Mohon tunggu...
Moh Fahrurrozy
Moh Fahrurrozy Mohon Tunggu... Penulis - anak petani yang ingin jadi penulis

Disaat buku sudah membersamai tulisan harus diikuti.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kericuhan Membudaya dalam Kontestasi Demokrasi

4 Maret 2021   00:01 Diperbarui: 9 Maret 2021   00:36 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
                                                                        matamatapolitik.com

Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang membolehkan warga negaranya aktif dalam perumusan, pengembangan, dan perundangan. Demokrasi memberikan nilai kebebabasan dalam berbangsa dan bernegara. Kebebasan merupakan gagasan dan prinsip demokrasi dalam prosedur praktiknya. Demokrasi terdapat makna respect terhadap harkat dan martabat manusia.

Salah satu bentuk terlaksananya Demokrasi di sebuah negara, dengan adanya Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu merupakan agenda rutinan negara sebagai salah satu ajang terciptanya nilai-nilai demokratis. Walaupun terkadang implementasi pemilu jauh dari asas-asa demokratis namun tetep dijalankan untuk memenuhi tuntutan normatif, yaitu sebagai sebuah persyaratan Demokrasi.

Seperti yang tertera dalam jurnal yang berjudul Pemilihan Umum dan Legitimasi Politik, Umumnya Pemilihan Umum dimaknai sebagai realisasi kedaulatan rakyat dan juga sebagai sarana  untuk memberikan dan memperkuat legitimasi rakyat. hubungan kedua poin itu sangat kental dan saling bersinergi. Fenomena pemilu menjadi keunikan tersediri. Sebab pemilu tidak hanya menjadi kewajiban pemerintah untuk merealisasikannya namun masyarakat juga merasa terpanggil untuk menggunakan hak pilih sebagai warga negara.

Kontestasi pemilu yang dilaksanakan dalam sistem demokrasi sulit berjalan dengan baik tanpa ada konflik yang terjadi. Konflik ketika pemilihan umum yang sering terjadi sudah menjadi hal biasa. Seperti adanya kerusuhan-kerusuhan di setiap daerah dengan memakan korban dari kedua belah pihak antar pendukung. Dengan beredarnya berita di media social, Demo 22 mei 2019  di Kawasan tanah abang terjadi kerusuhan yang menyebabkan 6 orang meninggal apalagi demo-demo di daerah-daerah lain.

Tidak hanya di Indonesia saja, bahkan negara yang lebih dulu menggunakan sistem Demokrasi Amerika Serikat juga terjadi kericuhan pada saat Pemilihan Presiden pada 04 November 2020 kemaren antara Donald Trump Dan Joe Biden. Pasca voting suara terbanyak adalah Joe Biden, pendukung Donald Trump tidak terima atas kekalahan tersebut, sehingga mereka menggelar aksi demo dengan melempar bom molotov dan botol kaca di pusat kota Portland. Dan masyarakatlah yang menjadi korban dengan adanya kontestasi demokrasi tersebut.

Keresahan timbul dalam benak saya, katanya Demokrasi respect terhadap harkat dan martabat manusia, katanya demokrasi lebih mementingkan kemaslahatan dan kedamaian masyarakatnya, tapi kenapa setiap kontestasi demokrasi masyarakat yang menjadi korban, mati, luka-luka, dan lain sebagainya.

Melihat konflik yang sering terjadi pra dan pasca pemiilihan umum yang katanya secara Demokratis. Hal ini dapat dikatakan bahwa ini suatu hal yang biasa dalam sistem Demokrasi. Konflik itu terjadi karena adanya Pemilu rutinan, 5 tahunan kalau di Indonesia, berbeda dengan Amerika Serikat Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres-Wapres) 4 tahunan dan 2 tahunan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Konflik yang terjadi semuanya bukan berarti dikarenakan Pemilihan Umum, namun karena beberapa sebab akibat yang mencampuri Pemilu, diantaranya Fanatisme terhadap Pasangan Calon (paslon) dan Berita Hoax. Namun bagaimana pihak yang terkait tidak menggunakan peluang ini sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan, karena ini persoalan politik dan lebih penting keselamatan masyarakat dari pada politik. Dengan dauhnya Gusdur, yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.

Fanatisme masyarakat terhadap pasangan calon menjadi salah satu sebab terjadinya konflik pra dan pasca pemilihan umum. Ketika kandidat memiliki hubungan erat dengan salah satu tokoh yang berpengaruh dan tokoh tersebut memiliki massa yang banyak, disaat itu pula ia menyuarakan pendapatnya untuk memilih kandidat tersebut maka massa yang iya miliki ikut dan terdoktrin dengan pernyataan-pernyataannya. tanpa masyarakat harus berfikir dua kali dengan pernyataan-pernyataan itu apakah pernyataannya benar atau salah.  

Berita hoax sudah banyak diadopsi oleh masyarakat dan tentunya ini menjadi salah satu sebab terjadinya konflik sosial apalagi saat-saat pemilihan umum. Ketika ada informasi yang menjelek-jelekkan salah satu kandidat. Masyarakat lekas percaya akan hal itu dan timbullah sifat-sifat kebencian bagi yang tidak tahu betul informasi tersebut hingga berdampak timbulnya kerusuhan-kerusuhan antar pendukung.

Pemilihan Umum dalam sistem demokrasi masih perlu banyak yang harus diperbaiki dikarenakan terjadinya konflik pra maupun pasca pemilu yang disebabkan oleh pemilu tersendiri yang dicampuri oleh fanatisme, dan penyebaran berita hoax. Dan yang menjadi korban disetiap kontestasi demokrasi adalah masyarakatnya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun