim dalam memutus suatu perkara. Dalam kacamata Prof. Satjipto Rahardjo, dalam putusanya Bismar mengandalkan hati nurani. Jika ia dihadapkan kepada sebuah kasus, ia bertanya kepada nuraninya terlebih dahulu tentang salah atau benar, Bismar mencari rumusan dalam undang-undang yang ada, jika tidak ditemukan, sebagai hakim, ia membuat penafsiran. Bismar cenderung berupaya mewujudkan hukum yang berkeadilan substansial, dan bukan keadilan yang prosedural.

Dalam pandangan penulis, sejumlah faktor yang mempengaruhi pola penafsiran Bismar adalah bukan sistem, struktur, birokrasi peradilan, maupun kekuatan ekstra-yudisial lainya, melainkan faktor nilai-sikap, ideologi, keyakinan dan intuisinya sebagai penegak hukum. Hal ini terlihat dengan jelas dalam nilai-nilai yang termuat di dalam keputusanya. Pertama, Bismar berani menyuarakan hati nurani masyarakat marginal atau yang tidak berdaya (powerless), dikala sebagian besar hakim masih terbelenggu oleh sistem, struktur dan birokrasi peradilan. Kedua, Bismar berani menerapkan hukum bukan berdasar bunyi perkataannya melainkan berdasarkan jiwa atau semangat yang terdapat di belakangnya. Hal Ini membuat Bismar dapat melakukan penciptaan hukum dan pembaharuan Hukum. Ketiga, Bismar berani melakukan penciptaan hukum dengan melandasi putusan-putusannya pada nilai-nilai agama terutama agama islam yang dianutnya, dan hukum adat dikala sebagian besar orang menganggap hal tersebut adalah sesuatu yang tabu.

Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa yang dilakukan Bismar sejatinya karena ia memiliki sikap dan komitmen moral yang tinggi pada rasa keadilan dalam tatanan kehidupan masyarakat sebagai tanggung jawabnya menjalankan tugasnya sebagai panggilan dedikasi negeri. Bismar menerapkan politic judicial activism bukan judicial restraint; dan karena Itu pula maka Bismar tidak termasuk hakim yang bertipe logikal yang terikat pada ketentuan formal dalam peraturan perundang-undangan (stare decisis), melainkan tipe rasional-psikologis.

Asas Legalitas: Bagaimana dengan Kekosongan Hukum?

Eksistensi asas legalitas sebagai muatan inti dan pertama dalam KUHP telah mengkerdilkan kemampuan hakim dalam usaha menemukan hukum. Hakim dilarang untuk menolak mengadili perkara dengan alasan tidak ada undang-undang yang mengaturnya, namun disaat yang sama tindak pidana harus termaktub dalam undang-undang. Sedang, undang-undang tidak selamanya lengkap dan dapat diimplementasikan secara paripurna menghadapi gejala kasus konkret di masyarakat yang variatif. Untuk itu, kekosongan hukum adalah isu fundamen yang menjadikan asas legalitas sebagai fragmen yang ber-diskursus antara kepentingan kepastian dan pencapaian keadilan substansial.

Penemuan hukum pidana yang dilakukan oleh Bismar Siregar dilakukan berdasar pada sifat melawan hukum dalam fungsi positif. Sifat melawan Hukum dalam fungsi positif yaitu apabila perbuatan yang dilakukan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, akan tetapi nilai-nilai masyarakat perbuatan tersebut dianggap sebagai tindak pidana, maka dapat dipidana. Pengaplikasian nilai-nilai di dalam masyarakat dapat menjadi alasan logis bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum pidana. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan ini dapat menjadi alasan pembenar atas penggunaan norma-norma di dalam masyarakat sebagai dasar untuk menentukan keadilan sesuai kehendak masyarakat. Dalam hal keadaan perbuatan yang diajukan kepada pengadilan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana, namun nilai di dalam masyarakat mengatakan bahwa perbuatan tersebut termasuk perbuatan amoral dan patut dipidana, maka nilai-nilai tersebut dapat menjadi alasan logis bagi hakim untuk menjatuhkan putusan berdasarkan hati nurani. Landasan dasar inilah yang menjadi pertimbangan hakim untuk menggunakan hukum tidak tertulis sebagai sarana untuk mengisi kekosongan hukum pidana guna mencapai keadilan substantif. Bukankah dalam menerapkan hukum selalu berkeadilan atas nama Tuhan yang maha esa?

Dalam status quo, mempertahankan asas legalitas sekaligus nilai-nilai atau hukum tak tertulis di masyarakat menjadi sangat penting karena kedua hal tersebut merupakan syarat utama dalam menentukan sifat melawan hukum materiil. Sifat melawan Hukum materiil sangat urgentif sebagai dasar untuk melakukan penemuan hukum pidana saat menghadapi kekosongan hukum. Hakim dalam mengakomodir hukum tak tertulis harus dilandasi dengan argumentasi hukum yang rasional. Meski demikian, hakim tetap merujuk pada peraturan perundang-undangan pidana untuk menjerat pelaku secara hukum. Argumentasi hukum tersebut harus dicantumkan dalam putusan sebagai wujud pertanggungjawaban hakim kepada pelaku, korban, dan masyarakat. Adanya argumentasi hukum yang rasional dalam penemuan hukum pidana hakikatnya bertujuan untuk mencapai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Kewajiban mempertahankan asas legalitas dalam penemuan hukum pidana menunjukkan orientasi terhadap pencapaian kepastian hukum. Hakim dalam melakukan penemuan Hukum berdasar pada hukum positif yang diketahui oleh masyarakat umum sehingga dapat diterima secara rasional. Sedangkan pengakomodiran hukum tak tertulis masyarakat dalam Penemuan hukum pidana merupakan wujud untuk mencapai keadilan. 

Hakim ketika menghadapi kekosongan hukum pidana harus menggali hukum tak tertulis untuk mendalami urgensi keadilan masyarakat. Terdapat suatu keterkaitan dalam hal ini, suatu teori ukuran keadilan yaitu ukuran relatif. Keadilan harus ditempatkan ditempatkan atas dasar relatif yang berarti keadilan akan berbeda-beda sesuai perbedaan tempat dan waktu. Tiap-tiap kasus yang dihadapi hakim mempunyai keunikan tersendiri sehingga tidak bisa disama ratakan meskipun kasus yang sama. Ukuran keadilan ditentukan berdasarkan nilai-nilai atau hukum tak tertulis dari pelaku maupun korban. Tentu saja ukuran keadilan ini akan berbeda apabila dihadapkan pada tempat, pelaku, korban, waktu yang berbeda sekalipun kasus serupa. Setiap budaya dari pelaku dan korban akan membawa ukuran keadilan yang berbeda. Hakim seyogyanya jeli dalam mendalami hukum tak tertulis tersebut agar dapat menentukan keadilan sesuai kehendak korban dan pelaku.

Relasi Hukum dan Etika

Perzinahan jelas melanggar etika, moral, agama meski sekalipun tidak ada aturan di peraturan perundang-undangan yang secara legal mengikat. Prof. Jimly Asshiddiqie juga mengutip kalimat Warren ketika membahas hubungan antara hukum, etika, dan agama. Hubungannya dapat berupa luar-dalam atau luas-sempit. Dalam relasi pertama, hubungan hukum, etika dan agama laksana nasi bungkus. Hukum itu adalah bungkusnya, sedangkan nasi beserta lauk pauknya adalah etika dan segala zat protein, vitamin yang terkandung di dalamnya adalah agama. Dalam hubungan kedua, etika lebih luas dari hukum yang lebih sempit. Oleh karena itu setiap pelanggaran hukum dapat dikatakan juga merupakan pelanggaran etika, tetapi sesuatu yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum. Etika itu lebih luas, bahkan dapat dipahami sebagai basis sosial untuk bekerjanya sistem hukum. Jika etika diibaratkan sebagai samudera, maka kapalnya adalah hukum. "Law floats in a sea of ethics", kata Warren. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun