Suatu hari Umar mengungkapkan cintanya kepada Rasulullah saw, "Aku mencintaimu lebih dari segalanya, kecuali terhadap diriku sendiri !" Rasulullah balik menukas, "Bahkan terhadap dirimu sendiri!" Segera Umar menyambut, "Bahkan terhadap diriku sendiri, wahai Rasulullah!"
Apa yang dapat dipetik dari dialog singkat ini ? Sesungguhnya, Rasulullah saw ingin mengajarkan kepada umatnya, betapa ananiyah (egoisme) terlalu sering membutakan mata hati kita sehingga mengabaikan terhadap kebenaran yang datang mengetuk. Karenanya, tak ada solusi kecuali memangkas sifat tercela ini hingga ke akar-akarnya, dengan menjadikan kecintaan kita kepada Allah dan Rasul-Nya di atas segalanya.
Kecintaan pada Allah dan Rasul-Nya akan memacu semangat seorang muslim untuk berbuat yang terbaik demi menggapai ridha-Nya. Di sisi lain, ia berfungsi ganda sebagai kendali kongkrit terhadap kemaksiatan. Ia menjadi nafas bagi gerak, kerja dan tindakannya, dan menjadi warna bagi ritme hidupnya. Ibnul Qayyim pernah bertutur dalam Al-Fawaid, " Seorang hamba tetap terputus hubungannya dengan Allah, hingga keinginan dan cintanya terhubung dengan wajah-Nya yang Maha Tinggi. Yaitu mengarahkan cinta kepada-Nya dan hanya menyangkut Diri-Nya tanpa ada satu pun penghalang".
Ramadhan adalah kesempatan emas untuk mengungkapkan cinta kita kepada Allah. Begitu banyak peluang bernilai pahala yang dapat didulang. Kesempatan yang belum tentu datang kembali. Tak heran, seperti dituturkan oleh Ma'ally bin Fadhl, jika generasi awal Islam berdoa selama enam bulan lamanya untuk berjumpa Ramadhan, dan selama enam bulan sesudahnya mereka berdoa agar amalannya pada bulan itu diterima. Karenanya, ungkapkanlah cinta dengan perbuatan, jangan sekadar kata-kata! Wallahu a'lam bishshawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H