Mohon tunggu...
Ahmad Fahrizal Aziz
Ahmad Fahrizal Aziz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Blogger

Sekretaris GPMB Kab. Blitar, blog pribadi klik www.jurnalrasa.my.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pentingnya Membaca Cerpen

20 Februari 2016   09:48 Diperbarui: 20 Februari 2016   10:52 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Cerpen harusnya tidak dimaknai sebatas hiburan atau bacaan tambahan untuk mengisi waktu luang. Cerpen sebenarnya cukup penting dalam kaitannya “membangun rasa”. Artinya, kritik terhadap pendidikan yang positivistik, yang hanya membidik otak, pengetahuan yang bersifat repetitif dan berulag-ulang, soal-soal Multiple Choice yang tidak mampu membangun nalar dan empati anak, sebenarnya bisa diimbangi dengan membaca karya sastra, salah satunya membaca cerpen.

Kenapa cerpen? Karena cerpen tergolong bacaan ringan dan bisa diselesaikan dalam sekali baca. Cerpen, selain mengasah nalar, juga mengasa rasa, membangun empati. Orang membaca cerpen, lebih menikmati ceritanya, penokohannya, dan nilai yang ada di dalamnya. Hal-hal lain, seperti informasi-informasi baru, mungkin juga ditemukan.

Jadi ada yang sempat bertanya begini, apa pentingnya membaca cerpen? Tidak menambah pengetahuan. Tentu jawaban semacam itu kurang singkron, karena cerpen memang tidak menawarkan sebuah informasi. Kita mungkin mendapatkan informasi baru, mungkin juga tidak, namun cerpen lebih mengajak kita untuk merasakan sebuah keadaan yang barangkali tak pernah kita rasakan, dan dari situlah kita mendapatkan input baru, feel baru dalam sebuah fenomena, dan itu sangat berpengaruh terhadap cara kita memandang kehidupan.

Sebagai contoh, cerpen berjudul “Penggali Pasir” yang pernah ditulis Masdhar Zainal. Dalam cerpen itu, saya mendapatkan beberapa informasi baru, termasuk bagaimana kondisi para penggali pasir yang menggunakan alat-alat manual. Tapi lebih dari itu, kita bisa merasakan betapa perjuangan mereka untuk hidup. Penggali pasir yang harus bertaruh nyawa demi hidup. Dengan bahasa bercerita khas cerpen, dengan diksi yang apik, kita seolah-olah terhanyut dalam ceritanya.

Memang sama halnya dengan menonton film atau sinetron, tapi bedanya, ketika kita membaca cerpen, otak kita secara aktif membangun adegannya sendiri, menantang imajiansi kita. Hubungannya tentu saja pada cara kita melihat kehidupan. Tidak ada yang hitam-putih, tidak mudah menjudge, akan mampu berempati, akan mampu melihat sisi lain dari banyak hal dalam hidup ini, karena kemampuannya berimajinasi.

Penting? Bagi saya sangat penting, karena kita tengah hidup di era digital yang segalanya serba didangkalkan. Orang bisa marah-marah melalui sosial media pada sesuatu yang sebenarnya ia sendiri belum begitu memahaminya. Orang bisa maki-maki orang lain, tokoh, dsb padahal dia sendiri belum tahu duduk perkaranya dan mungkin juga tidak kenal siapa yang ia maki-maki tersebut.

Kenapa bisa terjadi? Tentu jawabannya bisa panjang, tapi salah satunya karena minimnya empati. Kalau orang berempati dengan orang lain, termasuk dengan orang yang ter-bully sekalipun, dia tidak akan dengan mudah melakukan hal yang sama. Kemampuan berempati, adalah kemampuan merasa, dalam bahasa jawa ada pepatah “Ojo rumongso iso, tapi iso’o rumongso”.. jangan merasa bisa, tapi bisalah merasa.

Merasa bagaimana jikalau kita berada di posisi orang lain. kemampuan merasa itu bisa dipupuk dengan banyak cara, salah satu yang paling sederhana dan bisa dilakukan siapapun, adalah membaca cerpen. Cobalah membaca cerpen. Hayati dan nikmati. Membaca cerpen tidaklah membosankan. Percayalah.

 

Blitar, 20 Februari 2016

A Fahrizal Aziz

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun