Mohon tunggu...
Ahmad Fahrizal Aziz
Ahmad Fahrizal Aziz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Blogger

Sekretaris GPMB Kab. Blitar, blog pribadi klik www.jurnalrasa.my.id

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi dan ‘Ekosistem’ Politik 10 Tahun kedepan

6 Januari 2016   06:06 Diperbarui: 6 Januari 2016   07:33 1480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah dilantik menjadi Presiden RI Periode 2014-2019, para analis politik langsung menyebut jika Jokowi adalah Presiden terlemah dalam sejarah Indonesia. Lemah dalam arti, bukan tokoh sentral Partai. Bahkan Jokowi disebut masih lebih lemah ketimbang Gus Dur, mengingat Gus Dur adalah tokoh sentral PKB plus Ulama Kharismatik kala itu. 

Tentu saja, analisis para pengamat itu didasarkan pada tradisi politik sebelumnya, serta konstelasi yang sering terjadi antar lembaga baik Eksekutif dan Legislatif. Salah satu pertimbangannya, 10 tahun terakhir dibawah kepemimpinan SBY, yang notabene tokoh sentral dan memiliki 60% lebih kekuatan Parlemen. Artinya, banyak yang khawatir jika Jokowi akan sulit memimpin bangsa Indonesia dengan posisi yang sedemikian rupa. 

Tapi kita juga tidak bisa menafikan ekspektasi publik yang sedemikian besarnya. Kekuatan publik itu tentu saja harus dipertimbangkan. Secara garis besar, terpilihnya Jokowi menjadi Presiden menjadi semacam tradisi baru dalam perpolitikan kita. Jika selama ini figur yang kuat selalu memiliki posisi strategis di dalam Parpol, atau setidaknya memiliki kapital yang kuat, sosok Jokowi tidak berada diantara keduanya. 

Terpilihnya Jokowi sebagai Presiden tersebut membuat postur kementerian yang selama ini dipenuhi kader parpol, sedikit lebih bervariasi. Bahkan, berdasar survey berbagai lembaga, menteri non parpol dinilai memiliki kinerja yang tak kalah baik. Bahkan prosentasenya lebih tinggi ketimbang kader parpol. 

Tapi yang paling menarik, terpilihnya Jokowi sebagai Presiden karena mengalahkan beberapa nama yang sudah jauh-jauh hari memperkenalkan diri bahkan mendeklarasikan akan maju dalam pilpres. Mereka yang mendeklarasikan diri tersebut adalah tokoh penting partai dan tentu saja memiliki kapital yang kuat. Bahkan beberapa masuk dalam jajaran orang terkaya di Indonesia. Beberapa, berdasarkan audit, kekayaannya diatas angka 1 Triliun. 

Pertanyaannya, bagaimana bisa tokoh-tokoh yang punya pengaruh kuat di politik, punya kapital yang besar, dan punya basis massa yang jelas, katakanlah kader dan simpatisannya, gagal menuju kursi RI 1 bahkan sekedar menjadi calon saja tidak bisa. 

Jika spekulasinya adalah kekuatan uang (the power of money), tentu kurang logis karena yang berambisi pun adalah tokoh yang punya kapital besar bahkan jaringan media yang besar nan berpengaruh. 

Begitupun dengan kemenangan Jokowi, tentu tidak serta merta karena mesin partai atau kader plus simpatisan partai yang jika dikalkulasi, masih kalah besar ketimbang kubu Prabowo. 

Tentu kita tidak boleh lupa bahwa diluar Partai, Jokowi didukung oleh Kekuatan Artis, Seniman, serta anak-anak muda kreatif yang secara politik tidak memiliki hubungan vertikal dengan Jokowi maupun Partai pendukung. Dukungan itu ditambah dengan hadirnya sosial media yang bisa membuat orang dikenal tanpa harus mengeluarkan dana besar. 

Katakanlah, Suara dari basis pendukung Slank yang kerap disebut Slanker. Slanker termasuk salah satu fans yang cukup besar di Indonesia. Belum lagi dukungan dari Artis-artis lain yang bisa jadi juga diikuti oleh fans mereka yang jumlahnya cukup signifikan. Itu belum termasuk dukungan Para Seniman, Penulis, dan Creator lain yang ikut berkampanye, tidak dengan uang, tapi dengan karya-karya kreatif. 

Selain mesin Partai, Jokowi dimenangkan oleh itu semua. Kekuatan Politik yang susah terbaca namun menentukan. Kekuatan Politik non parpol itu terus bergerak dan menjadi kekuatan penyeimbang bahkan melebihi para penyandang modal. Apalagi dengan fasilitas media sosial yang memungkinkan siapapun mengirimkan berbagai kontent mulai dari tulisan, gambar, hingga video secara gratis. 

Jadi, Pilpres 2014 yang lalu tidak hanya kompetisi antara PDIP dan Gerindra beserta Partai Pendukungnya. Tidak hanya kompetisi antara Jokowi dan Prabowo. Tapi lebih dari itu, yang menjadi arus politiknya adalah kompetisi antara kekuatan ide/karya Versus kekuatan modal. Dua kubu memiliki dua kekuatan itu. 

Kalau dalam Politik kovensional seseorang yang berkompetisi dilihat dari kekuatan modal yang dia miliki, karena modal itu kemungkinan digunakan untuk iklan di media cetak dan elektronik, serta untuk pasang reklame, cetak pamflet, banner, kaos, dll. Maka, mulai bergerak cara baru, yaitu melalui kampanye kreatif di sosial media yang pengaruhnya pun tidak kalah hebat. 

Apalagi, sekarang banyak yang tidak bersimpati dengan cara kampanye konvensional. Reklame di jalan-jalan misalkan, alih-alih ingin memunculkan daya tarik, justru memunculkan beragam kritik. Seperti merusak keindahan kota, memaku pohon, dll. Belum lagi iklan di televisi yang menghabiskan dana besar. Bahkan biaya iklannya saja bisa 10x gaji pokoknya sebagai pejabat. 

Belakangan ini, kekuatan publik yang digerakkan dalam berbagai cara, termasuk di sosial media bahkan bisa mendesak Presiden untuk tidak melantik BG sebagai Kapolri, meski pimpinan KPK akhirnya bisa “diringkus” dengan berbagai kasus lama. Terbaru, termasuk mengundurkan dirinya SN dari kursi DPR. 

Sekarang dan setidaknya, 10 tahun kedepan, akan banyak sekali pemilih pemula. Anak-anak muda yang main social media mulai menjadi partisipan politik. Pilpres 2014 bisa menjadi awal mula dari bergesernya “Ekosistem Politik” yang sebelumnya menjadikan tokoh parpol dan pemilik modal sebagai “Raja Hutan” kini mulai tidak lagi. 

Maka sangat bisa dimaklumi jika Ahok berani keluar dari Parpol, karena bisa jadi dalam pembacaan politiknya, Arus Politik di masa yang akan datang terletak pada figuritas dan atensi Publik. 

Bukan tidak mungkin kata-kata dosen Filsafat UI Rocky Gerung, bahwa Publik harus menjadi Produsen dalam kontestasi politik, benar-benar akan terjadi. Jadi, rakyat sendirilah yang menciptakan figurnya. 

Tahun 2014 yang lalu, sebenarnya Partai Demokrat bisa memulai trend tersebut dengan peserta kovensinya. Dengan mengusung Dahlan Iskan misalkan. Kekuatan Dahlan Iskan bukan di Partai Demokrat, melainkan di Paguyuban Demi Indonesia. Begitupun dengan Anies Baswedan dengan Gerakan turun tangan yang digagas. 

Orang mendukung Jokowi tentu bukan semata karena kader PDIP, tapi karena figur Jokowi itu sendiri. Begitu pun ketika orang simpati dengan Tri Rismaharini, apalagi dengan Ridwan Kamil, Nurdin Abdullah, Azwar Anas, atau Yoyok Sudibyo. 

Figur yang kuat yang disertai dengan ide cemerlang dan dukungan publik yang masif akan menjadi kekuatan tersendiri di tahun-tahun mendatang. Di kabinet saat ini, nama Rizal Ramli nampak begitu disorot. Sama disorotnya dengan sosok Sri Mulyani dan Dahlan Iskan di era SBY. 

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan, Jokowi bisa menjadi awal dari political culture kita. Bahwa Political Power tidak hanya didapat dari Kapital yang kuat, tapi juga dari figur dan ide yang dia usung. Karena mengawali pergeseran budaya, maka gesekan keras memang selalu terjadi. Hujatan, cacian dan fitnah menjadi bumbu-bumbu tersendiri. 

Tinggal dimana kita menempatkan diri. Menjadi tetap kritis dan optimis, menjadi sinis dan pesimistik, atau sekedar haters yang suka menertawakan sesuatu tanpa menawarkan apapun. Karena mau tidak mau, suka tidak suka, kita semua adalah bagian dari “Ekosistem Politik” itu. (*) 

Blitar, 4 Januari 2015

A Fahrizal Aziz

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun