Mohon tunggu...
Fahrul Rizal bin Iskandar
Fahrul Rizal bin Iskandar Mohon Tunggu... Administrasi - Peminat Sejarah Kuno

Dilahirkan dan menyelesaikan pendidikan sampai lulus SMA di Banda Aceh, melanjutkan pendidikan S1 Teknik Perminyakan di Yogyakarta kemudian memperoleh kesempatan kembali ke Banda Aceh untuk menyelesaikan S2 Ilmu Ekonomi dengan beasiswa Bappenas. Peminat sejarah peradaban manusia, memiliki perhatian khusus pada sejarah peradaban Islam dan Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sanggamara, Sebuah Doa Tolak Bala

24 Januari 2019   16:14 Diperbarui: 24 Januari 2019   16:18 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sanggamara membahas setidaknya  sebelas tema dalam pembahasannya, mulai dari tentang tujuan hidup, pendidikan anak, kewajiban menuntut ilmu, tata cara penyelesaian perselisihan dengan musyawarah, hingga hukum diyat akibat perselisihan yang menyebabkan pertumpahan darah pun dirincikan dalamnya. 

Tujuannya tidak lain agar jangan sampai sebuah perselisihan menjadi membesar, kemudian melahirkan kemungkaran yang lebih besar pula. Namun demikian Sanggamara bukan dimaksudkan untuk memadamkan semangat perjuangan masyarakat Aceh akan penindasan penjajah Belanda. Akan tetapi mengingatkan kembali akan dasar-dasar kearifan lokal yang telah tersingkirkan selama perjuangan melawan penjajahan. 

Seperti dimaklumi oleh para sejarawan bahwa Pemerintah Belanda dalam kebijakannya selama proses aneksasi Kesultanan Aceh sangat dipengaruhi oleh pemikirin Snouck Hurgronje, seorang anthoprolog Belanda yang berhasil berbaur dengan masyarakat Aceh.

Dr. Yusra Habib Abdul Gani, SH dalam buku beliau yang diberi judul: "Aceh Tersungkur: Suatu Analisis dan Critique Sejarah 1901-1950" mengemukakan bahwa Snouck dalam laporannya kepada Pemerintah Belanda menyarankan bahwa agar dapat ditaklukkan maka bangsa Aceh itu wajib dipukul, dianiaya, dan dihina hingga sesakit-sakitnya supaya Belanda dapat menghancurkan perasaan kemuliaan orang Aceh sebagai sebuah entitas kebangsaan. 

Pantaslah kemudian serdadu-serdadu Belanda begitu kejam dalam setiap operasinya di Aceh, dan apa yang dilakukan oleh masyarakat Aceh hanya sebagai reaksi terhadap perlakuan lawannya tersebut.

Tetapi sepertinya semangat untuk mengalahkan musuh dengan segala cara sudah mengaburkan tujuan awal dari perlawanan itu sendiri, maka muncullah keresahan bagi para pemerhati sosial seperti Teuku Mansoer dan teman-temannya. 

Dengan semboyan Sanggamara mereka telah menyadarkan kembali para pejuang Aceh akan nilai-nilai moral yang tetap harus dijunjung tinggi walau pada lawan sekalipun. Menjadi tegas itu tidaklah harus buas, melawan kekejaman itu bukan untuk balas dendam, lisan tidak perlu mengumpat saat membantah perkataan musuh, dan tidak perlu menjadi bengis bila hanya untuk disegani. 

Sesuai dengan artinya dari segi bahasa, Sanggamara bermakna menolak malapetaka sehingga bila dinisbatkan pada seseorang sejatinya adalah harapan agar pribadi yang dimaksud menjadi tergerak untuk menolak malapetaka. 

Ternyata pesan-pesan moral Hikayat Sanggamara memang masih sangat relevan dengan keadaan sekarang, dan pantas apabila Kodam IM menyebut para prajuritnya sebagai Prajurit Sanggamara. Bukankah nama itu adalah bagian dari doa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun