Aku sungguh lelah.
Jikalau hatimu ragu, maka angkatlah sedikit pelupuk mata bercelak itu, dan biarkan kedua matamu mengungkap kebenaran! Inginkah dirimu?
Ah sudahlah, Aku benci wanita! Aku benci hewan malang yang selalu bersarang di balik jeruji tangis.
Ia selalu mencari ladang hanya untuk memenuhi hasratnya pada kuntum bunga Lily yang tengah merekah, sesudah layu, ia bagaikan kafilah yang mengejar fatamorgana, dan seperti prajurit yang lari tunggang-langgang dari medan juang.
Ingin rasanya isak tangisku menjerit, "Dasar jalang! Enyah dari hadapanku! Angkat susuh tenda yang kau unjam ke dalam bubunku!"
Tak lagi dapat kumengerti. Kini, tampuk bukit telah kehilangan jati diri. Air hujan yang sejatinya mengalir, sekarang tertambat pada tembuk batu yang mengeruhkan.
Palsu? Bukan, tapi dusta. Kerah baju usang itu saksinya.
Saksi bisu atas kenaifanku yang selalu teperdaya akan bubuk rayu nan terbubuh di atas cawan merah.
Kurela halangi rintik hujan yang jatuh menerpa, menyeka ribuan peluh yang terus mengalir tiada letih, untuk apa? Hanya untuk membendung bualmu itu.
Asa tak berbalas kini menjelma menjadi penyamun, ia rampas semua pikir, ia lucuti segenap kata. Dan sekarang, yang tersisa hanyalah ratap gitar tua tiada berdawai.
"Bodoh!" -Ungkapnya-.