Mohon tunggu...
Fahrizal Muhammad
Fahrizal Muhammad Mohon Tunggu... Dosen - Faculty Member Universitas Prasetiya Mulya

Energi Satu Titik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menakar Sabar di Tengah Wabah

29 Maret 2020   17:39 Diperbarui: 30 Maret 2020   13:35 1512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumen pribadi fahrizal muhammad

Suasana yang tidak menarik untuk (semua) manusia adalah hidup dalam kecemasan, ketakutan, dan ketidakpastian. Kita memerlukan energi lebih untuk bisa bertahan dalam ketidaknyamanan semacam itu. Idealnya, kita selalu berharap dan ingin hidup tenteram, damai, sehat, berkecukupan, dan bahagia. Namun, sejumlah orang justru mengatakan, hidup yang sesungguhnya itu memang harus berwarna dan penuh tantangan. Bukankah pelaut yang tangguh itu lahir dari samudera bergelombang dan badai yang dahsyat?

"Namanya juga hidup, pasti banyak cobaan. Kalau banyak cucian, namanya...laundry. he he he". Begitu celoteh seorang anak (mungkin belum cukup sepuluh tahun) di video pendek yang sempat viral di medsos belum lama ini. Wajah innocent, intonasi, dan artikulasinya membuat tuturan pesan itu makjleb di hati. Orang dibuat tersenyum dan tertawa menyaksikan bagaimana ekspresi polosnya ketika menuturkan kalimat itu, sambil merenungi kedalaman maknanya.

Sejak kebijakan dan seruan stay at home untuk belajar, kerja, dan beribadah digulirkan pada 16 Maret 2020 akibat Covid-19, setiap keluarga di sejumlah kota memulai sesuatu yang baru. Suasana dan ritme ini pasti sesuatu yang baru untuk semua anggotanya: anak, ayah, ibu, nenek, dan kakek. Tak seorang pun dari mereka memiliki memori dan pengalaman tentang ini sebelumnya. Jangankan pemahaman, pengetahuan tentang situasi pandemi yang mengharuskan mereka stay at home pun pasti belum. Semua baru bertemu sekarang. Semua baru belajar sekarang. Jadi, tidak ada yang lebih tahu tentang situasi ini sebelumnya. Learning by doing. 

Mengeja Kesabaran

Semua agenda dan rencana terpaksa dan dipaksa ditunda dan dibatalkan. Tiket dan venue yang sudah terpesan pun tidak jadi digunakan. Ribuan janji terpaksa tak terpenuhi. Mimpi untuk sejumlah perhelatan menguap. Ribuan orang mengunyah kecewa dalam diam. Ketidaknyamanan menyeruak ke sudut-sudut pertahanan diri. Semua menunggu dalam harap-harap cemas. Sungguh sebuah situasi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Orang-orang pun belajar mengerti.

Sahabatku, salah satu jalan keluar yang kerap kita dengar dari sekian banyak seruan di berbagai media adalah bersabar. Menarik sekali. Mari kita diskusi tentang ini. Pertama, dalam terminologi Islam, sabar bermakna menahan diri untuk meninggalkan berbagai hal yang diharamkan, taat dan mendekatkan diri pada Allah, dan menerima serta menghadapi berbagai macam musibah dan cobaan. Dengan tanpa mengecilkan makna yang pertama dan kedua, nampaknya batasan yang ketiga yang saat ini tengah kita butuhkan: berusaha sekuat tenaga untuk bisa menerima dan menghadapi Covid-19 ini sebagai sebuah ketetapan Allah.

Di sejumlah group WA, kawan-kawan sudah "ribut" saling berkabar, anak-anak mereka sudah merasa bosan berada terus di rumah. Mati gaya, katanya. Apalagi mereka harus mengerjakan tugas secara online.  Seiring dengan itu, wajar kalau banyak di antara kita yang sudah dihinggapi perasaan bosan dan gak nyaman karena belum adanya ketidakpastian pada banyak hal. Ibarat perjalanan, kita belum tahu kapan dan di mana akan berakhir dan selesai. Faktanya, sekarang kita masih stay at home.

Kalau kita yakin bahwa semua ini harus diterima dan dihadapi sebagai bagian dari ketentuan Allah, mari kita tanamkan dalam hati, kita pasti diberikan fitur khusus untuk menghadapinya dan kita pasti akan berikan sejumlah alternatif solusinya. Keyakinan ini sangat penting sehingga apa pun yang kita lakukan dalam koridor keilmuan yang sudah dititipkan-Nya akan bernilai ibadah.  

Kedua, menurut Webster's New World Dictionary of The American  Language (Guralnik (Ed), 1970), sabar adalah menanggung atau menahan rasa sakit, masalah, dan lain-lain tanpa mengeluh atau kehilangan kontrol diri; Dengan tenang menoleransi keterlambatan, kebingungan, ketidakefisienan, dan lain-lain; Mampu menunggu dengan tenang untuk sesuatu yang diinginkan.

Dalam konteks kita hari ini, stay at home, selama 14 hari dan kemungkinan masih bisa lebih lama lagi memang bukan sesuatu yang ideal dan menyenangkan. Berbagai ketidaknyamanan bisa jadi mulai menghampiri hari-hari kita yang disebabkan karena belum terbiasa menghadapi suasana darurat seperti ini. 

Covid-19 berbahaya bukan hanya karena dapat menyebabkan demam tinggi, batuk hebat, sesak, dan gagal napas, tetapi daya serangnya yang masif tanpa mengenal batasan sosial telah menyebabkan setiap orang merasa terteror. Efek psikologis yang ditimbulkannya sangat serius.

Setiap orang memang sedang berusaha menata hati dan berupaya sekuat tenaga agar tetap tenang menghadapi situasi yang sewaktu-waktu dapat berubah tak terkendali. Inilah apa yang disebutkan dalam batasan di atas sebagai kemampuan menanggung sakit dan masalah tanpa mengeluh dan kehilangan kontrol diri. Ini tentu menuntut kecerdasan spiritual dan emosional yang baik dan stabil. Inilah kadar kedewasaan yang disyaratkan agar kita memiliki kualitas sabar yang baik. 

Ketiga, menikmati hari-hari dalam suasana ketidaknyamanan dan ketidakpastian sejatinya mengajarkan kepada kita tentang kehidupan yang begitu berwarna. Tetap rasional di tengah ketidaknyamanan itu memberikan sinyal kuat kepada kita bahwa tidak semua kondisi mampu kita kendalikan dengan logika dan kepandaian. Kini, kita jadi terbiasa mengeja waktu. Pagi bertemu siang, sore bertemu malam. Akhirnya, tanpa dan dengan kesadaran ia berputar kembali dalam bilangan gelisah yang nyaris sama. Allah mengingatkan kita kembali, peran dan tokoh siapa pun yang kita mainkan selama ini di panggung kehidupan, kita tetap aktor tak sempurna. Selamanya. 

Yang datang dahulu, dia yang utama. Yang datang kemudian, dia yang beruntung. Tantangannya adalah seberapa sabar kita pada keistiqomahan yang pernah menjadi melodi paling kita cinta sepanjang perjalanan. Tiba di titik ini adalah sebuah keniscayaan yang tak mungkin tergantikan oleh apa pun. Di ujung kisah inilah nanti, kita akan bertemu dengan mereka yang membawa serta laba perniagaannya atau mereka yang bangkrut tanpa sisa apa-apa: aktor tak sempurna kini berdiri di lembar risalah nan sepi.

Ruang Kendali

Kabar gembiranya adalah karena kita manusia. Makhluk yang diciptakan Allah dengan kemampuan adaptasi yang luar biasa. Makhluk yang cepat sekali belajar dari sejarah, seperih apa pun di hati.  Hanya mereka yang abai akan kekuasaan Allah lewat potensinyalah yang pada akhirnya tidak mendapatkan apa-apa kecuali terengah-engah di tengah ketidaknyamanan yang memang tidak mampu dikendalikan. 

Mari kita diskusi tentang ini.  Pertama, inilah kesempatan kita mengonstruksi mind-set. Covid-19 datang dari Allah. Pasti banyak hikmah dan pelajaran darinya. Masing-masing orang bisa menempatkan cobaan ini pada frame berbeda-beda sesuai dengan tingkat pemaknaannya tentang takdir baik dan buruk yang Allah gariskan. Kelapangan dan kesempitan hati bermula dari sini. Bukankah ini sebentuk nasihat bahwa kita punya kesempatan dan posisi yang sama di hadapan Allah?

Covid-19 tidak menyerang satu golongan dan strata sosial saja. Semua orang punya peruntungan yang sama. Siapa pun berpeluang bertemu dan terpapar olehnya. Tidak ada seorang pejabat atau orang berpunya yang mampu menghindar. Demikian pula kaum papa dan jelata. Semua ada di posisi yang sama. 

Oleh karena itu, bila pada gilirannya ada di antara saudara kita terinfeksi, positif, atau bahkan meninggal karena corona, tempatkanlah itu pada keberterimaan dan kewajaran yang ada. Yang jelas, ini musibah. Wabah. Bukan aib. Jadi, memang seharusnya kita prihatin, bukan menghakimi. Mari kita doakan saja dan maafkan kesalahannya. Keluarganya juga pasti gak mau tertular virus itu. Jadi, kalau pun pada prosesnya mereka terkesan menyembunyikan kondisi yang sebenarnya, itu tidak lebih karena sejujurnya mereka bingung, tak percaya, dan merasa tak berdaya. Mereka juga tidak punya jaminan, apakah kalau mereka mengabarkan kepada banyak orang, betulkah mereka akan diterima apa adanya? Semoga Allah melindungi kita semua. Aamiin....

Demikian pula sebaliknya. Semua orang berhak dan seharusnya sehat. Oleh karena itu, dengan kita senantiasa berusaha memupuk dan mempraktikkan pola hidup sehat, insya Allah kesehatan kita akan tetap terjaga. Bila semua keluarga sehat, maka lingkungan RT kita pun sehat. Bila setiap RT sehat, maka wilayah se-RW pun akan sehat. Hak kita untuk sehat ternyata beririsan dengan hak sehat orang lain. Dengan begitu, kita punya ketergantungan yang beralasan dengan lingkungan yang bersih dan sehat. Bila dalam hari-hari ini kita diharuskan stay at home untuk menjamin terciptanya social and body distancing, mari kita taati dengan penuh kesadaran dan kesabaran untuk kepentingan bersama.

Kedua, kesamaan dan kesetaraan tiap orang dalam wabah ini seharusnya melahirkan kepedulian dan kesetiakawanan sosial. Terbentuknya Satgas Anti Covid-19 di tiap RW di banyak wilayah adalah salah satu wujudnya. Dengan koordinasi yang rapih melalui Satgas, semua program untuk membendung meluasnya Covid-19 dapat terselesaikan dengan baik. Ini tentu akan banyak menghemat tenaga, pikiran, dan dana. 

Banyak hal dapat disepakati dengan adanya Satgas: pemberlakuan akses satu pintu, sosialisasi informasi penting via medsos, spanduk, dan banner, berkeliling kompleks perumahan mengingatkan pentingnya gerakan hidup bersih, dan penyediaan hand sanitizer di sejumlah titik yang menjadi pintu masuk. Inilah bentuk kebersamaan dan kepedulian yang dapat terbangun di lingkungan kita masing-masing.

Ini soal antara kita dan kepedulian, soal bagaimana kita mengunyah waktu dalam semua kenyamanan dan ketidaknyamanan. Tetapi, berkarya bukan ruang kompromi. Dia jejak wajib atas nikmat hidup ini. Yang cerdas adalah mereka yang berani sabar untuk tidak mengambil kenikmatan sesaat demi sesuatu yang lebih besar. Keadaan ini jangan mematikan kreativitas. Bukankah pertahanan terbaik adalah "menyerang"?. Ayo, ini bukan saatnya untuk wait and see, tetapi harus wait and fight. Semoga Allah ridho dengan segala keletihan ini.

Ketiga, menjaga stabilitas psikologis warga ternyata juga sangat penting. Kondisi psikologis yang stabil dan tenang memungkinkan mereka akan menjalani hari-hari dalam stay at home dengan lebih happy. Berseliwerannya informasi tak urung membuat kita bingung, yang mana yang benar, dan yang mana yang hoax. Yang disebut terakhir, tentu berbahaya dan berisiko bila dijadikan dasar untuk mengambil keputusan dan tindakan. Di sinilah pentingnya kerendahan hati untuk bisa saling mengingatkan dan surut sejenak meningkatkan kecerdasan literasi. Dengan demikian setiap tindakan dapat terukur dan terencana dengan baik.

Suasana tidak pasti dan tidak nyaman memang tidak jarang memunculkan berbagai perasaan tidak enak. Sementara itu, hampir semua orang hari ini sangat bergantung pada handphone dan medsos. Stay at home adalah juga stay with socmed. Butuh keterampilan dan kecerdasan tersendiri dalam menyaring begitu banyaknya informasi yang kita peroleh. Jangan semua yang dibaca itu yang dipercaya dan dijadikan tuntunan. Tetaplah tenang dan rasional. Jangan emosional dan kehilangan kendali diri. 

Semestinya badai apa dan dari mana pun tidak boleh menyentuh keutuhan energi kebersamaan. Artikulasi kita adalah kejernihan seberapa pun ketidaknyamanan menyergap dari segala penjuru. Keteguhan hati milik kita, bukan sandera reaktif naluri purba. Yang menarik adalah ketika kita tetap bisa mengartikulasikan kebenaran di tengah ketidaknyamanan dan ketidakberdayaan.

Keempat, krisis ini seharusnya melahirkan pemimpin dan kepemimpinan. Jangan biarkan masyarakat memutuskan segala sesuatunya sendiri tanpa mentor dan ilmu yang memadai. Coba-coba dan ikut-ikutan tentu mahal ongkosnya. Sesuatu yang berkenaan dengan syariat keagamaan dan kesehatan, misalnya.  Semua tentu sangat berisiko bila diputuskan tanpa ilmu. Bukan saja untuk keimanan dan keselamatan tetapi juga untuk trust kepada kepemimpinan. Jadi, harus ada orang yang mau berkorban, menempatkan, dan memantaskan diri untuk memimpin setiap gerak masyarakat pada saat-saat seperti ini.

Revolusi teknologi informasi memungkinkan setiap orang merasa berhak memutuskan segala sesuatu dan "menolak" otoritas. Tetapi jiwa kepemimpinan dan keteladanan seharusnya terbebas dari kesemetaraan dan sektoral. Masyarakat membutuhkan sosok yang mampu menjadi samudera untuk semua orang dan pemikiran tetapi tetap punya otoritas memutuskan.

Sahabat, menikmati setiap inci waktu dalam menggenapkan setiap agenda dan kepentingan orang banyak adalah jihad. Kesungguhan hanya milik mereka yang ikhlas di jalur perjuangan. Apa pun yang menyandera ketidaknyamanan perasaan kita akibat situasi yang belum menentu ini, janganlah putus asa. Cakrawala masih akan menghadirkan pelangi untuk kita. Dan di setiap lembar warnanya ada kebersamaan kita dengan pencapaian terbaik. Yang menang adalah mereka yang sanggup menahan beban untuk bisa bertindak benar. Seabsurd apa pun kondisi yang ada. Semoga hari ini menjadi penanda terbaik untuk sebentuk perwujudan yang mesti kita perjuangkan. Bismillah...

Depok, 29 Maret 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun