Mohon tunggu...
Fahrur Rozi
Fahrur Rozi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Suka menulis dan hobi mendesain gambar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tradisi Memberi Gelar Haji dan Status Sosial dalam Lintas Sejarah di Indonesia

2 Mei 2023   11:06 Diperbarui: 2 Mei 2023   11:23 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Haji merupakan rukun islam ke lima yang wajib kita laksanakan selaku muslim yang taat. Di kalangan masyarakat Indonesia rukun islam ke lima ini memiliki multi dimensi yang beragam, baik dalam konteks kehidupan diri sendiri maupun sosial kemasyarakatan muslim. 

Setiap muslim Indonesia sangat menginginkan dan mendambakan agar bisa menunaikan ibadah haji, hal ini dibuktikan dengan kenyataan meningkatnya jumlah pendaftaran calon jamaah haji tiap tahunya. 

Data statistik yang ada di kantor urusan haji juga menunjukan peningkatan yang sangat signifikan setiap tahunnya Betapa semangat dan kuatnya untuk melaksanakan ibadah haji ini sebagian masyarakat tertentu sampai menjual sawah, tambak, tanah, dan barang kepunyaan lainya. 

Masyarakat menilai melaksanakan ibadah haji merupakan sesuatu capaian yang istimewa dan berharga, hal itu juga masyarakat memposisikan para haji pada lapisan strata sosial yang lebih tinggi dengan sebutan "Haji" pada pemanggilan namanya. 

Uniknya pemanggilan atau gelar haji ini hanya terjadi di masyarakat indonesia saja, di negara-negara lain seperti arab misalnya gelar "Haji" tidak berlaku.

Fenomena yang terjadi di kalangan masyarakat gelar haji ini dapat menaikan status sosial entah gelar tersebut berkaitan dengan kualitas keberagaamaan mereka atau tidak. Seperti yang terjadi di sebagian masyarakat, mereka menganggap gelar haji ini memiliki nilai yang sejajar dengan pakar keagamaan, seperti kyai ataupun ustadz. 

Di daerah yang lain juga menganggap bahwa ibadah haji menyebabkan seseorang jauh lebih kaya hartanya, mereka beranggapan harta yang digunakan untuk berhaji tidak menyebabkan jadi miskin melainkan semakin bertambah banyak dan berkah. Itu semua merupakan salah satu dari makna menjalankan ibadah haji yang membuat kehidupan jauh lebih baik dari yang sebelumnya baik dari segi lahir maupun batin. 

Namun banyak juga para jamaah haji yang tidak mengerti apa makna yang terkandung dalam ibadah haji, terkadang mereka tidak bisa menjadi yang lebih baik dari kehidupan sebelumnya. 

Sudah berhaji tapi tetap saja perilaku dan ibadahnya masih sama seperti sebelum berhaji bahkan ada yang memanfaatkan gelarnya sebagai seorang haji untuk lebih dihormati dan didengar ucapan-ucapanya serta untuk menginginkan keinginan pribadinya.

Sejarah pemberian gelar haji ini tidak bermula dari penyebaran agama islam di indonesia. Hal ini dapat dilihat dari tokoh-tokoh penyebar islam di Indonesia, mereka tidak ada yang menyandang gelar haji. Dalam penyebaran islam di samudra pasai misalnya, yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dari makkah yaitu Fakir Muhammad dan Syekh Ismail. 

Di Jawa para penyebar agama islam juga banyak yang menyandang gelar syekh, seperti Syekh Maulana Malik Ibrahim sesepuh Walisongo, Syekh Siti Jenar penyebar islam yang memiliki pemikiran kontoversi, dan syekh-syekh lainya mereka semua tidak memiliki gelar "Haji". 

Memang bisa jadi mereka memang belum melaksanakan haji, namun dalam sejarah tertulis Ja'far Shodiq atau biasa dikenal Sunan Kudus beliau pernah memimpin rombongan jamaah haji sehingga beliau diberi gelar "Amirul Hajj". Gelar tersebut menunjukkan bahwa beliau pernah melaksanakan haji namun Sunan Kudus atau Ja'far Shodiq namanya tidak berubah menjadi "Haji Ja'far Shodiq". Dengan demikian perkembangan islam pada masa awal di indonesia, sebutan atau gelar haji belum digunakan oleh seorang muslim yang sudah melaksanakan ibadah haji.

Untuk mengetahui sejak kapan gelar haji digunakan pada nama seorang yang telah melaksanakan ibadah haji memang harus melek terhadap sejarah. 

Pada sejarah kerajaan banten tertulis bahwa Maulana Hasanuddin sebelum diangkat menjadi Sultan Banten, ia melakukan perjalanan bersama Sunan Gunungjati untuk melaksanakan ibadah haji, namun setelah kembalinya dari makkah gelar haji tidak diberikan pada namanya. 

Gelar haji baru kita jumpai pada masa Sultan Pageran Ratu (159-1647). Pada saat itu Sultan memberikan tugas kepada Lebe Panji, Tisnajaya dan Wangsaraja untuk pergi haji sekaligus menemui Sultan di Makkah untuk menyakan isi keterangan dari kitab Markum, Muntahi, dan Wujudiyah. Setelah kembali dari Makkah, Sultan telah mendapat surat yang berisi tentang penjelasan ketiga kitab yang ditanyakan itu. 

Selain itu Sultan juga diberi gelar oleh Sultan di makkah dengan gelar  Abul Mafakhir Mahmud, lalu sebutan sultan menjadi Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir. Tisnajaya kemudian diberi nama Haji Jayasanta dan Wangsaraja diberi gelar Haji Wangsaraja, sedangkan Lebe Panji tidak diceritakan. 

Dilihat dari kejadian yang terdapat di dalam sejarah kerajaan banten tersebut, dapat kita simpulkan bahwa gelar "Haji" berawal dari kisah tersebut dan akhirnya sampai saat ini gelar "haji" masih digunakan dan sangat populer dipakai oleh seorang yang telah melaksanakan ibadah haji.

Gelar haji ini sebetulnya gelar yang diberikan sebagai bentuk penghormatan kepada seseorang oleh masyarakat yang sudah menjadi budaya. Misalnya gelar "Kyai" di Jawa yang diberikan kepada seseorang yang ahli dibidang keagamaan dan gelar "Gus" dan "Ning" untuk anak seorang kyai. 

Dari penghormatan tersebut masyarakat mengharapkan keberkahan dari rasa penghormatan tersebut, serta gelar yang sudah disandangkan mendapatkan motivasi tersendiri bagi seseorang yang mendapatkan gelar agar didalam kehidupan bermasyarakat dapat lebih baik lagi. 

Kehidupan yang dulunya tidak memiliki sikap kebaikan sosial yang rendah setelah mendapatkan gelar menjadi lebih tinggi, senantiasa selalu taat, bertingkah laku benar, menepati janji, dan jujur. 

Gelar haji yang sudah diberikan senantiasa memberikan suatu komitmen sosial yang lebih baik dan kuat setelah menunaikan ibadah haji agar dapat melaksanakan konsep dari ajaran islam yaitu predikat haji yang mabrur. Haji mabrur ini dalam konteks sosial kemasyarakatan, yaitu apabila seseorang yang telah melaksanakan ibadah haji mereka ikut andil dalam gerakan perubahan sosial untuk mewujudkan tatanan kehidupan bermasyarakat yang baik dan teratur.

Mengenai haji mabrur seseorang harus berjuang untuk mendapatkanya, karena predikat haji mabrur tersebut bukan hanya sekedar telah sukses melaksanakan kewajiban rukun-rukun haji saja tetapi harus dilanjutkan secara continue ketika menjalankan kehidupan keseharian setelahnya dengan baik sampai akhir hayat. 

Menurut penjelasan dari Seno Hadi Sumitro dalam prespektif Al-Qur'an, ada empat faktor yang dilakukan agar mencapai haji mabrur dan diterima oleh Allah. Pertama, terbebas dari syirik kecil atau besar. Kedua, hati yang ikhlas karena Allah. 

Ketiga, selalu ingat kepada Allah dalam semua keadaan. Keempat, mengistiqamahkan amal baik dan takwa. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa menjalankan ibadah haji bukan hanya mengkhususkan pada aspek kewajiban fikih saja, melainkan dari aspek sosial kemasyarakatan juga tidak boleh dipandang sebelah mata. 

Dalam hal ini relevansi yang kuat dengan mewujudkan moralitas individu sangat dibutuhkan agar seorang yang melaksanakan haji menyandang haji yang mabrur. Namun moralitas tersebut belum sepenuhnya didapatkan, sedikit banyaknya seorang ketika sudah melaksanakan ibadah haji didalam kehidupanya sama seperti dulu sebelum berhaji tidak mengalami perubahan bahkan malah justru lebih buruk.

Keburukan seseorang setelah melaksanakan ibadah haji biasanya memiliki sifat riya' atau pamer dengan apa yang mereka capai dengan gelar barunya yaitu gelar haji. Mereka yang sudah menyandang sebutan haji juga menganggap dirinya lebih mulia sehingga banyak yang memanfaatkan gelar haji tersebut untuk kepentingan pribadinya agar selalu dihormati dan didengar semua tutur katanya. 

Hal ini sangat menghawatirkan mengingat masyarakat awam yang memiliki anggapan bahwa seseorang yang telah kembali dari tanah suci maka dirinya telah suci, sehingga segala tutur kata dan perilakunya dianggap selalu dalam kebenaran.  

Padahal kemuliyaan dan kesucian seseorang bukan dilihat dari gelar ataupun pencapaian telah melaksanakan seluruh ibadah, namun kemuliyaan seseorang terletak pada ketakwaan yang murni dan tingginya moralitas sosial. Seperti dalam potongan ayat dari QS. Al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi

........  

Artinya : "Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."(QS. Al-Hujurat: 49; 13).

 Memang sudah menjadi tantangan yang berat bagi seorang haji dengan membawa gelar haji pada nama panggilanya itu. Tidak heran jika mereka menjadi berbangga diri dan merasa telah suci, karena kemungkinan mereka mengetahui hadis tentang hal tersebut, yaitu riwayat dari Imam Bukhari dan Imam Muslim yang artinya

"Barangsiapa yang mengerjakan ibadah haji dan dia tidak melakukan jima' dan tidak melalukan perbuatan dosa, dia akan kembali dari dosa-dosanya seperti pada hari dimana ia dilahirkan oleh ibunya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Bukan hanya itu, dengan banyaknya keutamaan yang didapat setelah berhaji seperti Allah membanggakanya di depan malaikat, pahalanya sebanding dengan jihad, mendapatkan surga, serta doanya akan terkabul, sehingga membuat seorang menganggap dirinya lebih mulia dari pada seorang yang belum melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji yang seharusnya merupakan ibadah sebagai salah satu bentuk mafestasi ketaatan, namun malah menjadi senjata makan tuan yang telah merusak gelar haji dan tidak mendapatkan pencapaian haji yang mabrur.

Haji yang mabrur dapat diperoleh jika pertama, tumbuh rasa kepedulian sosial yang tinggi, dalam hal ini lebih mengedepankan kepentingan umum dari pada kepentingan dirinya sendiri. Bahkan pada tingkatan yang lebih tinggi lagi yaitu rela memberi kebutuhan orang lain padahal dirinya pun sangat membutuhkan sesuatu yang diberikanya itu. 

Kedua, perilaku dan ucapan yang santun, tidak menyakiti hati orang lain agar menciptakan rasa keharmonisan dalam bersosial. 

Ketiga, memiliki kegairahan beribadah setelah pulang berhaji seperti semakin rajin shalat berjamaah, bersedekah dan perbuatan baik lainnya. 

Keempat, menciptakan suasana damai dalam keharmonisan sosial baik dalam keluarganya maupun lingkungan bermasyarakat. 

Kelima, tidak melakukan berbuatan dosa baik dosa besar ataupun kecil, jika hilaf maka akan segera bertaubat. Melakukan haji bukan hanya ingin mendapatkan gelar haji saja namun harus mengaplikasikan hasil dari ibadah hajinya dalam kehidupan sosialnya agar mendapat haji yang mabrur.

Dari semua paparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa menjalankan ibadah haji merupakan ibadah yang sangat diimpikan oleh semua umat islam. 

Khususnya muslim di indonesia memposisikan seorang yang telah melaksanakan ibadah haji pada status sosial yang lebih tinggi, salah satunya dengan memberi gelar "haji" pada nama depannya. Itulah fenomena pemberian gelar haji yang hanya terjadi di negara indonesia saja, namun terkadang mereka jarang yang mengetahui arti dari haji tersebut, sudah berhaji tapi ibadah dan tingkah lakunya masih sama bahkan lebih buruk. 

Sejarah pemberian gelar haji di indonesia ini tidak bermula ketika awal islam masuk ke indonesia, hal ini dibuktikan dengan nama-nama tokoh seperti Fakir Muhammad dan Syekh Ismail di kerajaan samudra pasai, Syekh Maulana Malik Ibrahim sesepuh Walisongo, Syekh Siti Jenar penyebar islam tanah jawa mereka yang tidak memakai gelar haji. Namun gelar haji ini bermula pada masa Sultan Pageran Ratu (159-1647) banten, ketika itu memberikan tugas kepada Lebe Panji, Tisnajaya dan Wangsaraja untuk pergi haji sekaligus menyakan isi keterangan dari kitab Markum, Muntahi, dan Wujudiyah kepada sultan di makkah. 

Setelah itu mereka bertiga menyandang gelar Haji Jayasanta dan Haji Wangsaraja, sedangkan Lebe Panji tidak diceritakan. Sejak saat itulah gelar haji bermula dan akhirnya sampai saat ini gelar "haji" masih digunakan, gelar tersebut diberikan karena salah satu bentuk penghormatan dari masyarakat serta memberikan motifasi agar selalu berbuat kebaikan dan mendapat haji yang mabrur.

Menurut Seno Hadi Sumitro untuk mendapat haji mabrur ada empat faktor yaitu tidak syirik, ikhlas karena Allah, selalu ingat Allah, dan istiqamah dalam takwa. Menyandang haji mabrur sedikit seorang yang mampu mendapatkanya, moralitas yang buruk seperti riya' atau pamer, sombong merasa mulia, dan rasa ingin lebih dihormati menjadi penghalang. Jika seorang haji sudah mampu memiliki rasa kepedulian sosial, perilaku yang baik, rasa semangat beribadah, mampu menciptakan suasana yang damai, dan tidak melakukan dosa berarti ia akan memperoleh haji yang mabrur. 

Ibadah haji bukanlah sekedar mendapatkan gelar saja, akan menjadi sia-sia jika tidak memberikan efek yang baik dalam diri individu seorang haji. Gelar yang malah membuat seorang lalai terhadap manisnya buah dari ibadah, ibadah haji yang seharusnya mendapatkan feedback derajat yang mulia malah menjadi sesuatu yang buruk dan mendatangkan kemurkaan Allah dan kebencian oleh masyarakat. 

Maka dari itu jadikan ibadah haji ini sebagai sarana pendekatan diri kepada Allah dan sarana meningkatkan status sosial untuk menjalankan hubungan sosial kemasyarakatan yang baik agar mendapatkan kemuliaan dari Allah. Semoga kita diberi kekuatan agar dapat menjalankan semua ibadah khususnya ibadah haji ini, dan yang sudah menjalankan ibadah haji mendapatkan haji yang mabrur aamiin...

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun