Mohon tunggu...
Fahrul Rozi
Fahrul Rozi Mohon Tunggu... Penulis - Saya adalah seorang pembelajar yang ingin tahu banyak hal

Aku berkarya maka aku ada

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Penyebab Valid dan Solusi Jitu dalam Mengatasi Krisis Ekonomi di Indonesia

13 April 2020   14:26 Diperbarui: 13 April 2020   14:37 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selamat datang bagi para pembaca setia tulisan saya. Pada kesempatan kali ini saya akan memberikan kontribusi terbaik untuk stabilitas ekonomi Indonesia khususnya di mikroprudensial. Sebelum melangkah lebih jauh, saya akan sedikit memberikan ungkapan Bung Karno yang berbunyi "bermimpilah setinggi langit, maka jikalaupun kau jatuh, setidaknya kau akan terjatuh diantara bintang-bintang."

Baik, ungkapan tersebut nampaknya telah membawa kita kedalam "roh sejarah" bangsa Indonesia. Dimana bangsa yang besar ini sesungguhnya didirikan oleh orang yang sangat paham betul tentang konsep negara.

Namun jika kita  melihat perangai para politikus dewasa ini,kita akan menemukan diskursus yang sangat jauh dari kata etis. Hal ini dibuktikan dengan adanya kekacauan (chaos) yang terjadi dalam kubu Partai Amanat Nasional (PAN).

Kejadian tersebut terjadi pada 11 Februari 2020 lalu. Kejadian yang dapat penulis sebut sebagai "degradasi etika" melanda kubu partai tersebut. Dalam melihat pendidikan di Indonesia dewasa ini, penulis merasa kasihan. Tidak dipungkiri lagi bahwa sesungguhnya sekolah-sekolah manusia baik tingkat SD, SMP, SMA, maupun perguruan tinggi masih saja belum jelas arah dan tujuannya.

Jikalaupun tujuan "ada", maka ia hanya sebatas tata tertib, visi dan misi yang terpampang di sekolah-sekolah, dan kampus-kampus di Indonesia. Dengan demikian visi misi baru mencapai taraf seremonial saja. Beralih kepada masalah lain, sejak Februari lalu dunia dikejutkan dengan adanya virus bernama SARS Corona Virus yang ber-evolusi menjadi virus mematikan Covid-19.

Hal tersebut bukan saja berpengaruh kepada kesehatan, namun juga berpengaruh terhadap segala aspek kehidupan. Dari sekian banyak aspek, penulis akan memfokuskan aspek ekonomi yang menjadi tantangan kita hari ini.

Adanya resesi atau kelesuan dalam berdagang dan rupiah yang mengalami drop membuat penilis merasa terpanggil untuk berkontribusi dalam upaya meningkatkan kestabilan ekonomi, khususnya di Indonesia. 

Sebelum kita memfokuskan diri kepada masalah ekonomi di Indonesia yang terjadi akibat pandemi Corona Virus (Covid-19), alangkah baiknya kita berefleksi terlebih dahulu perihal apa yang sebenarnya menjadi tujuan nasional ekonomi Indonesia ini. Penulis memberikan esensi poin yang sesungguhnya mengenai tujuan utama dari ekonomi Indonesia ini.

Tidak dipungkiri, Indonesia masih membutuhkan "kesejahteraan sosial" yang sebenarnya adalah tujuan utama dari ekonomi nasional. Jangan kita membuat daftar yang sifatnya "rumit" namun akhirnya tak ber-esensi.

Alangkah baiknya pihak BI memerhatikan tujuan tersebut guna memberikan arah yang jelas untuk apa sebenarnya membuat kebijakan, mengatur lalul intas uang, mengawasi bank-bank nasional dan swasta nasional, memberikan izin bagi para calon pengusaha yang membutuhkan modal. Untuk kesejahteraan sosial kah, atau untuk kesejahteraan segelintir orang?

Hal kedua yang mestinya pihak BI lakukan adalah, banyak-banyak untuk melakukan diskursus publik. Tujuannya untuk apa? Tujuannya adalah untuk menampung aspirasi masyarakat dan sebagai output-nya, hasil diskursus tersebut dapat menjadi pertimbangan BI dalam membuat kebijakan ekonomi (baik fiskal maupun moneter) di Indonesia.

Datangkan para ahli atau pakar-pakar di bidangnya, sebab cara kedua ini adalah cara ampuh bagi kita agar segala masalah ekonomi, hendaknya kita selesaikan bersama-sama. Dengan demikian, pihak BI tidak merasa bekerja sendirian, karena ada kami selaku masyarakat, akademisi, dan seluruh stakeholder yang bersedia memberikan pencerahan.

Ada catatan buruk etika, khususnya bagi tingkat eksekutif. Pihak eksekutif seringkali membuat keputusan yang tidak rasional. Contohnya saja pemindahan ibu kota. Dalam berita yang beredar, penulis melihat adanya kekeliruan eksekutif dalam memutuskan perpindahan ibu kota.

Penulis merasa heran mengapa pemindahan ibu kota sudah diputuskan dan pemerintah membuat sayembara bagi rakyat Indonesia untuk membuat gambaran ibu kota (lomba membuat video miniatur ibu kota baru).

Namun hal penting seperti kajian tentang AMDAL atau analisis mengenai dampak lingkungan baru (akan) dikaji setelah diputuskan pemindahan ibu kota. Seharusnya kajian tentang AMDAL didahulukan sebelum keputusan secara politis pemindahan ibu kota.

Penulis melihat adanya sifat tergesa-gesa pihak eksekutif dalam pemindahan ibu kota ini yang memakan biaya yang tidak sekidit (sekitar 466 triliyun). Maka, hal ini sebenarnya dapat disebut sebagai bias etika yang dilakukan oleh pihak eksekutif. 

Hal selanjutnya adalah etika daripada legislatif, seperti yang sudah disinggung diawal, penulis agak merasa miris melihat adanya kerusuhan yang terjadi di kubu Partai Amanat Nasional pada pemilihan ketua umum partai, pada 11 Februari lalu. Hal tersebut dapat penulis katakan "skandal" dalam kubu partai.

Mengapa demikian? Karena kericuhan berupa pelemparan kursi, pelemparan botol, dan barang-barang lain terjadi pada saat pembacaan tata tertib berlangsung. Seharusnya para hadirin mendengarkan dengan seksama, namun justru kericuhan yang lebih diutamakan. Diduga adanya blok yang tidak terdaftar sebagai hadirin ikut masuk dalam acara tersebut.

Bahkan Zulkifli Hasan sendiri membantu agar keadaan dapat lebih tenang dengan himbauannya itu terhadap para peserta. Lalu jika kita tarik secara umum, kita mampu melihat adanya kekurangan pada diri masing-masing hadirin dalam management konflik yang terjadi pada acara (penting) tersebut.

Seharusnya peserta yang hadir harus berkaca diri, apakah saya memiliki suara dan berhak "hadir" atau justru merusak jalannya musyawarah besar. Sehingga hal ini adalah hal yang disebut etika buruk dan dipertontonkan kepada rakyat. 

Isu kemanusiaan menjadi isu yang hangat selama pandemi Corona Virus ini. Mulai dari jenazah yang meninggal karena Covid-19 yang tidak ada yang mau menguburkan, disamping itu adanya kenaikan harga masker yang tidak masuk akal (sangat mahal dari biasanya), dan etika buruk lainnya seperti hilangnya masker dalam jumlah besar di Cianjur sebanyak 20.000 masker. Artinya apa?

Adanya krisis kemanusiaan yang terjadi pada masyarakat Indonesia, khususnya orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya sendiri ditengah wabah Corona Virus. Sehingga itu adalah patologi ekonomi yang terjadi secara mendadak.

Oleh karena itu, pentingnya hukuman bagi pihak-pihak yang merugikan dan tidak melakukan langkah kemanusiaan, adalah pilihan tepat untuk menanggulangi masalah ekonomi berupa harga masker yang membumbung tinggi karena kelangkaan.

Selain itu BI seharusnya memberikan semacam arahan kepada masyarakat untuk hidup secara sederhana, maksudnya adalah tidak berlebihan menggunakan uang, seperlunya saja.

Sederhana tidak berarti miskin, namun pihak-pihak yang memiliki kekayaan semestinya dapat memanfaatkan uangnya atau asetnya agar produktif dan bermanfaat untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi keadaan sekarang ini yang juga merupakan suatu masalah dan PR negara ini. Sehingga dengan hidup sederhana diharapkan agar kesejahteraan sosial dapat mudah dicapai.

Penulis sendiri merasa jika masing-masing individu Indonesia sadar akan kemanusiaan, kebersihan lingkungan (PHBS), gender equality, dan hal-hal kemanusiaan lainnya tentu akan mudah dalam membuat ekonomi kita menjadi stabil, bahkan hal ini nantinya akan berdampak terhadap pendapatan perkapita dan berpotensi untuk surplus.

Tidak perlu sibuk dengan teori-teori ekonomi yang membingungkan namun tak menjangkau esensi, sederhana saja namun terbukti, itulah kiranya yang penulis sampaikan kepada pihak BI.

Sebelum itu, penulis sendiri mengapresiasi pihak BI yang memberikan kredit kepada para calon pengusaha dengan aturan-aturan lingkungan seperti sustainable development, kemudian masalah yang menyinggung hal lainnya.

Penulis juga berharap BI terus menggalakkan hal ini, jika perlu wajib bagi sang pemohon untuk menanam pohon untuk menangani kerusakan lingkungan yang sekarang bukan hanya menjadi masalah nasional, namun bahkan internasional. 

Untuk partai yang dapat dicap "oligarkhi" semestinya berkaca diri. Maksudnya adalah, tujuan partai sebenarnya apa? Mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya atau mencerdaskan kehidupan berdemokrasi?

Saat ini KPU sendiri hanya sibuk dalam urusan teknis seperti persiapan kotak suara, kertas suara, dan hal teknis lainnya. Namun KPU lupa tugas esensinya yaitu mencerdaskan kehidupan berdemokrasi. Sehingga penulis juga hendak memberi saran kepada partai oligarkhi agar sadar dan mari bersama-sama untuk meningkatkan kecerdasan dalam berdemokrasi. Karena hal ini juga berpengaruh terhadap kestabilan ekonomi. 

Terakhir, adanya rasa malas, plagiasi, hoaks, panik, gelisah, cemas, marah-marah adalah patologi sosial yang nyata hari ini. Masyarakat kita ini masih rendah terhadap minat membaca, sehingga yang terjadi adalah malasnya berpikir yang bermuara pada plagiasi. Sehingga masyarakat yang seharusnya memproduksi pengetahuan, justru membuat klaim atas pengetahuan yang sebenarnya tak memberikan kontribusi apapun.

Fahrul Rozi
Mahasiswa Jurusan Filsafat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun