Setelah dilantik menjadi Presiden RI Periode 2014-2019, para analis politik langsung menyebut jika Jokowi adalah Presiden terlemah dalam sejarah Indonesia. Lemah dalam arti, bukan tokoh sentral Partai. Bahkan Jokowi disebut masih lebih lemah ketimbang Gus Dur, mengingat Gus Dur adalah tokoh sentral PKB plus Ulama Kharismatik kala itu.Â
Tentu saja, analisis para pengamat itu didasarkan pada tradisi politik sebelumnya, serta konstelasi yang sering terjadi antar lembaga baik Eksekutif dan Legislatif. Salah satu pertimbangannya, 10 tahun terakhir dibawah kepemimpinan SBY, yang notabene tokoh sentral dan memiliki 60% lebih kekuatan Parlemen. Artinya, banyak yang khawatir jika Jokowi akan sulit memimpin bangsa Indonesia dengan posisi yang sedemikian rupa.Â
Tapi kita juga tidak bisa menafikan ekspektasi publik yang sedemikian besarnya. Kekuatan publik itu tentu saja harus dipertimbangkan. Secara garis besar, terpilihnya Jokowi menjadi Presiden menjadi semacam tradisi baru dalam perpolitikan kita. Jika selama ini figur yang kuat selalu memiliki posisi strategis di dalam Parpol, atau setidaknya memiliki kapital yang kuat, sosok Jokowi tidak berada diantara keduanya.Â
Terpilihnya Jokowi sebagai Presiden tersebut membuat postur kementerian yang selama ini dipenuhi kader parpol, sedikit lebih bervariasi. Bahkan, berdasar survey berbagai lembaga, menteri non parpol dinilai memiliki kinerja yang tak kalah baik. Bahkan prosentasenya lebih tinggi ketimbang kader parpol.Â
Tapi yang paling menarik, terpilihnya Jokowi sebagai Presiden karena mengalahkan beberapa nama yang sudah jauh-jauh hari memperkenalkan diri bahkan mendeklarasikan akan maju dalam pilpres. Mereka yang mendeklarasikan diri tersebut adalah tokoh penting partai dan tentu saja memiliki kapital yang kuat. Bahkan beberapa masuk dalam jajaran orang terkaya di Indonesia. Beberapa, berdasarkan audit, kekayaannya diatas angka 1 Triliun.Â
Pertanyaannya, bagaimana bisa tokoh-tokoh yang punya pengaruh kuat di politik, punya kapital yang besar, dan punya basis massa yang jelas, katakanlah kader dan simpatisannya, gagal menuju kursi RI 1 bahkan sekedar menjadi calon saja tidak bisa.Â
Jika spekulasinya adalah kekuatan uang (the power of money), tentu kurang logis karena yang berambisi pun adalah tokoh yang punya kapital besar bahkan jaringan media yang besar nan berpengaruh.Â
Begitupun dengan kemenangan Jokowi, tentu tidak serta merta karena mesin partai atau kader plus simpatisan partai yang jika dikalkulasi, masih kalah besar ketimbang kubu Prabowo.Â
Tentu kita tidak boleh lupa bahwa diluar Partai, Jokowi didukung oleh Kekuatan Artis, Seniman, serta anak-anak muda kreatif yang secara politik tidak memiliki hubungan vertikal dengan Jokowi maupun Partai pendukung. Dukungan itu ditambah dengan hadirnya sosial media yang bisa membuat orang dikenal tanpa harus mengeluarkan dana besar.Â
Katakanlah, Suara dari basis pendukung Slank yang kerap disebut Slanker. Slanker termasuk salah satu fans yang cukup besar di Indonesia. Belum lagi dukungan dari Artis-artis lain yang bisa jadi juga diikuti oleh fans mereka yang jumlahnya cukup signifikan. Itu belum termasuk dukungan Para Seniman, Penulis, dan Creator lain yang ikut berkampanye, tidak dengan uang, tapi dengan karya-karya kreatif.Â
Selain mesin Partai, Jokowi dimenangkan oleh itu semua. Kekuatan Politik yang susah terbaca namun menentukan. Kekuatan Politik non parpol itu terus bergerak dan menjadi kekuatan penyeimbang bahkan melebihi para penyandang modal. Apalagi dengan fasilitas media sosial yang memungkinkan siapapun mengirimkan berbagai kontent mulai dari tulisan, gambar, hingga video secara gratis.Â