Sebelum membahas keruntuhan Dinasti Turki Utsmani saya akan terlebih dahulu membahas seorang Mustafa Kemal sesuai dengan judul yang penulis cantumkan.
      Mustafa Kemal adalah seorang kolonel yang mendapatkan tugas untuk menghalau invasi Inggris di daerah Ana Forta. Pertenpuran tersebut berjalan alot karna tidak ada 1 pun pihak yang unggul. Keadaan ini berlarut-larut sampai akhir 1915. Namun, keanehan mulai terjadi pada Desember 1915, pasukan Inggris mundur dan menarik pasukan mereka secara mendadak, bahkan dari daerah-daerah yang sebelumnya telah mereka kuasai, sepanjang garis pantai Gallipoli.
      Dampak dari peristiwa tersebut membuat nama Mustafa Kemal tenar dan naik daun. Dia menjadi bintang yang sangat terang dalam jajaran angkatan bersenjata Turki. Dari ketenarannya tersebut, membuat ia mendapatkan "batu loncatan" pada sektor politik di Turki.
      Tahun berikutnya adalah tahun yang sangat krusial, mendekati penandatanganan Perjanjian Balfour pada tahun 2 November 1917 yang tujuannya adalah membuat tanah Palestina terlepas dari kekuasaan Khilafah Turki Utsmani dan menjadi benih awal negara Israel. Di perjanjian ini Inggris menyetujui sepenuhnya dan berupaya keras untuk mewujudkan "tempat tinggal" untuk bangsa Yahudi Israel di Palestina.
      Mari kita flashback sedikit ke tanggal 4-9 Februari 1902, di Prancis digelar sebuah konferensi besar dengan tujuan meruntuhkan Utsmani. Konferensi ini diprakarsai oleh Al-Ittihad wa at Taraqqiy dan kemungkinan besar pula mendapat dukungan dari gerakan Freemasonry (Organisasi Gelap Yahudi). Hasil dari konferensi ini adalah, mereka meminta agar negara-negara Eropa terlibat secara aktif untuk "membasmi" Sultan Abdul Hamid IIdari daulat Turki. Bahkan mereka mengklaim diri telah menguasai sebagian besar kekuatan militer di Turki, termasuk pimpinan tertinggi militer, Mustafa Kemal Affandi atau Mustafa Kemal Attaturk.
      Kelompok ini sangat kencang dan kuat, sampai akhirnya Sultan Abdul Hamid II pun dipaksa mundur dan diusir. Dengan lantang Al-Ittihad wa at Taraqqiy mengatakan akan memimpin Turki dengan ideologi Revolusi Prancis yang berdasarkan liberte, egalite dan fraternite atau kebebasan, kesejajaran dan persaudaraan. Seperti yang telah kita ketahui, Revolusi Prancis pada dasarnya adalah sebuah revolusi anti agama yang digerakkan oleh tenaga-tenaga Freemasonry. Mereka mengucurkan dana revolusi, membuat kerusuhan dan mematangkan situasi.
      Mirip dengan peristiwa Revolusi Prancis, dalam Turk Revolution pun siasat propaganda serupa terulang, yakni kerusuhan dan kekerasan. Peristiwa ini lebih dikenal dengan peristiwa 31 Maret. Sebuah aksi massa yang menuntut penggulingan Sultan Abdul Hamid II.
      Ada cerita menarik di balik gerakan 31 Maret. Konon tidak ada satu orang Turki maupun Arab yang menjadi penggeraknya. Justru yang turun ke jalan adalah tokoh-tokoh Yahudi dari Armenia, Salonika, Albania dan Georgia. Beberapa orang yang paling terkemuka adalah Emanuel Carasso dan juga Avram Galante. Emanuel Carasso adalah seorang Grand Master loji di Salonika. Di loji ini kerap kali menampung dan memberikan tempat bagi gerakan Turki Muda untuk rapat, merencanakan gerakan dan membuat aksi-aksi. Dua orang ini sangat berperan dalam gerakan Turki Muda dan juga dalam Committee and Union Progres.
      Revolusi Turki adalah salah satu revolusi yang sangat "all in". Kelompok Freemasonry dan Zionis menyerang dari seluruh sektor, dari sektor intelektual, ekonomi, politik, tekanan internasional dan juga bujuk rayu serta lobi terhadap keluarga istana. Salah satunya adalah saudara Sultan Abdul Hamid II, yakni Sultan Murad V. Dalam catatan hariannya Sultan Abdul Hamid II nampak begitu kesal kepada gerakan Freemasonry yang telah membujuk Sultan Murad V untuk menjadi salah satu anggota mereka. Tidak saja keluarga kerajaan, para pembesar di dalam istana pun menjadi anggota Freemasonry. Salah satunya adalah Madhat Pasha; Menteri Besar Turki Utsmani.
      Sultan Abdul Hamid sendiri dalam buku hariannya juga menuliskan bahwa, ketika banyak orang yang sadar, mereka sudah tak bisa apa-apa. Semuanya sudah terlambat, Turki sudah dikepung dan tak berdaya. Karena memang rancangan melumpuhkan Khilafah Turki Utsmani telah dirancang dari jauh hari. Bukan satu dua tahun, tapi berpuluh-puluh tahun sebelum peristiwa besar ini terjadi. Dan salah satu cara yang diperingatkan oleh Sultan Abdul Hamid II, adalah pengiriman para pemuda ke negara barat yang pasti pulang dengan membawa benih buruk untuk masyarakatnya (ideologi kebebasan).
      Para pemuda Turki yang pergi ke Eropa saat itu, sebagaimana dituturkan oleh Sultan Abdul Hamid, mempelajari segala hal soal Revolusi Prancis, kecuali satu hal, siapa di belakang revolusi tersebut dan motif dari peristiwa tersebut. Lalu mereka pulang ke Turki dan bergabung dengan segala gerakan yang bertujuan meruntuhkan Turki Utsmani.[U1]