Negara Indonesia memiliki keanekaragaman budaya dan kekayaan bahasa yang sangat beragam dengan memiliki ciri khasnya tersendiri, ketika keanekaragaman itu disatukan menjadi satu bangsa, akan muncul sebuah makna keindahan. Layaknya semboyan bangsa Indonesia yaitu semboyan Bhineka Tunggal Ika, yang memiliki makna Berbeda beda, tetapi tetap satu jua. Semboyan itu menjelaskan bahwa meskipun bangsa Indonesia memiliki keberagaman budaya, suku bangsa, ras, bahasa, dan agama, tetapi bangsa ini tetap memegang teguh prinsip persatuan dan kesatuan.
Salah satu wilayah yang memiliki keanekaragaman tradisi budaya adalah Bali. Bali memang sudah tidak asing lagi dengan keragaman budaya dan tradisi yang selalu dilestarikan oleh masyarakatnya. Kekayaan budaya dan adat istiadatnya inilah yang membawa nama Bali hingga ke mancanegara. Salah satu tradisi budaya tersebut adalah tradisi Mekare-Kare.
Tradisi Mekare-Kare merupakan upacara persembahan yang dilakukan oleh masyarakat Bali sebagai bentuk penghormatan terhadap Dewa Indra atau dewa perang serta para leluhur. Tradisi ini menjadi salah satu upacara keagamaan terbesar yang dilakukan oleh masyarakat Bali (khususnya masyarakat yang menganut agama Hindu) dan dilaksanakan di Desa Tenganan, Karangasem Bali. Tradisi Mekare-kare rutin dilaksanakan setiap tahun yang menurut kalender khusus Desa Tenganan Pegringsingan akan diadakan setiap bulan Juni.
Pelaksanaan perang Mekare-Kare juga merupakan hal menarik disini, yaitu dilaksanakan dalam 2 hari, setiap jam 2 sore, Tradisi Mekare-kare dapat kita sebut juga dengan sebutan Perang Pandan karena menggunakan senjata pandan berduri yang diikat menjadi satu layaknya sebuah gada.Â
Peserta Perang Mekare-Kare juga akan membawa sebuah perisai dari rotan untuk melindungi diri. Kegiatan ini diikuti oleh dua orang laki-laki yang mulai naik ke masa remaja hingga dewasa serta bersifat wajib mengikuti di desa tersebut. Pakaian yang dikenakan, para peserta pria hanya menggunakan sarung, selendang, dan ikat kepala (udeng) tanpa baju, serta bertelanjang dada. Sementara warga yang menyaksikan menggunakan pakaian adat Tenganan.
Keterampilan kedua peserta dalam merakit senjata serta ketahanan tubuh para peserta dapat dibuktikan dalam upacara ini. Tradisi Mekare-kare ini biasanya akan diawali dengan upacara memohon keselamatan, dan diadakannya ritual minum tuak, tuak di dalam bambu dituangkan ke dalam daun pisang yang berperan seperti gelas. Peserta perang Mekare-kare saling menuangkan tuak itu ke daun pisang peserta lain. Setelah itu, tuak tersebut dikumpulkan menjadi satu dan dibuang kesamping panggung.
Pertandingan ini akan di mulai melalui pemimpin adat di Desa Tenganan yang akan memberi aba-aba untuk bersiap. Mereka berhadap-hadapan dengan seikat daun pandan di tangan kanan dan perisai rotan di tangan kiri.Â
Pertandingan ini juga akan diawasi oleh wasit yang bertugas sebagai penengah pertandingan. Setelah wasit mengangkat tangan tinggi-tinggi, kedua pemuda itu saling menyerang, suasana berlangsung dalam yang penuh semangat dan dukungan dari para warga yang menyaksikan.
Setelah Perang Mekare-Kare, para peserta akan mendapati luka di sekujur tubuhnya karena duri duri daun pandan. Oleh karena itu, setelah Perang Mekare-Kare, para peserta akan diolesi oleh ramuan tradisional dari kunyit dan lengkuas dengan tambahan minyak kelapa yang konon sangat ampuh untuk menyembuhkan luka, setelah itu para peserta yang berpartisipasi akan makan bersama dengan sajian menu ayam betutu dan olahan khas lainnya.Â
Setelah pertandingan selesai tidak ada amarah atau dendam dari para peserta, karena mereka semua melakukannya dengan ikhlas dan gembira sebagai bagaian dari bentuk upacara adat.
Peran sosial dan budaya juga tidak luput dari tradisi Mekare-Kare di Bali. Tradisi ini menggambarkan solidaritas dan nilai kebersamaan bagi masyarakat Bali. Tradisi ini juga akan menjadi sarana untuk mengasah keahlian berperang, dari menyerang sampai bertahan.Â