Akhirnya , saya menemukan slang itu: move on. Â Terucap oleh banyak bibir. Dengan mantab atau ragu-ragu, ia menjadi semacam mantra. Syukur-syukur bisa mengusir awan galau di hati. Kalau pun belum berhasil, paling tidak sudah ikut trend: kalo lagi galau kudu bilang move on. Ha ha ha...
Namun, Â slang itu pun overexposed. Saya khawatir, ia akan terdistorsi dari makna sesungguhnya dan orang lalu mengucapkannya tanpa rasa dan makna sebenarnya.
Dua Cerita
Paling tidak ada dua kejadian menarik tentang ini. Pertama, beberapa waktu lalu saya bersama-sama dengan seorang teman yang sedang galau. Mengapa? Karena LDR-nya mesti rela dihentikan karena perjuangannya menunggu restu orang tua berakhir "mentok".
"Ini cinta pertama saya, Mas. Saya sungguh-sungguh mencintainya. Baru kali ini saya menyayangi seseorang seperti dia. Pokoknya, saya he-eh banget, deh sama dia!" Begitu satu hari dia mengatakannya dengan mata berbinar-binar. Dan dapat dibayangkan, bagaimana sekarang tanpa disadari, bibirnya kerap melantunkan beberapa lagu galau dalam sejumlah kesempatan.
"Saya harus move on, Mas. Harus! Kalau tidak, saya khawatir, saya gak bisa konsentrasi bekerja."
Ya, sahabat saya ini merasa harus move on, keluar dari kesedihan dan keterpurukan perasaannya. Ia memerlukan ruang lebih ramah untuk segala luka hatinya.
Kedua, ini sangat menarik. Di satu malam, tiba-tiba saya dapat sebuah pesan singkat dari seorang gadis dari seberang lautan. Intinya, ia minta izin untuk berkonsultasi. Saya tanya tentang apa? Siapa tahu saya tidak punya kapasitas untuk menjawabnya. Ia katakan, ia punya masalah  dengan rasa percaya diri, terutama dengan public speaking. O, kalau soal itu, insya Allah saya bisa bantu.
Dia telepon sekitar jam 10 malam. Awalnya, agak ragu dan kikuk. Maklum. Kami belum pernah kenal sebelumnya. Dia pun mulai bercerita tentang banyak hal terutama soal trauma-trauma masa lalu yang pada akhirnya membuat ia kesulitan ketika harus berbicara di depan umum.Â
Sejumlah faktor pun teridentifikasi dengan sangat jelas: perlakuan guru di sekolah dan pola asuh kedua orang tua telah membentuknya menjadi orang yang sangat menikmati komunikasi antarpersonal tetapi mati kutu ketika harus melakukan komunikasi di depan banyak orang.
Pembicaraan pun mengalir. Saya sarankan agar ia mengupayakan dengan maksimal agar memiliki komunitas yang memaksanya berbicara di depan umum. Ia pun menanggapi dengan sangat positif dan mengatakan bahwa ia ingin jadi dosen agar bisa seperti saya, katanya. Saya dukung semangatnya untuk itu.Â