Tulisan ini sejatinya bukan untuk membahas isu yang sempat membuat satu bagian ruas Jalan Teuku Nyak Arief tertutup akibat menumpuknya para mahasiswa. Sejak Selasa yang lalu (9 April) hingga hari Rabu mereka terus mengupayakan agar aspirasi masyarakat yang terdampak akibat dikeluarkannya izin operasi produksi itu didengarkan langsung oleh Plt. Gubernur Aceh sekarang.
Menurut pengakuan pihak demonstran, mereka telah sembilan kali meminta agar dapat bertemu langsung dengan orang nomor satu di Aceh saat ini tapi selalu kandas. Penolakan atas keberadaan penambangan emas yang dimaksud bukannya tidak berdasar, karena sesuai dengan keterangan resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ternyata ada lebih dari 6 hektar area operasi produksi yang belum memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) padahal berada dalam kawasan hutan lindung.
Memang sempat terjadi gesekan dengan aparat pengamanan di hari pertama aksi, tapi para mahasiswa ini tetap menunjuk sikap santun dan menghormati aparat pengamanan yang notabene lebih tua dari mereka. Tampaknya adik-adik mahasiswa ini lebih dewasa dalam wawasan politiknya dibandingkan dengan usianya.
Tapi ketika azan berkumandang, kedua belah pihak yang saling berhadap-hadapan ini sepakat menghentikan sejenak aktifitasnya dan bersama-sama melangkahkan kaki ke Surau Kantor Gubernur Aceh itu. Unik, dan begitu menyejukkan hati. Benar-benar goresan sejarah baru aksi mahasiswa, khususnya di Aceh.
Dalam Surau itu mereka berdiri saling berdampingan, berusaha membentuk saf yang sempurna untuk menunaikan kewajiban mereka pada ilahi. Begitulah seharusnya, teladan bagi semua pihak akan makna budaya politik dalam demokrasi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H