Mohon tunggu...
Fahrul Rizal bin Iskandar
Fahrul Rizal bin Iskandar Mohon Tunggu... Administrasi - Peminat Sejarah Kuno

Dilahirkan dan menyelesaikan pendidikan sampai lulus SMA di Banda Aceh, melanjutkan pendidikan S1 Teknik Perminyakan di Yogyakarta kemudian memperoleh kesempatan kembali ke Banda Aceh untuk menyelesaikan S2 Ilmu Ekonomi dengan beasiswa Bappenas. Peminat sejarah peradaban manusia, memiliki perhatian khusus pada sejarah peradaban Islam dan Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar Arti Kelembutan di Kebun Pisang

21 Januari 2019   17:01 Diperbarui: 21 Januari 2019   17:52 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Kebun Pisang (Photo: Dokumen Pribadi)


Pada suatu sore di hari Sabtu, saya sudah membuat janji dengan seorang teman untuk menikmati kopi pagi di kebun kecilnya seluas 350 meter persegi yang terletak tak jauh dari rumahnya, Desa Tanjung, Ingin Jaya, Aceh Besar. Kebetulan hari Sabtu merupakan hari libur bagi kami Aparatur Sipil Negara di Provinsi Aceh yang menerapkan 5 hari kerja dalam satu pekan.

Semula tak terbayangkan oleh saya pribadi akan perubahan tampilan kebun teman yang satu ini, sekarang sudah begitu lebat ditumbuhi pohon pisang dari berbagai jenis. Sebut saja satu persatu, Pisang Kepok, Pisang Raja, Pisang Mas, Pisang Awak, Pisang Ayam, bahkan Pisang Angung yang menjadi ciri khas Kabupaten Lumajang di Pulau Jawa pun ada.

Tak berjauh berbeda dengan kebudayaan lain di Asia Tenggara, pisang juga merupakan salah satu tanaman yang erat hubungannya dengan keseharian masyarakat Aceh. Sekiranya diadakan sebuah perhelatan seperti resepsi perkawinan apalagi kenduri maulid maka pisang tak mungkin dapat dibiarkan absen dari menu yang disajikan.

Kalau mau dilakukan 'sensus' dadakan untuk mendeskripsikan jenis-jenis makanan khas Aceh yang menggunakan pisang maka sebagai responden survei saya akan mengulas dua jenis makanan berikut, yaitu: Bu Leukat Pisang Peungat dan Kuah Beulangong.

Bu Leukat Pisang Peungat, kalau alih bahasa bebasnya kira-kira boleh disebut sebagai "Ketan dengan Kuah Pisang Peungat". Nah, Kuah Pisang Peungat itu sendiri adalah kuah santan manis yang komposisi pelengkapnya berupa nangka tua, ubi kayu, labu merah dan tentunya Pisang Raja. 

Sedangkan Kuah Beulangong bila diterjemahkan kira-kira jadi "Kuah Kuali Besar" yang bahan utamanya adalah daging sapi atau kambing bersama rempah-rempah tertentu yang disertai nangka muda, kemudian tak lupa buah Pisang Kepok muda. Bila sedang beruntung maka akan didapati bagian dalam batang pisang yang telah dicincang halus dalam "Kuah Kuali Besar", dan saat ini jenis pisang yang isi dalamnya cocok untuk Kuah Beulangong ini sudah langka.

Lain lagi dengan jenis Pisang Awak yang memiliki sejarah tersendiri di masa lampau. Pisang ini merupakan makanan yang dipilih oleh masyarakat Aceh untuk makanan pendamping ASI balita sampai dengan saat ini. 

Konon, pada masa lalu apabila seorang keturunan bangsawan hendak melakukan upacara turun tanah bagi anaknya yang baru lahir maka Pisang Awak harus tersedia. Juga dipercaya bahwa Pisang Awak ini memiliki khasiat obat bagi orang dewasa yang terserang penyakit lambung atau mag akut.

Untuk dimaklumi bahwa terakhir saya menyambangi kebun ini kondisinya masih didominasi oleh pohon ubi kayu dan jagung. Oleh karenanya saya jadi bertanya kepada pemilik kebun tentang alasannya untuk mengubah jenis tanaman dikebunnya ini dan memilih pisang sebagai primadonanya. Ternyata beliau memiliki alasan khusus yang memiliki latar belakang filosofi tertentu.

Setelah menyimak penjelasannya maka saya dapat memahami bahwa dahulu kebunnya dipenuhi tanaman yang melambangkan kekerasan seperti ubi dan jagung, sedangkan pisang yang dibudidayakannya saat ini melambangkan kelembutan. Oleh karena saking lembutnya bahkan balita pun dapat mengkonsumsi pisang sebagai makanan pendamping ASI. 

Orang dewasa lansia yang giginya sudah rapuh pun akan sangat sesuai bila panganan hariannya disuguhi pisang. Menggarap tanah dengan menyelanginya dengan tanaman keras dan lembut itu rupanya menjadi penting agar tanah itu tidak jenuh dan menjadi rusak.

Namun demikian mungkin kita jarang menyadari bahwa kelembutanlah yang pada akhirnya akan bertahan melawan kekerasan. Ibarat gigi dan lidah bagi mulut, pada waktu usia muda gigi yang keras boleh jadi akan melukai lidah. Dan lidah pun tidak mungkin membalas menyakiti gigi karena teksturnya yang terlalu lembut untuk mampu melukai.

 Dengan adanya gigi yang keras maka mulut akan mudah mengunyah makanan-makanan lezat yang disukainya. Tapi pada usia senja, gigi yang keras itu akan mulai rontok satu persatu dimulai dari geraham yang paling keras hingga gigi seri yang terdepan. Tinggallah lidah seperti sedia kala, tetap bertahan menemani mulut dengan kelembutannya agar tetap dapat merasakan nikmatnya makanan walaupun sup pisang encer yang hangat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun