Pat ujeun hana pirang? Pat prang tan reda? Adakah hujan yang tak pernah reda? Adakah perang yang tak pernah berhenti? Itulah salah satu peribahasa orang Aceh yang pernah diungkapkan oleh Bapak Hamid Awaluddin, mantan Menteri Hukum dan HAM dalam Kabinet Indonesia Bersatu, sewaktu penekenan kesepakatan perdamaian MoU Helsinki di Finlandia.
Ungkapan itu dapat dimaknai sebagai ajakan untuk terus berpikir positif karena setiap keadaan pasti akan berubah. Jangan terlena ketika diatas, dan jangan putus asa ketika dibawah.
Setiap masa ada kisahnya, setiap orang ada gilirannya. Setelah kesempitan akan ada kemudahan, setelah kemudahaan pun akan ada kesempitan.
Dan itulah yang tampak pada tampilan alun-alun kota Banda Aceh, Blang Padang di sore hari, khususnya lagi pada hari ahad setiap pekannya. Apabila mesin waktu diputar mundur hingga bulan April 1873, maka kita akan menyaksikan lebih dari 3000 tentara Belanda tunggang langgang membawa lari jasad Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Khler.
Sang Jenderal terkena peluru penembak jitu pasukan Aceh ketika hendak menyerbu Mesjid Raya Baiturrahman yang disangkanya Istana Sultan Aceh. Blang Padang ketika itu menjadi saksi akan kepahlawanan pejuang Aceh dalam mempertahankan tanah airnya.
Seiring dengan kebutuhan akan hiburan murah bagi keluarga dengan ekonomi menengah di Banda Aceh, maka para pengusaha yang jeli akan kesempatan bisnis ini memanfaatkannya sebagai 'modus' jasa penyewaan perangkat mewarnai.
Bukankah aktifitas mewarnai merupakan kegemaran anak-anak usia kanak-kanak hingga sekolah dasar? Bahkan tak jarang juga kakak-kakak dan ayah ibu mereka yang ikut 'terprovokasi' untuk mewarnai bersama.
Tak ketinggalan para pedagang asongan yang menjajakan Mie Aceh, kacang-kacangan dan telur puyuh rebus ikut mencari peruntungan dari keramainan ini.