Sebagai organisasi Islam modernis pun Muhammadiyah sudah membentuk tradisinya sendiri yang senantiasa dirawat (konservasi) oleh pimpinan atau jamaah Muhammadiyah.
Kita mungkin juga akan bertanya, kenapa NU misalnya mulai mengembangkan Perguruan Tinggi/Universitas, suatu sistem pendidikan modern.
Kenapa misalnya tidak memperbanyak Pondok Pesantren, meskipun saat ini juga mulai marak Pondok Modern, yang terintegrasi dengan pendidikan formal-klasikal.
Tipologi modernis-tradisionalis rasa-rasanya mulai melebur di abad 21 ini. Lagipula, organisasi itu sendiri adalah konsep gerakan dengan struktur hirarkis yang modern.
Meskipun secara struktural, NU masih memberikan posisi khusus pada para Kyai melalui Rois Syuriah. Secara kultural, posisi Kyai termasuk keturunannya Gus/Ning juga masih sangat diistimewakan.
Menuju modernitas
10 tahun kepemimpinan KH. Said Agil Siroj, NU mulai mengembangkan Perguruan Tinggi dan Rumah Sakit. Bahkan Kyai Said bermimpi tiap cabang NU punya kampus dan rumah sakit.
Ini tentu menjadi tantangan tersendiri di tengah kultur NU yang dianggap tradisionalis-patronistik atau kuatnya ketokohan, sementara kultur akademik itu relatif egaliter-dialektis.
Pradana Boy ZTF, salah satu pemikir Islam, menyebut bahwa NU dan Muhammadiyah punya perbedaan kultur yang mencolok.
Menurutnya, Muhammadiyah secara lembaga mungkin mudah saja mendirikan pesantren, tapi kultur pesantrennya belum kuat. Muhammadiyah tidak membudayakan ketokohan seperti halnya NU.
Begitupun sebaliknya, apakah NU bisa survive menyelenggarakan Pendidikan Tinggi? Apakah budaya riset dan dialektika bisa tumbuh dalam kultur NU yang sangat menjunjung tinggi/sami'na wa atho'na pada Kyai?