Nanti mau lanjut SMA kemana? Ada dua jawaban, tidak melanjutkan karena belum tentu ada biaya, sehingga memilih bekerja, atau menikah.
Bekerja atau menikah? Hmm...
Faktanya hal itu masih ada, terutama di daerah yang akses pendidikan menengah ke atas masih sulit, sementara informasi tentang program atau bantuan biaya pendidikan juga minim.
Padahal wajib belajar 12 tahun adalah amanah konstitusi, negara wajib merealisasikannya. Sedih ketika ada yang tidak bisa melanjutkan ke jenjang SMA karena alasan terkendala biaya.
Bagi laki-laki, pilihan paling besarnya mungkin bekerja. Bagi perempuan, selain bekerja ada opsi menikah. Sebab sudah lazim jika dalam pernikahan, laki-laki lebih tua dari perempuan.
Jika laki-laki usia 16 hingga 18 tahun menikah, dianggap masih terlalu kecil, sekalipun sudah mengalami mimpi basah. Namun tidak untuk perempuan, karena dianggap baliqh sebab sudah datang bulan/menstruasi.
Padahal, Prof. Quraish Shihab pernah menjelaskan bahwa Akhil Baliqh itu tidak sekadar kesiapan fisik. Ada akhil, yaitu perlu juga mempersiapkan kematangan pikiran, logika, dan wawasan tentang hidup sebelum masuk dalam jenjang pernikahan.
BKKBN malah memberikan suatu kajian tentang batasan ideal menikah, yaitu 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki.
Jauh lebih maju ketimbang UU No. 16 tahun 2019 tentang perkawinan, yang mana batas usia minimal menikah adalah 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan.
Lantas, jika lulus SMP menikah, apakah usianya sudah mencukupi? Sebagian besar tentu belum. Lulus SMP umumnya masih berusia 15 tahun.
Namun pengajuan dispensasi bisa dilakukan, meski melalui suatu syarat dan tahapan yang ketat. Atau dinikahkan secara sirri dulu. Nikah sirri adalah pilihan paling banyak dilakukan, baru dicatatkan setelah nanti usianya memenuhi syarat UU.
Jika hal itu dilakukan, maka akan terjadi perkawinan usia anak. Ketika ia masih harus mendapatkan hak-haknya sebagai anak.
Maka sebaiknya, pemerintah dari struktur terkecil yaitu RT/RW, Kepala dusun/desa, lurah, camat, dan seterusnya benar-benar mendata, adakah yang tidak bisa melanjutkan SMA karena terkendala biaya?
Namun bagaimana jika si anak sendiri yang minta menikah? Sebab perkembangan pikiran anak sekarang dan dulu memang berbeda. Sekarang akses informasi, baik berupa teks, audio, video, sangatlah mudah. Termasuk akses pada konten dewasa, yang membuat mereka kebelet. Tanpa suatu pertimbangan yang matang.
Memang repot, ketika si anak sendiri yang meminta. Kadang hal itu terjadi, ketika orang tua masih mengharapkan ia lanjut sekolah, namun yang menjalaninya sendiri sudah ogah-ogahan.
Apa yang terjadi ini memang suatu proses panjang, juga karena semakin terbukanya pergaulan. Sehingga, sesuatu yang di luar sekolah jadi lebih menarik ketimbang yang berada di sekolah.
Padahal ada banyak hal yang bisa dilakukan di sekolah, misalnya dengan ikut ekstrakurikuler. Menambahkan jadwal kesibukan anak selain pelajaran. Sebaiknya porsi keduanya berimbang. Selama ini waktu untuk kegiatan ekstrakurikuler sangat sedikit. Sekali seminggu.
Padahal, kegiatan ekstrakurikuler bisa meningkatkan kompetensi siswa, terutama dalam menjalin relasi, bekerjasama, meningkatkan skill, hingga melatih kepemimpinan.
Ekstrakurikuler bisa menjadi pelampiasan positif atas energi fisik dan pikiran anak, dan itu akan sangat menunjang akademik ketika benar-benar diterapkan dengan baik.
Ekstrakurikuler, terutama yang berkaitan dengan peningkatan skill kesenian juga bisa menjadi ruang aktualisasi bagi siswa, mengingat betapa mahalnya jika harus les privat.
Kesadaran untuk meningkatkan kapasitas diri sendiri seharusnya menjadi suatu hal yang dipikirkan oleh para siswa, apalagi yang masih lulus SMP, yang masih harus mengembangkan potensi dirinya.
Blitar, 4 April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H