Sebagaimana yang kita tahu, kebiasaan cut and paste menjadi marak di tengah budaya digital. Orang dengan santai menggunakan persepsi orang lain atau kelompok, menjadi persepsi dirinya atau sekurang-kurangnya, menjadi legitimasi atas cara berfikirnya. Menurut Prof. Bambang Sugiharto, Dosen Filsafat Unpar, mungkin itu sejenis fenomena dimana seseorang hampir tidak mempunyai gagasan pribadi, yang berujung pada hilangnya identitas personalnya.
Hal itu pernah diungkapkan Immanuel Kant dalam bukunya Beantwotung der frage : was ist Aufkarung, bahwa eropa berhasil mencapai titik kebangkitan karena adanya pencerahan. Pencerahan yang dimaksud adalah keberanian individu untuk berfikir. Kemampuan individu untuk berfikir itulah wujud dari kedewasaan peradaban karena tidak lagi bersandar pada dogma gereja yang terbukti, selama bertahun-tahun menidurkan eropa dari kemajuan.
Berani berfikir sendiri (Sapere Aude!) menjadi sangat menakutkan mengingat kuatnya otoritas gereja kala itu. Dimana orang lebih memilih diam atau taqliq daripada bersuara, mengingat kasus yang terjadi pada Galileo Galilei yang dihukum mati karena memiliki statement yang berbeda dengan gereja terkait bentuk Bumi.
Untuk itu menurut Marmaduke Pitckal, Barat menjadi maju pesat setelah pengaruh agama (dalam hal ini agama-agama gereja) mulai memudar. Hal yang berkebalikan justru terjadi pada Peradaban Islam, katakanlah Abbasiyah, dimana kemajuan Abbasiyah justru ditandai dengan keberanian para cendekiawannya, mengawinkan tradisi filsafat Yunani kuno (Stoa) dengan Al Qur’an. Artinya, Islam tidak mungkin menemukan Peradabannya sendiri ketika mereka tidak menjadikan Al Qur’an sebagai basis sumber Ilmu.
Hal yang belum pernah terjadi pada Agama lain. Dalam satu peradaban besar, kita bisa mendapati nama-nama seperti Al Khawarizm, Jabr Al Hayyan, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, selain sebagai Matematikawan, Fisikawan, Ahli Kedokteran, Sosiolog hingga Filosof, tapi juga sebagai Agamawan, karena dengan berani menggali teks-teks ayat suci dan ternyata mampu beradaptasi dengan dengan baik.
Identitas
Ketika muncul sebuah isu, terutama isu sentral, kita sering kali menyuarakan sesuatu yang sebenarnya bukan pendapat atau persepsi kita. Kita kerap kali berpendapat atas nama kelompok A, B, C dimana kita aktif di dalamnya. Cut and paste tersebut tidak masalah ketika misalkan, kita menjadikan itu sebagai argumentasi tambahan atas pendapat yang kita miliki. Meski kita berada di komunitas A,B,C namun kita tetap memiliki ruang kemandirian dalam beropini.
Karena betapapun, diluar identitas kita sebagai Bangsa, warga, anggota ormas, komunitas dll, kita adalah individu yang memiliki hak untuk bersuara. Sebagaimana kata Kant, bahwa pencerahan eropa itu bertumpu pada keberanian berfikir, dan keberanian untuk keluar dari identitas golongan yang mungkin saja bagian dari black campain atau misi tertentu yang kita tidak sengaja turut serta mendukungnya.
Malas berfikir, malas menelaah, itulah gejala kemunduran peradaban yang utama. Lebih jauh, itu membuat seseorang kehilangan identitas dirinya sendiri. Siapa aku? Jawabannya bukan aku sebagai individu, tapi aku sebagai identitas sosialnya, aku sebagai kelompok ini, anggota organisasi ini, komunitas ini, dll.
Lebih lanjut, hilangnya identitas ini akan menimbulkan chaotic (kekacauan) dalam dirinya yang menghilangkan kejernihan berfikirnya sebagai individu. Gejala paling menakutkan adalah fanatisme. Fanatisme mempersempit cara berfikir seseorang, melihat benar-salah tidak dalam perspektif yang luas, namun hanya terbatas pada kelompoknya.
Maka tidak heran ketika kita melihat sekelompok ormas yang selalu berbuat onar, bahkan tega menyakiti demi menegakkan kebenaran. Kebenaran apa? Kebenaran atas apa yang diyakini kelompoknya. Rata-rata pemikiran mereka seragam. Para Jihadis misalkan, sudah tidak perduli lagi apakah secara fiqh caranya itu benar atau salah, yang penting dia menyakini itu sebagai kebenaran absolut.
Akhirnya kita kembali ke budaya barbarik, budaya yang isinya hanya fanatisme, kemarahan, dan kemalasan berargument. Budaya yang isinya hanya bertengkar satu salam lain. Saling membunuh, menindas, serakah kekuasaan, dll. Makanya Nabi Muhammad SAW turun untuk menyempurnakan Akhlak (Innama Buistu li Utamimal Makarimal Akhlak).
Budaya cut and paste tidak sesederhana mencuri gagasan orang lain, atau mengatasnamakan gagasan orang lain sebagai gagasan kita, meski kita tidak begitu memahaminya. Tapi budaya cut and paste lebih jauh bisa menghilangkan kejernihannya sebagai individu, membuat seseorang kehilangan identitas pribadinya sebagai mahluk, yang kata Al Qur’an, dituntut untuk selalu Iqra’ (membaca), Ta’kilun, Tatafakkarun (berfikir) dan sebagainya, hingga menjadi generasi Ulul Albab.
Ulul Albab, dalam terjemahan Bahasa Indonesia hanya diartikan orang-orang berfikir. Namun dalam Bahasa Inggris, Ulul Albab diartikan sebagai orang yang tercerahkan atau orang-orang yang bijaksana. Kemandekan berfikir, taqliq buta, hingga budaya cut and paste itu bisa menjadi penghambat utama peradaban.
Jika misalkan muncul sebuah isu, dan kita bersuara keras terhadapnya, coba kita merefleksi ulang. Apakah itu saya yang berbicara, ataukah identitas sosial saya? Maka sebelum melangkah lebih jauh, adakalanya kita menjawab pertanyaan sederhana ini : Siapakah diri kita?
Blitar, 14 Januari 2016
A Fahrizal Aziz
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H