Apa itu idealisme mahasiswa? Seorang mahasiswa semester enam mengajukan pertanyaan di forum diskusi online. Pertanyaan itu, meskipun terdengar familiar, tapi ternyata sukar di jawab. Bahkan para peresponnya, yang sebagian tengah dilingkupi emosi karena melihat adanya segelintir mahasiswa mendapat jamuan makan dari Presiden tepat ketika isu turun ke jalan bergulir, juga tidak menjawabnya secara spesifik dan justru mengajukan pertanyaan balik : Bagaimana mungkin mahasiswa semester enam masih bertanya soal idealisme?
Sebelumnya, saya pun sempat melihat beberapa postingan di sosial media, baik mahasiswa biasa atau bahkan public figure, tentang ulah segelintir mahasiswa yang menemui presiden dan berfoto bersama. Ada yang menyebut mereka menggadaikan idealisme-nya, bahkan yang lebih kasar, ada yang menyebut mereka sebagai “pelacur Intelektual”. Salah satu wakil mahasiswa yang paling mendapat sorotan adalah ketua BEM UI, yang bahkan fotonya tersebar dimana-mana dengan tambahan deskripsi : hati-hati kalau kelak dia jadi pejabat.
Lebih lanjut, mahasiswa semester enam itu pun mengajukan pertanyaan lagi. Apakah dengan menghadiri undangan presiden, ikut jamuan makan malam, dan berfoto bersama, cukup menjadi bukti bahwa idealisme-nya telah runtuh?
Ia pun menjelaskan keberadaan dirinya sebagai mahasiswa bidik misi. Mahasiswa yang kuliah dan kebutuhan hidupnya dibiayai pemerintah selama delapan semester penuh. Jika dinominalkan dalam bentuk rupiah, tentu lebih dari sekedar sajian makan malam. Ia pun tidak akan menjadi Mahasiswa jika tidak mendapatkan topangan biaya dari negara. Maka, jika mahasiswa yang kuliahnya ditanggung negara, dan kemudian tidak ikut aksi demo atau memprotes pemerintah, bisakah ia disebut tidak memiliki idelisme?
Tentu tidak sesederhana itu, dan semestinya bukan nominal yang menjadi perdebatan. Tapi lebih secara esensial, tentang posisi strategisnya sebagai mahasiswa. Menurutnya, makna idealisme yang selama ini ia yakini berbeda dengan idealisme yang belakangan diperbincangkan. Ia tidak bisa seperti kerumunan mahasiswa lain, yang bisa dengan gampang mengkritik rezim. Tapi ia tidak pernah menganggap jika aksi semacam itu salah. Ia hanya tidak bisa bergabung karena ia sadar akan posisinya sebagai “mahasiswa ber-beasiswa”.
Jadi tidak mau mengkritik rezim, tidak mau berdemo, hanya takut kehilangan beasiswa? Mahasiswa macam apa seperti ini? Mendapat pertanyaan itu dia hanya menjawab demikian : Jika tidak mendapatkan beasiswa, maka dia tidak akan menjadi mahasiswa. Ini bukan soal takut atau tidak takut, dia hanya mencoba bersikap realistis atas posisinya saat ini. baginya, negara dan pemerintah adalah dua hal berbeda. Negara adalah tumpah darah, sementara Pemerintah adalah pengelola negara yang bisa berganti setiap lima tahun sekali. Silahkan bagi yang berdemo dan mengkritik, itu adalah cara sebagian orang mengaktualisasikan idealisme-nya.
Baginya, mengaktualisasikan idealisme adalah dengan belajar semaksimal mungkin, berorganisasi, melakukan pengabdian, lulus, menjadi pekerja profesional dibidangnya. karena dengan itu juga ikut membangun negara, setidaknya meringankan beban negara mengurangi jumlah pengangguran dan kemiskinan. Karena profesionalisme itulah, ketika sewaktu-waktu negara membutuhkan sumbangsih-nya, ia akan bisa bekerja semaksimal mungkin.
Mungkin terdengar pragmatis dan individualistik. Tapi menurutnya, setiap mahasiswa punya caranya masing-masing. Toh, masih lebih banyak mahasiswa yang bahkan bersikap apatis dengan kondisi yang ada. Dan idealisme yang dia yakini itu, adalah salah satu cara untuk ikut berkontribusi kepada negara. Selain rajin kuliah, dia pun juga aktif di organisasi mahasiswa bidik misi, dan sore harinya melakukan pengabdian masyarakat dengan memberikan les gratis kepada anak-anak keluarga kurang mampu.
Jadi, sebenarnya bukan soal mana yang lebih benar dalam mengaktualisasikan idealisme-nya masing-masing. Bagi mahasiswa, menafsirkan makna “agen of change” pun bermacam-macam. Ada yang memaknai “Change” itu bisa terjadi dengan revolusi, turun ke jalan dan mendobrak rezim yang ada. Ada sebagian yang menfasirkan “change” sebagai upaya memberi kontribusi praksis, dimulai dari hal-hal kecil yang bisa dilakukan. Salah satunya dengan melakukan pengabdian masyarakat.
Perbedaan pun juga muncul dalam penyampaian kritik. Ada yang dengan cara demo turun ke jalan, ada yang dengan cara menulis di media massa, ada yang melalui kampanye seperti membuat film dokumenter, pamflet, seminar-seminar, hingga acara budaya dan teatrikal.
Cara-cara tersebut, secara esensial sama. Terlebih, mahasiswa sejak dulu sangat anti terhadap cara berfikir totaliter. Aksi 1998 silam, salah satunya menuntut lengsernya kepemimpinan totaliter yang sudah berkuasa lebih dari 30 tahun. Tentu terlalu tergesa-gesa dan totaliter pula, ketika menilai bahwa mahasiswa yang menghadiri jamuan makan malam presiden itu telah runtuh idealisme-nya dan atau bahkan, telah menjadi “Pelacur Intelektual”, hanya gara-gara berbeda cara penyampaian aspirasinya.
Mungkin itu adalah cara mereka untuk menyampaikan aspirasi, sama dengan yang dilakukan mereka yang turun di jalan. Mana yang lebih efektif dalam mempengaruhi Pemerintah? Entahlah. (*)
Blitar, 24 Mei 2015
A Fahrizal Aziz
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H