Mohon tunggu...
Faidatul Hikmah
Faidatul Hikmah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung || Ketua Umum Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

Mahasiswa Berprestasi 2 Tingkat Fakultas Hukum UBB Tahun 2022 || Ketua Umum Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung|| Anggota DPC PERMAHI BABEL

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Jejak Keadilan Substantif: Analogi Hukum Perdata Dalam Kasus Hukum Pidana Hakim Bismar Siregar

30 September 2022   13:02 Diperbarui: 30 September 2022   13:35 1282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
image created by the author from the canva app


Fiat justitia ruat coelum

-sekalipun esok langit akan runtuh, meski dunia akan musnah, atau walaupun harus mengorbankan kebaikan, keadilan harus tetap ditegakkan.-

Dalam teori hukum kontemporer, yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum yang menjadi pilar fundamental bagi hakim untuk dapat memutuskan suatu peristiwa konkrit berdasarkan prinsip keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Dalam sejarah tata negara dan hukum di Indonesia yurisprudensi mengalami diskursus yang panjang dan kerap kali dikesampingkan dalam pemberian keputusan lantaran Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem civil law sebagai bagian dari asas konkordansi Eropa kontinental sejak era kolonial sedangkan yurisprudensi merupakan bagian dari tradisi hukum civil law yang populer digunakan oleh negara-negara Anglo Saxon, karena itu yurisprudensi kerap dikesampingkan dan jarang digunakan dalam penataan hukum dan pembuatan keputusan oleh hakim di Indonesia. Namun sejarah yurisprudensi di Indonesia pernah mengalami zaman yang mencerahkan pada era 1980-an tepatnya pada tanggal 8 Agustus 1893 melalui putusan hakim Bismar Siregar yang berpotensi menjadi sebuah yurisprudensi dan pedoman hukum bagi hakim-hakim berikutnya lantaran masih terdapat kekosongan hukum yang tajam. 

Pada masa itu hakim Bismar Siregar membuat analogi hukum dengan memanfaatkan pengertian hukum perdata untuk digunakan dalam kasus hukum pidana yang kemudian menjadi sebuah gebrakan hukum(law breaking) yang dapat menjadi pedoman bagi hakim berikutnya dalam memutuskan peristiwa serupa. Meski pada akhirnya putusan ini dibatalkan melalui pengadilan tinggi dalam banding lantaran dinilai telah beranalogi dan tidak sesuai dengan muatan Pasal 1 Ayat (1) KUHP. Namun, putusan hakim Bismar Siregar tetap merupakan salah satu pencapaian tinggi yang patut diapresiasi dan perlu untuk dikaji kemanfaatannya.

Kronologi Kasus

Putusan legendaris hakim Bismar berawal dari kisah Martua Raja Sidabutar yang dihadapkan ke persidangan lantaran menolak bertanggungjawab atas perbuatannya terhadap Katharina Boru Siahaan. Martua yang sebelumnya ialah kekasih Katharina, memberikan janji untuk menikahi dan memenuhi segala kebutuhan Katharina. Atas dasar janji tersebut, Katharina bersedia memenuhi keinginan Martua untuk melakukan persenggamaan layaknya suami istri di luar pernikahan. Namun, belum sampai ke pernikahan, Merasa tak dipenuhi janjinya dan memutuskan untuk mengakhiri hubungan. Katharina yang tidak terima lantas melakukan penuntutan ke meja hijau. 

Penuntut umum berupaya menjerat Martua dengan dakwaan kumulatif. Tuduhan pertama berbuat cabul dengan orang di bawah umur (Pasal 293 KUHP), dakwaan kedua penipuan (Pasal 378 KUHP), dan dakwaan ketiga membuat perasaan tidak senang (Pasal 335 KUHP). Namun terdapat kesulitan dalam pemenuhan unsur rumusan ketiga pasal. Pertama, lantaran keduanya telah dewasa dan hubungan senggama dilakukan tanpa unsur paksaan. Kedua, perjanjian antara Martua dan Katharina tidak tertulis sehingga tidak dapat dibuktikan. Dalam keadaan demikian, tidak terdapat pasal yang secara tekstual dapat menjerat Martua.

Namun, melepaskan Martua sama artinya dengan mencoreng rasa keadilan. Lantaran perbuatan Martua telah secara materiil merugikan Katharina. Untuk itu, Bismar mempertimbangkan dakwaan penuntut umum dengan dibaca secara alternatif. Bismar mengambil jalan 'memutar, dengan ekstensifikasi penafsiran kata "barang" yang digunakan dalam hukum perdata, dan memasukan "jasa" sebagai bagian dari pengertian barang tersebut. Hubungan senggama antara terdakwa dan korban telah menguntungkan terdakwa, karena itu juga sudah menerima "jasa" dari korban. Majelis banding berpendapat Katharina telah mengizinkan Martua bersenggama dengannya dengan harapan akan dinikahi setelah melakukan persenggamaan. Menurut majelis banding, persenggamaan itu memberikan keuntungan kepada Martua. Oleh sebab itu, majelis banding berpendapat Martua telah menerima suatu jasa dari Katharina.

Jika merujuk pada konsep hukum perdata, perikatan hukum demikian batal demi hukum karena bertentangan dengan undang-undang, sehingga meski terdapat cedera wanprestasi oleh terdakwa, hal tersebut tak dapat digugat ganti rugi oleh Katharina. Akan tetapi Bismar berpendapat, bahwa dalam hukum pidana, perbuatan cidera janji tetap dapat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa. Berdasarkan pertimbangan hukum itulah, majelis hakim berpendapat unsur memberikan atau menyerahkan barang tertentu terbukti. Dengan kata lain, seluruh unsur dalam dakwaan Pasal 378 terbukti secara sah dan meyakinkan. Lantaran dakwaan kedua dinilai terbukti, maka dakwaan ketiga dipandang terbukti. Sehingga amar putusan menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara, yang berarti 10 kali lipat dari vonis hakim tingkat pertama. Bismar melakukan langkah berani dengan memanfaatkan penafsiran hukum perdata untuk memutus perkara pidana demi mencapai keadilan substantif.

Meski pada akhirnya, putusan berani Bismar yang oleh banyak sarjana dinilai mampu menjadi suatu yurisprudensi dalam upaya perlindungan perempuan di masa mendatang ini dibatalkan, namun diskusi tentang keabsahan putusan ini tetap terus berlanjut. Disatu sisi, Bismar telah melakukan penerobosan (law breaking) terhadap asas legalitas, yang dalam konsep positivisme Indonesia adalah hal yang tidak dapat diterima. Namun disisi lain, putusan Bismar mampu secara lebih baik mendekati asas keadilan dan kemanfaatan, meski harus mengorbankan asas kepastian dalam prosesnya. Karenanya, putusan ini bernilai substansial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun