Mohon tunggu...
Fahrizal Muhammad
Fahrizal Muhammad Mohon Tunggu... Dosen - Faculty Member Universitas Prasetiya Mulya

Energi Satu Titik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Secarik Kenangan bersama J.D. Parera

1 Mei 2020   12:02 Diperbarui: 1 Mei 2020   13:00 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang pergi dalam kenangan, akan selalu mendapat tempat di hati.

Apa yang terbayang ketika kita mendengar nama Pak Parera? Samakah rasanya mendengarnya dulu ketika kita masih jadi mahasiswanya dengan sekarang ketika kita sudah berjarak dengan beliau? Tentu tidak sama. 

Siapa di antara kita yang bersentuhan langsung dengan beliau dalam kegiatan perkuliahan? Pasti beragam kesan dan kenangan. Sampai di sini, adalah hak masing-masing individu memiliki kesannya sendiri-sendiri sesuai dengan derajat persentuhannya dalam sejumlah ranah yang memungkinkan kesan itu muncul.

Satu hal yang pasti, relasi kita dengan beliau terjadi di sebuah lembaga formal bernama kampus. Beliau memerankan fungsi sebagai dosen dan kita mahasiswanya. Bukan kebetulan, bila beliau lebih dulu sekolah, lebih tua, dan tentunya lebih banyak pengalaman. Sedangkan kita ada di sisinya, sebagai subjek yang belajar, mahasiswanya dengan kategori lebih muda dan sangat bisa jadi lebih minim pengalaman. 

Dari relasi inilah kemudian dialektika terjadi. Ada yang memainkan peran sebagai dosen yang mesti mengajar, mendidik, mengarahkan, dan memberi nilai atas segala usaha yang kita lakukan pada satu satuan waktu. Dan di sisi kita, kita belajar, menanti didikan, menanti arahan, dan pada gilirannya (barangkali untuk sekadar kelengkapan administrasi perkuliahan) kita membutuhkan penilaian objektif. 

Dari sifat relasi inilah persentuhan kita dengan beliau. Beragam kesan awal dan akhir pun bermunculan, bahkan bisa saling tindih dan silih berganti. 

Karakter beliau memang seperti yang kita kenal. Pun termasuk membentengi hegemoni keilmuan yang sudah menjadi karakter keintelektualan beliau. Ini bukan tanpa alasan, beliau tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keilmuan yang begitu kental di asrama dulu. 

Lagi pula, tidak jarang beliau ingin kita tidak "lembek" dalam menuntut ilmu. Ini seringkali diungkapkan beliau. Nah, proses kita yang utama adalah proses mencontoh dan meneladani. 

Bagaimana jadinya bila kita tumbuh dan berkembang di lingkungan yang tidak berkarakter kuat untuk bisa kita contoh? Bagaimana kita bisa mendapatkan teladan bila di sekeliling kita terlalu cair dalam sejumlah relasi kemanusiaan dan keilmuan? Di ranah inilah beliau mencoba untuk maksimal berbuat. Hasilnya? Tentu sangat lumrah dan wajar ada pro dan kontra. Kontroversi, tepatnya. Apalagi ketika kita memandangnya dari kerangka berpikir yang berbeda dari kedudukannya sebagai dosen kita. 

Di kelas, siapa yang masih ingat cerita tentang Asrama Daksinapati: Cakrawala, Antarplanet, dan Magma Bumi? Pasti cerita tersebut tidak hanya sekali kita dengar, kan? Inilah bagian dari yang tidak pernah bisa kita lupakan dari beliau. Apalagi ketika dua huruf sudah meluncur dari mulut beliau: TL! Wah, sepertinya waktu berhenti sejenak di ruang kelas kita. 

Di luar kelas, bentuk kehangatan hubungan apa yang bisa teman-teman dapatkan? Juga pasti beragam. Apalagi yang sempat punya hubungan sebagai dosen pembimbing skripsi dan mahasiswa bimbingan. Wow, gak kebayang seperti apa rasanya, apalagi mesti antre, dikoreksi, dan dikritik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun