Mohon tunggu...
Fahrizal Muhammad
Fahrizal Muhammad Mohon Tunggu... Dosen - Faculty Member Universitas Prasetiya Mulya

Energi Satu Titik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Persahabatan dan Kerendahhatian

4 April 2020   15:20 Diperbarui: 4 April 2020   15:20 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumen pribadi fahrizal muhammad

"Aku gak keberatan dan bahkan senang kalian memiliki penghidupan yang lebih baik hari ini. Punya penghasilan tinggi sekarang. Tetapi, meskipun begitu, mbok ya...jangan jumawa," begitu nasihat seorang mentor padaku suatu hari.

"Aku gak mau kamu kehilangan kerendahhatian, Zal, apa pun pencapaianmu,"  begitu nasihatnya menutup pembicaraan.

Aku tersentak. Betapa tidak. Contoh yang diangkatnya sebagai ilustrasi ada di depan mata. Nyata. Walau pun diliputi rasa tak percaya, tak urung aku merenung. Apa sesungguhnya kerendahhatian itu? Mengapa orang pada saat tertentu dapat kehilangan sikap itu? Bagaimana agar sikap itu tetap dapat kita pertahankan dalam diri?

Candu Reputasi

Webster's New World Dictionary of The American Language (1970) memaknai humble (rendah hati) sebagai having or showing a consciousness of one's defects or shortcomings not proud; not self-assertive; modest. Sedangkan Webster's New Dictionary of Synonyms (1973) menambahkannya dengan it also be applied to homes, occupations, interests, and ways of life.  Sikap tidak sombong, tidak menonjolkan diri, dan sederhana ternyata sangat dibutuhkan di rumah, kantor, organisasi, dan sebagai sikap hidup.

Sahabat, lalu  mengapa pada banyak kesempatan kita seperti kedodoran mempertahankan kerendahhatian itu? Paling tidak ada sejumlah sebab. Pertama, kebanggaan yang menyesatkan. 

Setiap manusia memiliki "keterikatan psikologis" pada titik berangkatnya.  Proses "menjadi" telah menempatkan manusia pada begitu banyak posisi dan pencapaian. Selisih pencapaian antarorang per orang itulah yang tanpa disadari terkomparasi. Bila tidak hati-hati, maka selisih itu yang pada gilirannya menggoda kita untuk mulai tepuk dada. Padahal, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.

Bila pada akhirnya jabatan publik dan berbagai posisi yang "direbut" dengan berbagai cara dan dengan biaya yang tidak sedikit, mengorbankan berbagai hal, dan kepentingan mesti berakhir dengan menjauhnya orang-orang yang dulu bersama dan mencintai kita, apa gunanya? 

Hati-hati, lho...ketika pesona dan reputasi pribadi jadi begitu memabukkan dan menjadi sesuatu yang mesti terus melekat dalam diri, kita bisa lupa bahwa ada yang lebih penting untuk kita perjuangkan. 

Betulkah drama kehidupan seperti ini yang dulu sering kita diskusikan? Masihkah kita rela menumpulkan nurani dan permisif melihat fenomena ini berlanjut? Lalu, hal baik apa yang masih bisa kita wariskan kepada anak cucu kelak?

Kedua, hati yang lebih cenderung dan berorientasi pada dunia. Memang, siapa yang berani menyangkal keindahan dunia ini? Tetapi, siapa pula yang berani berkata tidak padanya? 

Hanya mereka yang beriman paripurnalah yang senantiasa mampu menjadikan dunia ini sebagai sarana untuk membangun akhiratnya. Merekalah yang telah belajar bersikap dengan benar terhadap dunia. Merekalah yang tetap memelihara akhlaknya kepada Allah meski reputasi, prestasi, dan pencapaian dunia menggodanya sedemikian rupa karena mereka sadar, itu hanya sementara dan fana. 

Ibnu Umar berkata, suatu hari Rasulullah SAW pernah berdekatan  dan memegang pundakku sambil bersabda,"Jadilah engkau di dunia ini seolah-olah orang asing atau seperti orang yang menyebrang jalan karena Cinta kepada dunia merupakan pangkal dari segala kesalahan dan kejahatan".

Yang mampu bertahan di garis batas ini, dialah pemenang. Tetapi, untuk dapat bertahan dalam segala badai di situ, nilai kemanusiaan kita akan diuji sampai titik nadir. Yang datang bukan hanya frekuensi tetapi intensitas dan kualitas persoalan yang tidak jarang menampar hingga mencampakkan segala pencapaian. Reputasi dan prestasi pada gilirannya ternegasikan begitu saja. Inilah jihad yang sesungguhnya: jihadun nafs dalam kesadaran penuh.

Oase Silaturahim

Pencapaian dan prestasi adalah ranah sosial. Bagaimana mungkin kita bisa mengukur prestasi tanpa relasi komunal? Kondisi lebih dan kurang dalam satuan bersamalah yang pada akhirnya terkukuhkan menjadi reputasi dan pencapaian. Namun, apa gunanya semua itu kalau pada akhirnya justru menjauhkan kita dari makna persaudaraan yang sesungguhnya?

Setidaknya dua hal ini menarik untuk dicermati. Pertama, tetap menyadari bahwa apa pun pencapaian dan prestasi kita bukanlah produk individu. Kita tidak bisa meraih apa pun sendiri. Kita butuh orang lain, siapa pun itu. Kita butuh silaturahim. Maka ketika gelombang dahsyat bernama kesombongan datang mendompleng pencapaian itu, ada baiknya cepat-cepat kita kembali. Jangan beri kesempatan semua itu merongrong kebersamaan dan rasa nyaman.

Orang yang memahami proses pasti tidak akan pernah menjadi sombong dan jumawa karena dia sadar akan keberadaannya. Dia juga tidak perlu merasa rendah diri dan kekurangan, karena selalu ada waktu untuk tetap berada dalam proses yang benar menuju apa yang dicita-citakan. Mereka yang memutuskan silaturahim, mereka yang tiba-tiba menjadi sombong karena berbagai macam alasan adalah mereka yang tega mengkhianati nuraninya sendiri. Dia lupa, bahwa dirinya pernah berproses dari titik tiada.

Di titik ini kita membutuhkan ketabahan dan kesabaran yang sempurna. Perjuangan ini lebih menarik dari yang kita perkirakan sebelumnya. Kita pasti masih ingat cerita tentang kesetiaan tanpa akhir itu. Terus terang, aku jadi geli karena sampai pada perhentian ini aku belum lagi bisa mengerti. Namun, gerbong sudah terhela dan perhentian terakhir tidak menyisakan apa-apa kecuali sejarah. Pada yang bernama masa depan semua berpacu.

Kedua, perlunya menjaga keseimbangan.  Ketika silaturahim mulai terusik,  itulah kesempatan untuk kembali. Ketika keseimbangan terkoyak, itulah waktunya kita memaknai ulang nikmat Allah dengan cara yang benar.

Sahabatku, barangkali kita masih ingat, apa yang dikemukakan Brian Dyson, tentang keseimbangan hidup. Menurutnya, hidup seperti pemain akrobat dengan lima bola. 

Bola itu mewakili pekerjaan, keluarga, kesehatan, sahabat, dan semangat. Kita harus tetap menjaga semua bola itu di udara dan jangan sampai ada yang terjatuh. Bila satu saat, kita terpaksa harus melepaskan salah satu di antaranya, lepaskanlah pekerjaan karena ia adalah bola karet. Bila jatuh, ia akan melambung kembali. 

Namun, keluarga, kesehatan, sahabat, dan semangat adalah bola kaca. Jika jatuh, mereka akan hancur berantakan. Jangan kecewakan keluarga dan sahabat hanya demi menjaga gengsi reputasi. Mereka tidak pantas menerima wajah kesombongan kita, Sahabat. Rasulullah pun mencontohkan, bila ingin sukses milikilah sahabat. Bila satu saat  mereka merasa tidak nyaman, itulah signal agar kita cepat-cepat kembali.

Namun, segmentasi dan pengkategorian itu tak kan mengabarkan apa-apa ketika karya tidak pernah lahir dari sana. Betul memang, pada titik tertentu kita cenderung bergerak dalam barisan yang membuat kita nyaman satu sama lain. 

Tetapi jangan itu menjadi satu-satunya alasan untuk menghasilkan yang terbaik. ternyata hidup tidak selalu berkutat di kotak dan tempurung yang kita ciptakan sendiri. Dia adalah semesta dalam segala kemungkinan yang ada. Jadi, mari kita siapkan diri untuk tetap ada dalam performa terbaik dengan siapa pun kita berproses.

Mari sahabat, kita eja perjalanan waktu dalam ketemaraman masa. Bila hari ini semua gagal kita artikulasikan, anggap saja kita tidak pernah merajutnya sama sekali, karena sebentar lagi kita sudah tidak boleh terlihat cengeng di koridor ini. Masa depan hanya akan menjadi milik yang berani dan siap. Kegamangan dan keraguan tidak diperlukan di ranah ini. Sedikit pun!

Dalam sejumlah pertemua, kita tertawa. Mengenang perjumpaan yang tak seberapa. Mengkritisi kebodohan dan kekhilafan ketika bersama. Menemukan kembali cerita indah ketika kita bermula. Kini, kita sepakat untuk minum kopi kembali. Bersama lagi. Semoga ini menjadi energi kebaikan di antara waktu yang merapuh dihantam angin yang kembara.

Yang menarik adalah ketika kita selalu punya ruang dan waktu untuk kembali. Merangkai cerita demi cerita tentang cinta dan kehidupan. Berbagi semangat dan asa untuk saling menguatkan. Menata lagi kebersamaan sebagai salah satu ruang nyaman silaturahim. Semoga persahabatan ini menjadi energi kebaikan untuk semua.

Akhirnya, mari sama-sama kita insyafi, apa pun pencapaian kita hari ini jangan sampai membuat kita kehilangan kerendahhatian. Kita tidak akan sampai pada titik yang sekarang tanpa proses, tanpa sejumlah orang yang pernah bersama kita dan memberikan sentuhan suksesnya untuk kita. Wallahu a'lam bi al-shawab.

Depok, 4 April 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun