Jadi, Pilpres 2014 yang lalu tidak hanya kompetisi antara PDIP dan Gerindra beserta Partai Pendukungnya. Tidak hanya kompetisi antara Jokowi dan Prabowo. Tapi lebih dari itu, yang menjadi arus politiknya adalah kompetisi antara kekuatan ide/karya Versus kekuatan modal. Dua kubu memiliki dua kekuatan itu.
Kalau dalam Politik kovensional seseorang yang berkompetisi dilihat dari kekuatan modal yang dia miliki, karena modal itu kemungkinan digunakan untuk iklan di media cetak dan elektronik, serta untuk pasang reklame, cetak pamflet, banner, kaos, dll. Maka, mulai bergerak cara baru, yaitu melalui kampanye kreatif di sosial media yang pengaruhnya pun tidak kalah hebat.
Apalagi, sekarang banyak yang tidak bersimpati dengan cara kampanye konvensional. Reklame di jalan-jalan misalkan, alih-alih ingin memunculkan daya tarik, justru memunculkan beragam kritik. Seperti merusak keindahan kota, memaku pohon, dll. Belum lagi iklan di televisi yang menghabiskan dana besar. Bahkan biaya iklannya saja bisa 10x gaji pokoknya sebagai pejabat.
Belakangan ini, kekuatan publik yang digerakkan dalam berbagai cara, termasuk di sosial media bahkan bisa mendesak Presiden untuk tidak melantik BG sebagai Kapolri, meski pimpinan KPK akhirnya bisa “diringkus” dengan berbagai kasus lama. Terbaru, termasuk mengundurkan dirinya SN dari kursi DPR.
Sekarang dan setidaknya, 10 tahun kedepan, akan banyak sekali pemilih pemula. Anak-anak muda yang main social media mulai menjadi partisipan politik. Pilpres 2014 bisa menjadi awal mula dari bergesernya “Ekosistem Politik” yang sebelumnya menjadikan tokoh parpol dan pemilik modal sebagai “Raja Hutan” kini mulai tidak lagi.
Maka sangat bisa dimaklumi jika Ahok berani keluar dari Parpol, karena bisa jadi dalam pembacaan politiknya, Arus Politik di masa yang akan datang terletak pada figuritas dan atensi Publik.
Bukan tidak mungkin kata-kata dosen Filsafat UI Rocky Gerung, bahwa Publik harus menjadi Produsen dalam kontestasi politik, benar-benar akan terjadi. Jadi, rakyat sendirilah yang menciptakan figurnya.
Tahun 2014 yang lalu, sebenarnya Partai Demokrat bisa memulai trend tersebut dengan peserta kovensinya. Dengan mengusung Dahlan Iskan misalkan. Kekuatan Dahlan Iskan bukan di Partai Demokrat, melainkan di Paguyuban Demi Indonesia. Begitupun dengan Anies Baswedan dengan Gerakan turun tangan yang digagas.
Orang mendukung Jokowi tentu bukan semata karena kader PDIP, tapi karena figur Jokowi itu sendiri. Begitu pun ketika orang simpati dengan Tri Rismaharini, apalagi dengan Ridwan Kamil, Nurdin Abdullah, Azwar Anas, atau Yoyok Sudibyo.
Figur yang kuat yang disertai dengan ide cemerlang dan dukungan publik yang masif akan menjadi kekuatan tersendiri di tahun-tahun mendatang. Di kabinet saat ini, nama Rizal Ramli nampak begitu disorot. Sama disorotnya dengan sosok Sri Mulyani dan Dahlan Iskan di era SBY.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan, Jokowi bisa menjadi awal dari political culture kita. Bahwa Political Power tidak hanya didapat dari Kapital yang kuat, tapi juga dari figur dan ide yang dia usung. Karena mengawali pergeseran budaya, maka gesekan keras memang selalu terjadi. Hujatan, cacian dan fitnah menjadi bumbu-bumbu tersendiri.